Kalimat itu terlontar dari mulut seorang kawan, sebut saja Rayu, si kawan dekat yang sudah lama tak bersua. Kalimat itu jadi jawaban Rayu saat saya bertanya di mana saya bisa mendapatkan Congyang.
Congyang adalah minuman beralkohol tradisional asal Semarang. Namanya begitu melegenda di seantero Semarang. Tak didistribusikan ke daerah-daerah lain, minuman fermentasi beras itu hanya tersedia di Semarang.
Artinya, siapa pun yang menginginkan Congyang, bertandanglah ke Semarang.
Awal Februari lalu, pukul 07.00 WIB, tubuh saya masih berada di Solo, kota yang berjarak sekitar 95 kilometer dari Semarang. Tapi, isi kepala sudah berpelesir menuju pojok-pojok Kota Semarang, mencari kesegaran dari cairan yang ada di balik botol kaca bergambar tiga dewa itu.
Bukan untuk mabuk, saya hanya ingin tidur nyenyak.
Ada banyak jalan menuju Semarang. Jika ingin sedikit berputar-putar mengelilingi Jawa Tengah, Anda bisa meluncur melalui jalur Purwodadi.
Atau, jika terburu-buru, Anda bisa mencoba jalur Tol Semarang-Solo yang dapat ditempuh hanya dalam waktu 90 menit.
Tapi, bagi Anda yang ingin menikmati perjalanan, cobalah jalur yang melintasi Boyolali-Salatiga-Ambarawa-Ungaran.
Jalur dari Solo menuju Semarang yang satu ini patut untuk dijajal. Saya menyebut jalur ini sebagai rute naik turun gunung.
Betapa tidak, dari Solo di ketinggian 105 mdpl menuju Salatiga dengan ketinggian 750 mdpl, semakin menanjak ke sekitar 1.700 mdpl di Bandungan-Ungaran, untuk kemudian turun kembali ke Semarang, sebuah kota yang terletak di pesisir pantai.
Pelan-pelan kendaraan yang saya tumpangi melaju kencang. Tak begitu jauh dari pusat Kota Solo, berbelok sedikit menuju Bandara Internasional Adi Soemarmo, ada tempat yang penuh dengan cerita.
Itu adalah Pabrik Gula Colomadu, pabrik gula pertama yang dibangun oleh bangsa lokal, Mangkunegaran IV pada 1861 silam.
Namun, karena mengejar waktu, saya tak memilih untuk berbelok. Saya tetap melanjutkan perjalanan melewati Jalan Raya Boyolali-Semarang.
Setibanya di Boyolali, pikiran saya lantas melompat pada guyonan satir 'tampang Boyolali' yang sempat viral di media sosial. Saya mencerna, ada apa dengan Boyolali. Ah, rasanya tak ada apa-apa.
Boyolali hanya kabupaten kecil yang sederhana. Di dalamnya ada lalu lalang warga yang sibuk beraktivitas.
Mobil terus melaju, udara segar mulai merasuki tubuh. Menengok ke kiri, puncak Gunung Merbabu malu-malu memperlihatkan dirinya dari balik awan. Ia berdiri tegak di atas ketinggian.
Gunung Merbabu adalah salah satu gunung tertinggi di Pulau Jawa. Dengan ketinggian 3.145 mdpl, ia berada di tiga wilayah administratif: Kabupaten Magelang, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Boyolali.
Boyolali menjadi pintu masuk bagi mereka yang akan mendaki melalui jalur Selo dan pintu masuk utama Taman Nasional Gunung Merbabu sebagai jalur pendakian populer.
Namun, jika ingin sedikit antimainstream, Anda bisa menjajal jalur Kopeng, sebuah desa di Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, yang cantiknya bukan main.
Saya berbelok ke Jalan Muncul Raya di sebelah barat Salatiga. Menyusuri jalan, lalu tibalah saya pada dermaga kecil milik nelayan setempat.
Saya permisi melewati warga sekitar yang berkumpul di rumah-rumah apung pinggiran danau menikmati sore ditemani secangkir kopi panas.
Saya mendapatkan perahu nelayan dengan harga sewa Rp90 ribu untuk satu jam perjalanan. Bayaran itu setimpal dengan suasana yang didapat di atas perahu yang meluncur melewati kumpulan eceng gondok di permukaan Rawa Pening.
