Jakarta, CNN Indonesia -- Film
Avengers: Endgame telah bisa dinikmati di
bioskop-bioskop terdekat. Tak lengkap rasanya jika menonton film favorit tanpa ditemani
camilan popcorn. Tanpa disadari,
popcorn jadi camilan wajib saat menonton di bioskop.
Tengok saja sejumlah bioskop di Indonesia.
Popcorn tak pernah absen dari daftar menu yang disediakan. Padahal, menilik sejarahnya,
popcorn malah jauh dari kebiasaan menonton bioskop.
Dahulu kala, tak ada penonton yang menyantap
popcorn atau makanan ringan lainnya saat menonton film di bioskop. Pada masa itu, tontonan masih berformat film bisu. Kehadirannya dinilai pihak bioskop mengganggu jalannya pemutaran film.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Andres Smith, penulis buku
Popped Culture: A Social History of Popcorn, mengatakan bahwa bioskop jelas tak mau ambil risiko. Makanan dinilai bakal mengotori karpet bioskop.
"Mereka punya karpet dan permadani yang cantik. Mereka tidak ingin ada
popcorn mengotorinya," kata Smith dikutip dari
Smithsonian Magazine.
Popcorn sendiri mulai populer pada pertengahan 1800-an. Penjual camilan berbahan dasar jagung pinggir jalan mulai berjamur saat mesin pembuatnya ditemukan pada 1885 silam oleh Charles Cretor. Gerobak penjaja
popcorn umumnya muncul di gelaran olahraga luar ruangan, sirkus, maupun pameran.
Jagung
beledug begitu populer lantaran produksinya yang tak memerlukan area luas. Saat itu, kepopuleran camilan itu bahkan pernah menyaingi keripik kentang yang juga disukai. Lewat aromanya yang khas saat matang dan mengembang, penjaja
popcorn membuat calon pembeli kepincut.
Kendati berhasil menandingi kepopuleran camilan lain, namun
popcorn belum mampu membuat bioskop meliriknya. Kehadiran
popcorn di bioskop dimulai pada beberapa dekade berikutnya.
Pada 1927, film mulai hadir dengan format audio visual. Bioskop memperluas target audien yang mulanya hanya terbatas pada kaum menengah ke atas. Tak ayal, peminat bioskop pun kian melonjak pada 1930 silam.
Penerimaan bioskop akan kehadiran popcorn terjadi pada masa '
great depression'. Masa ini menandai penurunan tingkat ekonomi di seluruh dunia yang dimulai pada 1929. Depresi menggerus perekonomian negara industri maupun berkembang.
Pada masa tersebut, banyak orang kesulitan mencari hiburan murah untuk mengalihkan perhatian mereka dari masa sulit. Para penjual
popcorn memanfaatkan situasi dengan berjualan di depan bioskop dengan harga murah.
Lama-kelamaan, bioskop melihat penjualan makanan bisa turut menopang kebutuhan operasional mereka. "Namun itu dimulai dengan menyediakan
popcorn dan makanan ringan lain [untuk bertahan]," kata Smith.
'Kebersamaan' bioskop dan
popcorn makin kuat saat Perang Dunia II. Camilan ini mengalahkan permen dan soda yang banyak mengandung gula. Mau tak mau, kedua jenis makanan ini harus menyerah sebab Filipina sebagai eksportir gula tak lagi bisa memasok gula ke Amerika Serikat.
Pada 1945,
popcorn dan film seakan tak bisa dipisahkan. Nyaris setengah produksi
popcorn di Amerika Serikat dikonsumsi di bioskop.
Namun, kebersamaan
popcorn dan bioskop tak selalu berjalan mulus. Popularitasnya sempat menurun lantaran kemajuan teknologi. Kemunculan televisi pada era 1960-an membuat semakin sedikit orang yang bertandang ke bioskop.
[Gambas:Video CNN] (els/asr)