Jakarta, CNN Indonesia --
Grüezi mitenand! Halo semua!
Pagi itu saya duduk santai di ruang tengah. Pemandangan matahari yang baru naik terlihat dari jendela. Baru saja suami pamit pergi bekerja, sementara satu jam sebelumnya anak kami sudah lebih dulu pamit berangkat sekolah.
Suasana pagi yang saya rasakan berbeda dengan Jakarta, karena setahun terakhir ini saya dan anak berada di ibu kota Swiss, Bern, untuk menemani suami yang bertugas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pagi di Swiss dihiasi langit yang terang, tapi namun suhu udara tak beranjak dari satu digit. Padahal, di bulan Januari musim dingin sudah hampir selesai.
Masih duduk di ruang tengah, saya asyik berselancar di media sosial. Rupanya, berbagai foto masakan Tumis Brambang atau Tumis Bawang Merah sedang meramaikan lini masa akun saya.
Tumis Brambang yang konon zaman dulu menjadi simbol makanan
wong ndeso dan zaman pailit, kini menjadi masakan yang sedang hits di kalangan ibu-ibu urban di Jakarta.
Masakan itu sebenarnya sederhana, hanya berupa irisan bawang merah yang ditumis bersama irisan cabe rawit. Sebagian ada yang memasaknya dengan tambahan pete, teri, dan ikan asin lainnya.
Saya suka sekali sambal dan bawang merah. Sebab itu, meski belum pernah membuatnya, saya sudah bisa bayangkan rasa sedap Tumis Brambang menemani sepiring nasi hangat di musim dingin ini.
Usai berbincang dengan teman di media sosial, saya jadi terpikir untuk membuat menu yang saya rindukan itu.
Namun, saat mengecek bumbu dapur, niat membuat menu tersebut hampir sirna. Pasalnya, stok bawang merah tak tersedia di dapur saya. Yang tersisa hanya bawang bombay dan bawang putih, dua jenis bawang yang banyak dijual di Eropa. Ah, sedihnya.
 Suasana pasar tradisional yang dirindukan penulis.(CNN Indonesia/Safir Makki) |
Tak seperti di Jakarta yang bisa mendapatkan bawang merah dengan mudahnya, bahkan kini bisa diantar oleh ojek oline, di Bern saya perlu pergi ke toko Asia yang berjarak 10 kilometer dari rumah untuk mendapatkan bawang merah seperti yang ada di Indonesia.
Di supermarket, terkadang ada juga bawang merah atau shallot. Hanya saya varietasnya berbeda dengan bawang merah brebes. Bernama banana shallot, bawang merah ini bentuknya lebih lonjong, ukurannya lebih besar dari bawang merah tetapi lebih kecil dari bawang bombay.
Soal rasa, baik banana shallot atau bawang putih, dapat saya gunakan untuk mengganti bawang merah di bumbu masakan Indonesia, mulai dari balado, opor, atau gulai. Tapi demi Tumis Brambang, saya rela menembus udara dingin di Bern pagi itu.
Di toko Asia, bawang merah dijual seharga 3,6 franc Swiss atau setara Rp55 ribu per 200 gram. Sementara bawang putih, dengan harga yang sama bisa mendapat 2 kilogram.
Festival bawangSaya jadi berandai-andai jika saja tren Tumis Brambang berlangsung pada musim gugur kemarin, tentu saya tidak akan kehabisan stok bawang merang.
Sebab di akhir musim gugur, tepatnya pada setiap hari Senin minggu ke-4 di bulan November, digelar festival tahunan khusus bawang yang diberi nama Zibelemärit di Bern.
Secara harfiah, Zibelemärit berarti pasar bawang. Akan tetapi, Zibelemärit bukan pasar bawang biasa, karena sudah berskala nasional.
Konon katanya, Festival Zibelemärit menjadi salah satu cara pemerintah Swiss untuk menaikkan harga bawang dan melindungi para petani bawang di Swiss. Keren ya?
Setiap tahun, festival ini sukses menyulap seluruh jalan ibu kota, mulai dari area kota tua sampai gedung parlemen, tertutup oleh ratusan lapak penjual bawang-bawangan.
Selain bawang kiloan, para petani bawang pun kreatif menjual aneka jenis bawang kering yang dibentuk menjadi pajangan.
 Bawang putih dalam bentuk anyaman bisa dijual sampai 20 CHF (sekitar Rp291 ribuan) per buah, bahkan ada yang harganya ribuan CHF. (Dok. Mia Sa'adah) |
Meskipun harga bawang kiloan pada Zibelemärit lebih murah dari supermarket, namun kerajinan yang terbuat dari bawang itu harganya bisa berpuluh kali lipat.
Satu kilo bawang putih misalnya, dijual seharga 2 CHF (sekitar Rp29 ribuan) di hari biasa. Namun, bawang putih dalam bentuk anyaman bisa dijual sampai 20 CHF (sekitar Rp291 ribuan) per buah, bahkan ada yang harganya ribuan CHF! Benda-benda itu laku dibeli, sebagai oleh-oleh wajib dari festival.
Tak hanya jenis bawang yang bervariasi, festival yang telah diadakan sejak abad ke-15 dan menjadi tradisi ini juga menyajikan berbagai kuliner berbahan baku bawang. Jika sempat berkunjung saat festival, datanglah dengan perut kosong untuk bisa menikmati segala kuliner yang dijajakan, mulai dari Onion Soup atau Garlic Bread.
Favorit saya dan keluarga adalah Garlic Bread khas Zibelemärit. Berbeda dengan Garlic Bread yang biasa kami pesan di kedai pizza, Garlic Bread di festival itu bertekstur empuk, berukuran besar, dan bercitarasa gurih. Dari wanginya saja, pengunjung bisa tergoda membeli walau perut sebenarnya sudah terisi sebelumnya.
Meski judulnya festival bawang, tak lantas membuat acara ini hanya dinikmati ibu-ibu saja. Zibelemärit juga ramai didatangi oleh semua kalangan.
[Gambas:Instagram]Suami saya yang kolektor koin, sangat senang ketika mendapatkan koin langka bernilai 10 CHF tahun 2011 yang berdesain khas Zibelemärit.
Anak kami berusia 7 tahun pun senangnya bukan main begitu melihat banyak lapak penjual mainan yang menawarkan barang beragam warna dan bentuk.
Yang paling menarik, khususnya bagi orang yang sedang mencari jodoh, ada tradisi memukul kepala orang lain dengan palu dari plastik. Korbannya tak boleh marah, tapi boleh memukul. Berawal dari palu, jadi berlanjut ke malam minggu kan? Hehehe...
Tahun ini, Zibelemärit akan dilaksanakan pada Senin 26 November 2018. Selama seharian, festival ini dimulai sejak pukul 4 pagi sampai dini hari.
Sebelum pukul 4 pagi, biasanya pedagang sudah sibuk menyiapkan barang dagangan dan lapaknya. Suasana bakal sangat heboh dan jarang terlihat di negara setenang Swiss.
Walau masih beberapa bulan lagi, saya sudah berencana untuk membeli sebanyak mungkin bawang merah di Festival Zibelemärit. Jadi, saat musim dingin begini, saya tak kesulitan lagi membuat Tumis Bawang.
Tschüss! Sampai jumpa di Swiss!
----
Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, sila hubungi surel berikut: [email protected], [email protected], [email protected].Kami tunggu! (ard)