Pelan-pelan kami melaju menuju tengah area danau. Amboi, hanya ada hamparan air danau yang luas, karamba, gunung, dan kabut sejauh mata memandang. Maklum, luasnya mencapai 2.670 hektare. Saking luasnya, saya merasa tak sedang berlayar di danau, melainkan di laut.
Awan-awan itu perlahan bergerak sedikit menjauh dari gunung. Dari sana, puncak-puncak gunung mulai dari Ungaran, Telomoyo, dan Merbabu terlihat jelas.
Sesekali, saya bertemu dengan nelayan bertopi caping yang mendayung sembari berdiri di atas kayak. Saat dua nelayan kebetulan berpapasan, mereka saling bertegur sapa, dan mungkin saling bertanya, "Berapa ikan yang didapat hari ini?"
Puas menikmati ketenangan di atas danau, saya kembali melanjutkan perjalanan menggapai Congyang. Saya pilih jalur Ambarawa, agar bisa mampir sebentar ke Museum Kereta Api dan menaiki kereta api tua.
Namun, di tengah jalan saya mendadak dibuat penasaran oleh bangunan benteng tua yang teronggok lesu di tengah area sawah.
Mencari tahu berselancar di dunia maya, saya tahu kalau itu adalah Benteng Pendem Ambarawa atau dikenal juga Fort Willem I. Seketika saya dibuat terpesona oleh benteng yang termakan usia itu.
Lokasinya berada di Kelurahan Lodong, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang. Mencari cara dengan bertanya pada warga, saya mendapatkan jalur masuk melalui Kampung Bugisan-berdekatan dengan RSUD Ambarawa-yang lokasinya tak jauh dari pintu benteng.
Benteng Pendem Ambarawa dibangun pada 1843 dan rampung pada 1845 silam. Sejak 1950 hingga saat ini, sebagian benteng difungsikan sebagai Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Ambarawa.
Penasaran bukan main saya dengan bangunan reyot itu.
 Benteng Pendem Ambarawa. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Setibanya di depan gerbang, yang tampak hanyalah bangunan lusuh dengan dinding-dinding yang sudah mengelupas rapuh. Dari sini terlihat pula pakaian-pakaian basah yang dijemur di pinggir jendela lantai dua. Itu adalah penanda bahwa di sana ada kehidupan.
"Ini [Benteng Pendem Ambarawa] memang jadi tempat tinggal orang-orang lapas," ujar salah seorang warga yang saya temui. Mereka tinggal di lantai dua bangunan. Oleh sebab itu pula, pengunjung dilarang mengambil gambar di area lantai dua.
Ironi, sesungguhnya, saat mengetahui bahwa bangunan yang sudah tak manusiawi dan hampir hancur ini menjadi tempat tinggal manusia.
Benteng ini menjadi salah satu peninggalan era kolonial Belanda di Ambarawa. Kehadiran benteng tak lepas dari pembangunan Stasiun Ambarawa.
Benteng ini pernah menjadi markas dan gudang logistik Belanda terbesar di Jawa Tengah pada masanya. Saat Jepang datang, benteng ini sempat diambil alih sebagai kamp militer.
Kondisi benteng masih dipertahankan sebagaimana aslinya sejak lebih dari satu abad silam. Rerumputan menjalar di hampir seluruh dinding benteng, menambah suasana menyeramkan yang terasa. Belum lagi burung-burung walet yang beterbangan di atas area benteng.
 Benteng yang telah berdiri sejak tahun 1845. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Puas dengan rasa penasaran, saya kembali ke tujuan awal: naik kereta api tua.
Museum Kereta Api berada di Jalan Stasiun Ambarawa. Beberapa gerbong kereta tua terpajang di area luar ruangan museum. Siapa pun bebas masuk ke dalamnya.
Tujuan lancong yang satu ini terbilang ramai. Betapa tidak, untuk masuk ke dalamnya, pengunjung hanya ditarik duit tiket seharga Rp10 ribu.
