Yogyakarta, CNN Indonesia -- Gang kecil itu dipenuhi oleh pepohonan rimbun. Seolah tak ada kehidupan, yang terdengar hanya suara semilir angin yang menenangkan pendengaran.
Tapi siapa sangka di balik ketenangan pemukiman Yogyakarta itu ada keriuhan pengolahan minuman fermentasi dari buah salak yang dinamakan Pondoh.
Wulung (bukan nama sebenarnya) bersama dua temannya memproduksi minuman fermentasi Pondoh di 'istana' kecilnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita sengaja
ngambil tempat di sini, biar
enggak ketahuan," kata Wulung seraya terkekeh saat menyapa kedatangan
CNNIndonesia.com pada akhir Januari lalu.
Belasan gentong plastik berukuran besar berjejer di area dapur belakang rumah. Dari corong di bagian bawah, ada cairan berwarna kecoklatan yang menetes sedikit demi sedikit. Itu adalah cairan hasil fermentasi salak pondoh yang didiamkan selama dua bulan.
Di sudut lainnya, mesin cuci tersedia khusus untuk menyaring dan mensterilkan sari buah salak pondoh.
Tak jauh dari situ, kompor yang tak menyala sedang terdiam lantaran tak ada proses produksi yang dilakukan saat itu.
'Pabrik' kecil itu jauh dari kata kotor. Lantai semen terasa licin dan bersih, juga dinding-dinding yang terawat.
"Iya, harus bersih. Ini bukti bahwa proses pembuatan minuman kami [Pondoh] terjaga dengan baik," kata Wulung.
Tak sengaja Wulung menemukan 'rumus' minuman Pondoh pada awal 2013. Itu bermula dari aksi coba-coba sang kawan, Baya (bukan nama sebenarnya), bereksperimen dengan fermentasi berbagai jenis buah.
"Baya itu
nyoba-nyoba bikin fermentasi berbagai buah dulu. Pas dicoba, eh, enak," ujar Wulung disambut gelak tawa Baya yang duduk di depannya.
"Sebenarnya, sih, coba-coba bikin untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri aja," kelakar Baya seraya menuangkan minuman Pondoh ke dalam gelasnya.
Eksperimen dilakukan dengan Baya mencoba membuat fermentasi berbagai buah dicoba, mulai dari pepaya, mangga, jambu, nanas, sampai salak.
Baya meniru cara fermentasi dengan menonton video-video yang tersebar di YouTube ditambah dengan ragam literatur yang dibaca.
Saat pertama kali mencecap hasil fermentasi salak pondoh, yang ada di pikiran Wulung adalah nama Yogyakarta. Betapa minuman itu begitu identik dengan Yogyakarta, sebagai sentra industri salak pondoh.
"Aku langsung berpikir kalau Pondoh cocok untuk dikembangkan," kata Wulung.
Merasa racikannya berhasil, keduanya lantas mencoba mulai memasarkan minuman fermentasi Pondoh secara terbatas. Awalnya minuman itu hanya dijual pada kerabat-kerabat dekat.
"Eh, laku. Ya,
diterusin aja," kata Wulung terkekeh.
 Salak Pondoh yang menjadi bahan dasar minuman Pondoh. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Membahagiakan Petani Tak terlalu manis dan tak terlalu asam. Dua rasa itu langsung tercecap saat air Pondoh masuk ke dalam mulut.
Saat minuman itu meluncur jauh pada tenggorokan, ada yang tersisa di ujung lidah. Itu adalah rasa kecut khas buah salak.
"Kita pakai bahan yang tersedia di Yogyakarta," kata Wulung. Salak pondoh selalu berbuah setiap tahun. Hal itu membuat salak pondoh selalu tersedia dalam jumlah yang banyak.
Over supply," kata alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini.
Hitung-hitung membantu, Wulung memborong buah salak langsung dari sejumlah petani di Yogyakarta.
