Jakarta, CNN Indonesia -- Salah satu hal yang kerap dihadapi saat seseorang bepergian adalah seruan dari teman atau kerabat terkait oleh-oleh.
Dalam sejarah peradaban manusia, aktivitas memberikan buah tangan sudah dimulai sejak zaman manusia hidup di dalam gua.
Mengutip
Occasion Station, manusia purba lelaki memberikan oleh-oleh kepada kaum hawa dengan harapan mendapat imbalan yang sesuai. Oleh-oleh pada zaman itu masih berupa batu, gigi hewan, atau apapun yang menunjukkan kasih sayangnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun seiring perkembangan zaman, oleh-oleh akhirnya menjelma dalam beragam perspektif. Mulai dari acara istimewa, hubungan antar negara, hingga menunjukkan rasa cinta terhadap pasangan. Sebagai makhluk sosial, tak sedikit manusia memang menikmati aktivitas memberi dan menerima.
Seperti yang dikutip dari
Curious History, memberi dan menerima oleh-oleh seakan sudah menjadi bagian dari DNA manusia. Aspek psikologi memegang peranan penting dalam konsep ini.
Suka tidak suka, akhirnya aktivitas ini pun masuk dalam perangkap industri. Sehingga nilai dari sebuah oleh-oleh bermuara pada aktivitas ekonomi prakmatis. Contohnya adalah toko oleh-oleh menjamur di berbagai penjuru dunia, lengkap dengan embel-embel 'khas'.
Menilai oleh-oleh dari perspektif keilmuanSeorang profesor arkeologi dari Institut Teknologi Rochester Amerika Serikat, Christine Kray, menuturkan oleh-oleh memiliki dampak tersembunyi di masyarakat.
"Setiap kebudayaan memiliki penafsiran yang berbeda terkait oleh-oleh, hal ini dikarenakan pola kebudayan hingga upaya apresiasi yang berbeda," ujar Kray, seperti yang dikutip dari situs resmi
Institut Teknologi Rochester.
Kray menuturkan penelitian tentang oleh-oleh yang berkaitan dengan kebudayaan, pertama kali dipublikasikan secara akademis oleh seorang arkeolog sekaligus antropolog Prancis, Marcel Mauss.
Menurut Mauss, Kray melanjutkan, kesimpulan dari penelitiannya adalah oleh-oleh tidak diberikan secara cuma-cuma.
"Pada kenyataannya, oleh-oleh kerap memiliki maksud tersembunyi terkait penggantian berupa oleh-oleh. Meskipun tidak jarang yang menganggap oleh-oleh adalah cara untuk membangun relasi sosial," ujar Kray.
Menanggapi hasil penelitian tersebut, pakar sejarah dari Institut Teknologi Rochester, Michael Lever, menuturkan pengalamannya saat ia melakukan penelitian di kawasan Asia, khususnya Jepang.
Menurutnya warga negara Jepang yang hidup di era sebelum modern, menganggap oleh-oleh adalah hal yang wajib dibalas suatu hari.
"Dengan memberikan oleh-oleh kepada seseorang, secara tidak langsung orang yang diberi oleh-oleh akan merasa berhutang budi," kata Lever.
Tak hanya di kebudayaan timur saja, Lever melanjutkan, kebudayaan barat juga menerapkan norma yang sama. Sebagai contoh, ia melanjutkan, oleh-oleh dari sinterklas harus dibayar dengan perilaku yang baik.
Menurut Lever pemberian tidak pernah dipandang sebagai sebuah pemberian semata.
"Pemahaman akan sebuah kewajiban untuk memberi timbal balik sangatlah kuat dalam hal oleh-oleh. Saya kira ketika tradisi memberikan oleh-oleh sudah diterapkan dengan nilai yang seperti itu, maka akan sulit untuk mengubahnya," ujarnya.
"Karena jika ada yang ingin mematahkan tradisi tersebut dan berkata 'Saya tidak akan memberikan oleh-oleh kepada siapapun', maka itu artinya orang tersebut tidak peduli dengan sebuah hubungan."
Sementara itu dalam khasanah Indonesia, peran oleh-oleh juga tak jauh berbeda dengan pembahasan para pakar di atas. Seorang antropolog Universitas Padjadjaran, Budi Rajab, menuturkan tradisi memberi oleh-oleh sudah ada sejak zaman sebelum kerajaan-kerajaan di Indonesia berdiri. Namun, Budi menambahkan, nilai dari oleh-oleh berbeda dengan barter."Jika seseorang memberikan oleh-oleh, secara tidak langsung maka pemberian itu harus diganti dengan pemberian juga. Namun nilai barangnya tidak menjadi masalah. Berbeda dengan barter yang harus diganti saat itu juga dengan nilai barang yang tidak boleh jauh berbeda," ujar Budi kepada CNNIndonesia.com pada Jumat (11/1)."Ini lebih ke perkara tradisi dan etika saja, meskipun sebenarnya juga tidak ada yang melarang kalau tidak membalas pemberian oleh-oleh dari seseorang." (agr/ard)