Untuk mendapatkan pengalaman jalan-jalan naik kereta tua ini setiap orang ditarif sebesar Rp 50ribu. Duit itu digunakan untuk perjalanan pulang pergi Stasiun Ambarawa-Stasiun Tuntang dengan waktu tempuh sekitar satu jam perjalanan.
Jalur kereta wisata ini hanya beroperasi pada akhir pekan dan hari libur nasional.
Museum Kereta Api Ambarawa. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Bangku penumpang terasa keras. Penumpang hanya dipersilakan duduk di bangku kayu yang pasti terasa keras di pantat.
Saat peluit berbunyi dan kereta melaju, saya membayangkan masa silam, saat meneer-meneer berambut pirang dengan gaun dan setelah jasnya beramai-ramai menaiki kereta yang saya tumpangi.
Kereta bergerak melintasi jalan-jalan kecil Ambarawa. Perlahan, pemandangan serba hijau pun hadir sejauh mata memandang. Ditambah lagi dengan lanskap Rawa Pening yang kebetulan dilalui jalur kereta.
Dari kereta, lanskap nelayan-nelayan yang mengayuh kayak tampak di depan mata. Belum lagi sekumpulan warga lokal yang berkumpul di rumah-rumah apung di atas permukaan danau yang menyapa setiap penumpang.
Setibanya di Stasiun Tuntang, kereta beristirahat sejenak untuk kemudian melanjutkan perjalanan kembali ke Stasiun Ambarawa.
 Wisata kereta yang diramaikan oleh pengunjung keluarga. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Penjelajahan penulis untuk menemukan congyang di Semarang masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Setelah asyik menaiki kereta tua, lapar jua rasanya. Sebelum tiba di tempat makan sesungguhnya di lereng Ungaran, saya membeli camilan roti legendaris Ambarawa.
Toko Roti Pauline yang berlokasi di Jalan Bawen Ambarawa menjadi pilihan. Berbagai roti tradisional tempo dulu dapat ditemukan di toko ini.
Saya membeli berbagai roti, mulai dari roti cokelat, roti keju, hingga roti klopo yang menjadi signature Toko Roti Pauline. Roti klopo terbuat dari adonan sari kelapa.
Saat dikunyah, rasa gurih langsung terasa di mulut.
Tak ubahnya adonan turun temurun, tekstur yang hadir begitu khas. Meski agak crunchy di bagian permukaan, tapi tekstur 'daging' roti begitu padat dan terasa lembut di mulut. Cukup menarik untuk mengganjal perut selama perjalanan sebelum tiba di tempat makan besar yang sesungguhnya.
Sambil mencamil, saya melanjutkan perjalanan untuk singgah mengisi perut sebentar di Pondok Kopi Umbul Sidomukti yang lokasinya berada di Desa Sidomukti, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang.
Berjarak sekitar 13 kilometer dari Ambarawa, Pondok Kopi Umbul Sidomukti rasanya jadi pilihan tepat untuk melepas lelah setelah beraktivitas. Saya hanya butuh waktu sekitar 45 menit untuk tiba di sana.
Tapi, jangan kaget dengan trek perjalanan yang rumit, berkelok-kelok, dan terus menanjak. Belum lagi hujan lebat turun saat saya berangkat.
Saya meluncur melalui jalur arah Goa Maria Kerep, menuju kawasan Kalimosodo, Bandungan, yang terkenal dengan wisata malamnya. Lalu mengambil jalur menuju Goa Jepang Sidomukti. Beberapa tikungan dan tanjakan tajam kudu dilewati. Jujur saja, agak ngeri saya dibuatnya.
Tapi, jantung yang berdetak cepat akibat kengerian selama perjalanan itu terbayar total saat saya tiba di Umbul Sidomukti. Hawa dingin dan angin pegunungan langsung menusuk kulit. Belum lagi kabut turun yang, sayangnya, menutupi pemandangan Ambarawa dan Rawa Pening.
Padahal, jika cuaca sedang cerah, tempat ini menjadi titik terbaik untuk memandang hamparan luas Rawa Pening dari kejauhan.
Umbul Sidomukti sebenarnya merupakan kawasan wisata terpadu yang dikelola oleh pihak swasta. Mengambil area luas di ketinggian 1.700 mdpl, kawasan ini selalu dipenuhi pengunjung.