Wulung juga tak ambil pusing soal karakter salak yang digunakan. Besar atau kecil tak jadi soal. Salak berukuran kecil, kata dia, sering dibuang sia-sia karena tidak terserap pasar.
"Paling enggak kita jadi langganan mereka, dan mereka tahu kalau salaknya pasti ada yang beli. Ya, kita ini," katanya.
Dalam sekali produksi, dia memboyong satu kuintal salak yang kemudian diolah menjadi 150 liter minuman Pondoh.
 Minuman fermentasi khas Yogyakarta yang terbuat dari salak pondoh. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Wulung memproduksi dua varian minuman Pondoh, reguler dan premium. Perbedaan terletak pada tekstur air dan rasa yang dihasilkan, juga proses pembuatan.
Pondoh versi premium memiliki rasa dan tekstur air yang lebih lembut di mulut lantaran proses fermentasi yang memakan waktu lebih lama.
Proses pembuatannya sendiri cukup sederhana. Sari buah salak yang diambil dimasak hingga mendidih untuk kemudian dimasukkan ke dalam gentong plastik dan menjalani proses fermentasi alias pengendapan.
Minuman Pondoh reguler hanya membutuhkan waktu fermentasi selama dua bulan. Sementara proses fermentasi Pondoh versi premium menghabiskan waktu hingga dua tahun.
Agar tidak lupa kapan cairan fermentasi itu harus diangkat, Wulung menempelkan kertas bertuliskan tanggal cairan itu dimasukkan ke dalam gentong.
"Harus rajin
ngecek dan ingat aja, jangan sampai kelupaan. Itu saja. Selebihnya hanya urusan waktu," kata Wulung.
Ketelatenan Wulung dan kawan-kawan dalam mengolah minuman fermentasi ini rasanya tak sia-sia. Bukan cuma di kalangan anak muda Indonesia, minuman ini sudah melanglang buana sampai ke negara tetangga.
"Banyak, kok, turis yang jalan-jalan ke Yogyakarta, terus nyarinya Pondoh," kata Wulung sumringah.
Sensasi membeli Pondoh bisa dibaca pada halaman berikutnya...
Diam-diam Membeli PondohDiwawancarai terpisah, Nuki (bukan nama sebenarnya), masih ingat saat pertama kali membeli Pondoh pada 2016 lalu. Mendengar informasi dari kawan, dia penasaran mencecap rasa minuman yang tengah naik daun itu.
Nuki menghubungi nomor yang direkomendasikan sang teman untuk membeli Pondoh. Dia memesan dua botol Pondoh.
Obrolan via WhatsApp dilakoni bersama agen. Keduanya sepakat kopi darat di dekat salah satu minimarket di kawasan selatan Yogyakarta.
Nuki berdandan ala kadarnya sebagaimana sehari-hari dia berpenampilan. Setelah menunggu tak begitu lama, seorang pria berjaket biru menghampirinya seraya tersenyum.
Tapi, Nuki tahu bahwa si pria berjaket biru itulah yang datang membawakan Pondoh untuknya. Tak tunggu waktu lama, kantung kresek hitam berisi dua botol Pondoh ada di tangannya.
"Hahaha, kayak beli narkoba aja," kenang Nuki saat berbincang dengan CNNIndonesia.com di kawasan Malioboro, Yogyakarta.
Ketenaran minuman Pondoh ini tak lantas membuat Wulung mempromosikan dan mengedarkan minumannya secara sporadis.
Wulung sadar betul bahwa bisnisnya ini masih ilegal. Soal pendistribusian, Wulung masih sangat berhati-hati.
Tak sembarangan Wulung menjual minuman andalannya itu. Wulung menjual Pondoh berbekal nomor.
"Kita ini masih
underground banget penjualannya," kata Wulung.
"Kalau mau pesan, nanti aku kasih nomornya. Terus, nanti aku ngomong ke dia (misalnya agen), nanti ada orang mau beli tolong dikasih," jelas Wulung menggambarkan begitu tertutupnya penjualan Pondoh.
