Jakarta, CNN Indonesia -- Pada Minggu (5/8)
gempa 6,8 SR mengguncang Lombok Utara pada pukul 18:46 WIB. Selang beberapa menit, terdapat koreksi kekuatan gempa menjadi 7 SR disusul peringatan dini bencana tsunami. Gempa tak berhenti di situ, gempa susulan pun berulang kali terjadi.
Situasi panik yang mencekam ini pun meninggalkan bekas trauma di hati dan pikiran banyak orang termasuk anak-anak.
Di tengah situasi mencekam, penting bagi anak-anak dan orang dewasa untuk mendapat pelayanan pemulihan trauma atau
trauma healing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut psikolog anak dan keluarga, Ratih Zulhaqqi, trauma healing bertujuan untuk mengantisipasi
post-traumatic syndrome disorder (PTSD). PTSD adalah gangguan stres pascatrauma.
Trauma healing untuk anak, kata Ratih, cenderung agak sulit sebab anak seringkali sulit bercerita perihal kecemasannya seperti orang dewasa. Ia berkata, bermain menjadi metode trauma healing yang tepat buat anak.
"(Kalau bermain), mereka enggak merasa sedang diobati, enggak merasakan situasi yang mencekam. Dan yang mendampingi tidak boleh selalu mengungkit cerita (tentang gempa)," katanya saat dihubungi oleh
CNNIndonesia.com, Senin (6/8).
Lebih lanjut lagi ia menjelaskan peristiwa gempa Lombok membuat anak-anak harus berada di pengungsian bersama anak-anak lain sehingga baik jika anak diajak bermain dalam kelompok. Metode
teraplay atau
play theraphy mengajak anak bermain, menikmati situasi walau situasi tidak senyaman biasanya.
Bermain dapat mengalihkan fokus anak dari situasi yang mencekam sekaligus membuat mental anak menerima situasi yang ia hadapi sekarang.
"Trauma healing itu
accepting, penerimaan," imbuh Ratih.
Perlu dukungan tenaga profesional dan relawan
Dalam situasi tak nyaman, pemulihan trauma pada anak memang memerlukan dukungan keluarga dan orang dewasa di sekitarnya. Namun, kata Ratih, keluarga tentu berada di situasi serupa, merasa panik dan cenderung tidak bisa menolong.
"Mereka juga perlu pertolongan, bisa kerjasama dengan tenaga profesional dan sukarelawan," kata dia.
Ratih menjelaskan cepat atau lambatnya penyembuhan trauma tidak berpatokan pada usia. Trauma kata dia, artinya orang melakukan pemaknaan dari apa yang dipikirkan dengan peristiwa yang dialami. Saat orang menemukan bahwa keduanya tidak singkron, trauma akan muncul.
Kemunculan trauma bisa dalam tempo bulan atau tahun.
Ratih memberikan contoh anak dua tahun yang kehilangan ibunya. Anak ini tidak paham bahwa ibunya meninggal. Ia beranggapan bahwa sang ibu hanya tertidur hingga tiba pada usia tertentu ia sadar bahwa ibunya meninggal. Berbeda dengan orang dewasa yang lebih cepat memaknai suatu peristiwa yang dialami.
"Namun orang dewasa juga ada yang
denial, menolak. Aku enggak apa-apa, padahal apa-apa. 'Sok kuat'. (Padahal) segala bentuk emosi negatif sebaiknya dirilis. Kalau sedih dan memang ingin menangis, rilis saja, enggak perlu terbebani dengan norma lingkungan," paparnya.
Sementara itu banyak pula netizen yang memberikan dukungan lewat media sosial mereka. Namun Ratih masih menemukan unggahan bernada negatif dari peristiwa gempa Lombok.
"Saya sedih orang menganggap (gempa) karena teguran Tuhan, (karena di sana tempat) maksiat. Itu menambah duka buat mereka. Kita perlu jaga sikap, setidaknya kita mendoakan," katanya.
(chs)