Ada beberapa destinasi yang disediakan. Mulai dari villa tempat menginap, area outbond, perkemahan, kolam renang di pinggir tebing, dan kedai kopi yang lokasinya berada di hampir paling atas.
Saya memesan Mi Godog Jawa dan teh lemon panas untuk menghangatkan badan yang kedinginan.
 Menu makanan yang dipesan. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Mi Godog Jawa yang saya pesan berisi mi kuning yang dipadu dengan suwiran daging ayam, telur, potongan bakso, dan daun kol.
Sama seperti mi godog pada umumnya, tak ada yang berbeda. Hanya saja, sensasi menikmati kuahnya yang panas di hawa dingin seperti di Gunung Ungaran-lah yang membuatnya terasa berbeda.
Sontak hawa hangat meresap dalam tubuh saat saya mencecap kuah Mi Godog Jawa yang saya pesan.
Buru-buru saya habiskan mi godog yang dipesan. Setelahnya, giliran saya meneguk teh lemon hangat sembari memandangi kabut yang perlahan pergi. Ah, nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan.
Dalam beberapa menit, lanskap Rawa Pening yang maha luas pun memperlihatkan dirinya perlahan. Kehadirannya ditemani dengan kemunculan pelan-pelan sederet gunung yang mengelilingi.
Ingin rasanya kembali ke Rawa Pening. Tapi tak bisa, lagi-lagi karena saya harus berhasil menggapai Congyang yang bikin penasaran betul.
 Pemandangan berkabut. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Kendaraan turun ke arah Kalimosodo menuju Jalan Jimbaran untuk kemudian keluar di Jalan Raya Semarang-Surakarta.
Selamat datang kembali peradaban! Semoga saya berhasil menyapa Congyang.
Kendaraan melaju ke arah Semarang dengan kepadatan jalan yang dipenuhi oleh truk-truk besar lalu lalang di Ungaran, ibu kota Kabupaten Semarang.
Setibanya di Semarang, saya beristirahat sejenak di hotel melemaskan kaki dari huru-hara sejak pagi. Bersantai di kamar hotel sembari menunggu malam agenda mencari Congyang.
Saat matahari mulai terbenam, seorang kawan datang menjemput menemani saya mencari Congyang. Kami berkelana mengelilingi kota.
Saya dipertunjukkan beberapa warung kelontong yang ada di sekitar Stasiun Tawang.
"Warung-warung itu ngejualin Congyang biasanya," kata Rayu.
Namun, saya urung untuk membeli Congyang di sana, lantaran tak bisa diminum di tempat. Si kawan mengajak saya ke tempat berikutnya, salah satu toko yang khusus menjual minuman-minuman beralkohol.
 Penampakan Congyang. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Lokasinya berdekatan dengan Kampung Pelangi. Congyang terpajang di salah satu lemari pendingin yang ada di dalamnya.
Tempat terakhir pencarian Congyang adalah warung Bambang Swike yang ada di kawasan Pleburan, Semarang.
Warung itu menyediakan Congyang sebagai salah satu pilihan minuman beralkoholnya.
Suasana gelap menyeruak di dalam Kedai BS. Dari jauh, kedai itu tak ubahnya 'warung remang-remang' dengan deretan motor yang berjejer di depannya. Agak mengerikan jika dilihat dari luar.
Namun, di balik keremangan itu, puluhan orang berkumpul di sana. Praktis tak ada satupun pengunjung yang terlihat mencicip swike sebagai sajian utama.
Yang ada di meja-meja kayu alakadarnya itu hanyalah botol-botol Congyang atau minuman alkohol lain disertai sepiring kentang goreng sebagai camilan.
Minuman Cap Tiga Dewa itu ada di depan mata. Wajah tiga orang yang terlukis di depannya seolah melambaikan tangan dan mengajak berkenalan.
Teguk demi teguk saya habiskan, manis terasa di lidah dengan sensasi rasa kecut yang muncul belakangan di ujung lidah, khas minuman fermentasi beras layaknya Brem.
Perjalanan naik turun gunung Solo-Semarang telah usai. Congyang pun telah berhasil digapai. Perlahan saya mengantuk, ingin mengistirahatkan tubuh yang lunglai.