Pondoh memang hanya dijual melalui perantara dari mulut ke mulut. Dengan gaya sedemikian rupa, wajar jika minuman ini hanya dikenal di lingkaran pertemanan dan komunitas yang dekat dengan Wulung atau Baya.
Dari teman yang satu, berpindah ke teman yang baru, dan begitu seterusnya.
"Siapa aja yang minum Pondoh, bisa dipastikan itu ada di lingkaran kita, meski kita sendiri enggak kenal, bisa jadi itu temannya temanku, kan," kata Wulung.
Saking hati-hatinya, mereka akan saling bertanya di sebuah grup WhatsApp jika ada nomor tak dikenal yang menghubungi dan menanyakan Pondoh.
Jika pembeli tak mengenal salah satu nama yang ada dalam lingkaran sosial Wulung, Baya, beserta agen-agennya, maka dia tak bisa mendapatkan Pondoh.
"Tapi jarang, sih, kita sampai nolak gitu. Biasanya emang selalu di lingkaran ini-ini aja," kata Wulung tertawa.
Jangankan berhati-hati soal penjualan, Wulung dan Baya juga sedikit waspada dengan identitasnya sebagai si empunya Pondoh.
Mereka memilih untuk berlaku pura-pura tak tahu menahu soal Pondoh atau berlagak layaknya sesama penikmat.
"Selama ini kita suka ketemu sama peminum Pondoh, cuma mereka enggak tahu kalau itu [Pondoh] kita yang bikin. Hahaha," kata Baya tertawa terbahak-bahak.
 Produksi Pondoh yang diklaim bersih dan aman. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Sebagai Alternatif Minuman BaruOptimisme Wulung dan Baya menghadirkan Pondoh ke khalayak didorong oleh faktor maraknya korban berjatuhan akibat minuman oplosan.
Mereka berpikir bisa menghadirkan minuman alternatif yang aman dan menjamin bahwa proses pembuatan Pondoh terkontrol dan bisa dipertanggungjawabkan dari hulu ke hilir.
Dalam kurun waktu dua tahun ke belakang, minuman fermentasi semakin tengah naik daun di Yogyakarta.
Tak cuma Wulung, beberapa nama juga diketahui sedang getol meracik minuman fermentasi berbahan dasar buah.
Mereka lalu membuat paguyuban para pembuat minuman fermentasi. Tujuannya untuk mengenalkan minuman fermentasi pada khalayak luas.
Rencana itu muncul akibat masih banyaknya masyarakat yang memandang minuman beralkohol secara hitam dan putih.
"Kita mulai merencanakan bikin kampanye. Kita harus jelasin, kenapa dia [minuman fermentasi] aman dan kenapa bisa dijadikan minuman alternatif daripada oplosan," jelas Wulung.
Secara sederhana, Wulung ingin agar minuman-minuman fermentasi yang banyak bermunculan di Yogyakarta ini menjadi minuman alternatif yang aman.
"Seandainya ini bisa diterima sebagai minuman alternatif, ya kita senang banget," kata Wulung.
Sedari awal, Wulung dan kawan-kawan sadar bahwa bisnis minuman fermentasi yang dilakoninya ilegal secara hukum. Betapa tidak, mereka terbentur dengan regulasi yang berlaku.
Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta menelurkan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol serta Pelarangan Minuman Oplosan.
Peraturan ini hadir lantaran banyaknya kasus kematian akibat minuman yang dicampur dengan bahan-bahan tak semestinya.
"Kita sebenarnya prihatin dengan kasus-kasus oplosan itu. Maka dari itu, kami hadir menawarkan alternatif," kata Wulung.
Kendati mencoba menawarkan minuman alternatif, Wulung sadar bahwa upaya untuk mendapatkan tempat di tengah masyarakat luas masih harus menempuh jalan panjang.
"Setidaknya mencoba bergerak dulu," pungkas dia.