Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Pariwisata (Kemenpar) berhasil membuktikan keunggulan Indonesia lewat diplomasi kuliner dan kopi yang menjadi favorit warga Kamboja di acara Indonesian Trade and Tourism Promotion (ITTP), Koh Pich, Phnom Penh, Kamboja, 28-30 September kemarin.
Diplomasi kuliner memang sangat pas 'dimainkan' di kancah global. Penetrasi yang dilakukan melalui 'Serangan' terhadap negara yang disentuh, hebatnya tidak membuat mereka merasa sedang 'diserang'.
"Lihat saja, Warung Bali, Bengawan Solo, Borobudur Restaurant dan Sumatera Cuisines, semua ramai. Banyak Cambodian yang hunting kuliner di sana," tutur Dubes RI untuk Kerajaan Kamboja, Sudirman Haseng, dalam keterangan tertulis, Senin (1/10/2018).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kuliner paling gampang menyentuh pasar Kamboja. Impactnya juga luar biasa. Dampak sosial budayanya dapat, ekonomisnya juga dapat. Jadi double impact," tambahnya.
Adapun kontribusinya terhadap negara terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bekraf yang dirilis pada 2018 yang menunjukkan subsektor ekonomi kreatif dengan pendapatan terbesar pada 2016 yaitu kuliner, fesyen, dan kriya. Angkanya sebesar Rp 923 triliun atau 7,4% dari total PDB di 2016.
Dari nilai sebesar itu, kontribusi kuliner adalah yang terbesar sekitar 41% atau senilai Rp 382 triliun. Dengan nilai sebesar itu berarti besaran industri ini sekitar dua kali lipat industri fesyen dan hampir tiga kali lipat industri kriya.
"Angkanya besar dan sangat nyambung dengan pariwisata," terang Sudirman.
Nada optimistis dan keyakinan baru pun muncul. Benchmark-nya bisa berkaca pada Thailand. Dalam hal diplomasi kuliner, bisa dikatakan Thailand adalah salah satu world's best practice dengan capaian-capaiannya yang sangat fenomenal.
Globalisasi masakan Thailand (Thai cuisine) terjadi sejak tahun 1960-an selama perang Vietnam tentara-tentara Amerika mulai "berkenalan" dengan masakan Thailand. Sejak saat itu resto-resto Thailand mulai banyak didirikan di New York, Chicago, dan Los Angeles oleh para imigran dari negeri Gajah Putih itu.
Perkembangannya sangat pesat, dari praktis tidak ada di tahun 1970-an, mencapai lebih dari 200 resto di awal tahun 1990-an. Itu baru Los Angeles saja, sementara di Eropa, di London yang di tahun 1970-an hanya berjumlah 4 resto, pada 2005 sudah mencapai 300 resto.
Dan semuanya itu, ikut diamini Asdep Pengembangan Pemasaran I Regional I Kemenpar, Masruroh.
"Benchmark-nya sudah ada. Kita hanya perlu amati, tiru dan modifikasi," terang Masruroh.
Menteri Pariwisata Arief Yahya pun dengan penuh keyakinan membeberkan strategi yang mesti dilakukan Indonesia dalam mempromosikan wajah Indonesia di ajang Intenasional. Hal itu terbukti dari kesuksesan Indonesia di ajang ITTP Phnom Penh 2018.
"Ada tiga hal yang harus kita jalankan. Pertama menetapkan national food. Kedua, menetapkan destinasi kuliner. Dan ketiga, mempromosikan dan mem-branding restoran Indonesia yang sudah ada di luar negeri. Jadi yang sudah dilakukan Pak Dubes Sudirman di Phnom Penh sudah tepat," kata Arief.
Untuk strategi menetapkan national food, Arief menjelaskan langkah-langkah Kemenpar sebelumnya untuk strategi ini.
"Kemenpar sudah menetapkan Soto, Rendang, Nasi Goreng, Sate, dan Gado-gado, sebagai national food. Kebetulan tiga dari lima makanan tersebut ditetapkan oleh CNN sebagai makanan terlezat di dunia yaitu Rendang, Nasi Goreng, dan Sate," ucap Arief.
Kedua, dengan menetapkan destinasi kuliner, Arief menjelaskan bahwa sebelumnya sudah diputuskan tiga destinasi kuliner Indonesia.
"Sudah diputuskan, ada tiga destinasi kuliner Indonesia yaitu Bali, Joglosemar, dan Bandung. Di Phnom Penh ada Warung Bali, Ada Borobudur Restaurant yang mewakili Joglosemar, jadi itu sudah tepat," ucap menteri asal Banyuwangi itu.
Strategi ketiga adalah dengan mengembangkan resto di luar negeri seperti yang ditempuh Pemerintah Thailand.
"Saya meyakini bahwa negara harus mengambil peran ini dalam rangka mendorong diplomasi kuliner. Namun karena anggaran terbatas, maka kita harus mencari jalan lain yang lebih smart dan efisien, yaitu dengan melakukan co-branding dengan restoran Indonesia yang selama ini sudah eksis di luar negeri," ucapnya.
Caranya bukan dengan membangun resto baru, tapi dengan mempromosikan resto Indonesia yang sudah ada di luar negeri.
"Resto-resto ini harus kita pilih dan kita kurasi agar bisa menjadi "wajah" Indonesia di luar negeri. Mereka harus menyajikan setidaknya 1 dari 5 national foods kita dan harus mempromosikan national foods tersebut ke para wisman di masing-masing negara. Terimakasih Pak Dubes Sudirman. Melalui ITTP 2018, wajah Wonderful Indonesia jadi terlihat cantik di Phnom Penh," ujar Arief.
(egp/stu)