Jakarta, CNN Indonesia -- Rombongan ibu-ibu di Desa Watuawu, Kecamatan Lage, Poso, Provinsi Sulawesi Tengah tengah asyik mendatangi lapak-lapak berdinding bambu dan beratap rumbia di Pasar Organik Mosintuwu.
Lapak-lapak di sana diberi nama sejumlah sayur dan juga bumbu dapur dalam bahasa ibu mereka, bahasa Pamona. Kuni, misalnya. Itu adalah Bahasa Pamona untuk kunyit.
Pasar Organik Mosintuwu merupakan gagasan dari seorang perempuan kelahiran Taliwan, Poso, bernama Merlian Gogali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lian bersama kawan-kawannya di Institut Mosintuwu berusaha menghimpun perempuan-perempuan asli Poso demi meningkatkan kesetaraan gender serta toleransi suku dan umat beragama.
Beragam cara telah diuji coba mereka, salah satunya mendirikan pasar ini.
"Pasar ini kami beri nama Mosintuwu yang artinya bersama-sama. Pasar ini hanya dibuka pada Rabu dan Sabtu setiap minggunya," kata Lian.
Lian dan kawan-kawan menggagas pasar ini berdasarkan pengalaman mereka saat konflik di Poso beberapa tahun silam.
Ternyata keramaian pasarlah yang berhasil mempertemukan warga Poso dari beragam suku dan agama yang sempat tercerai akibat konflik berdarah itu. Pasar bagai ruang perdamaian yang alami.
Di Pasar Organik Mosintuwu segala sayur, rempah sampai makanan masak dijual.
Harga sayurnya tergolong murah. Rata-rata seikat sayuran hijau berukuran sedang dihargai Rp5.000.
Suasana di Pasar Organik Mosintuwu. (Dok. Mohammad Fajar Bua) |
Bukan plastik atau kertas, tapi pembeli di pasar ini diberikan wadah organik yang disebut pingku, yakni sebuah piring yang terbuat dari anyaman janur atau kamboti (keranjang dari anyaman daun sagu).
Pementasan Kelompok Musik Panggung Bersama yang dimotori anak-anak muda setempat juga menjadi hiburan pengunjung pasar ini.
Pemandangan akrab di pasar diakui Lina jarang ditemui saat Poso masih sarat konflik sekitar tahun 1998-2000. Beruntung konflik di Bumi Sintuwu Maroso itu kini telah sirna.
"Pasar ini tak cuma menjadi tempat bertemunya penjual dan pembeli, tapi tempat bertemunya ide, gagasan, cerita bahkan keriangan. Saya bersyukur pada Tuhan, para ibu, masyarakat dan kawan-kawan di Institut Mosintuwu bersatu mewujudkan pasar ini," kata Lian.
"Karena pasar dan kuliner tak memandang agama. Pasar ini seakan menyatukan segala perbedaan yang ada," pungkasnya.
(agr/ard)