Jakarta, CNN Indonesia -- Hidup kita 'dibajak' oleh si
ponsel pintar. Katanya, semua ada di dalam genggaman tangan. Meski terasa tak masuk akal, jargon singkat itu benar adanya. Lewat perangkat kecil yang ada di dalam genggaman, segala hal jadi lebih mudah. Ponsel pintar menjadi segala-galanya bagi orang-orang di zaman kiwari.
Kapan pun dan di mana pun, ada ponsel pintar yang siap membantu. Mengatasi rasa bosan, menemani beragam aktivitas, dan mempermudah mobilitas sehari-hari, semua dapat dilakukan oleh si mungil yang canggih itu. Sebentar saja ponsel pintar itu mati, kehidupan seolah 'lumpuh' dalam beberapa waktu.
Dari layar ponsel itu juga, terkadang muncul rasa gelisah. Notifikasi dari grup kantor di WhatsApp dan surat elektronik kerap bikin waswas. Rasa gelisah juga muncul saat mengetahui kabar tak menyenangkan di tengah kegiatan
scrolling tak henti-henti pada feed Instagram, Twitter, dan portal-portal berita.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi saya, keberadaan ponsel pintar juga terkadang membuat hal-hal yang ada di sekitar luput dari amatan mata. Sulit pula rasanya untuk mengingat berbagai hal secara merinci. Meski secara fisik saya berada di dalam sebuah ruang atau situasi sosial, tapi ponsel pintar membuat saya tak sepenuhnya ada di sana. Pikiran saya justru mengawang bebas pada kesibukan dalam layar.
Tapi, apa mau dikata? Telan saja rasa gelisah itu.
Toh, faktanya saya tak bisa hidup tanpa ponsel pintar. Beberapa orang bahkan merasa hampa saat perangkat kecil itu tak ada dalam genggaman.
Nomofobia, katanya. Istilah ini merujuk pada rasa cemas yang muncul saat seseorang berada jauh dari ponsel pintar. Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal
Computers in Human Behaviour menyebut bahwa nomofobia adalah gangguan nyata di zaman sekarang. Semakin kita sering menggunakan ponsel pintar, semakin kita bergantung padanya.
Istilah 'nomofobia'-yang baru saya ketahui-membuat saya tergelitik. Rasa penasaran pun muncul. Bisakah kita hidup tanpa ponsel pintar di zaman kiwari?
Saya mencoba untuk menjauhkan diri dari ponsel pintar selama dua hari di waktu libur. Tak ada gim. Tak ada berita-berita terbaru. Tak ada scrolling, stalking, dan gosip di media sosial. Tak ada kebebasan mendengarkan musik apa saja. Tak ada pula notifikasi WhatsApp atau surel yang kerap bikin waswas. Saya 'menghilang' untuk sementara waktu.
Sebagai pengganti, saya menggunakan ponsel lama Samsung 109E yang tak terpakai di rumah. Ponsel itu hanya memungkinkan saya untuk menelpon dan mengirimkan pesan singkat berupa SMS.
Rentang waktu dua hari itu dipilih karena,
ehm, saya kurang berani untuk mematikan ponsel selama sepekan. Apa kabar rutinitas pekerjaan saya kelak? Ya, rasa takut itu bahkan telah muncul sebelum saya mencobanya.
Hasilnya, tak buruk-buruk amat. Meski rasa cemas itu tak bisa ditolak, tapi ada sesuatu yang baru dalam hari-hari saya.
Hari ke-1 Ponsel itu tergeletak di samping kasur. Spontan saja, tangan bergerak untuk meraihnya sesaat setelah bangun tidur. Tapi layar tak kunjung menyala saat saya mencoba menekan tombol kunci.
Oalah, saya lupa telah mematikan ponsel sejak malam sebelumnya.
Begitu bergantungnya saya pada ponsel. Mengecek ponsel menjadi 'ritual' pada hampir setiap pagi. Tapi, keinginan itu harus dihalau.
Saya beranjak bangun, merapikan tempat tidur, membuat kopi, membaca koran, dan membereskan kamar untuk menghabiskan pagi.
 Foto: CNN Indonesia/Hesti Rika |
Hampa rasanya beraktivitas tanpa musik yang mengalun. Karena ponsel yang biasanya digunakan untuk memutar lagu sedang mati tak berdaya, saya memilih salah satu koleksi CD untuk diputar menemani aktivitas. Album agak lawas
Kroncong Tenggara milik Ubiet Raseuki pun saya pilih.
Ada sedikit rasa
bete yang menghampiri. Koleksi CD yang terbatas membuat beberapa lagu-yang sedang mencuri perhatian saya selama beberapa waktu ke belakang-dalam
playlist di akun pribadi layanan musik
streaming tak bisa didengar. Ah, rasanya jadi sedikit kurang nikmat.
Rasa bingung kemudian muncul saat kamar telah rapi sepenuhnya. Sembari berleyeh-leyeh di atas kasur, saya berpikir: apa lagi yang harus dilakukan selanjutnya? Sambil melirik ponsel yang tergeletak, dalam hati saya bergumam, saya rindu kamu.
Saya memutuskan untuk membantu ibu memasak dan mengajaknya berbincang-bincang santai. Saya bercerita tentang kegiatan sehari-hari di Jakarta. Mulai dari pekerjaan hingga hal-hal persoal lainnya. Ibu juga bercerita soal keinginannya mensterilkan salah satu kucing peliharaan kami, Piyo. Ibu merasa kasihan melihat Piyo yang hanya bisa mengeong-ngeong kencang saat siklus birahi muncul karena kelainan saraf yang dialaminya.
Sekilas, momen singkat ini terasa biasa saja. Hal lumrah yang dilakukan antara anak dengan orangtua. Tapi, percaya lah, ada rasa tenang yang muncul saat melakukan interaksi intim dengan orang-orang terdekat tanpa terganggu dering ponsel yang tiba-tiba menyala.
Waktu selanjutnya saya habiskan dengan pergi berbelanja ke Pasar Baru. Saya ingin membeli sejumlah kain dan benang untuk memuaskan hobi. Tak ada ojek daring. Saya pergi menggunakan angkutan kota yang bisa didapat setelah berjalan kaki melalui medan jalan yang menurun dan menanjak sepanjang 650 meter. Keringat bercucuran, lelah juga rasanya.
Di momen itu, saya baru menyadari bahwa betapa dimanjakannya saya selama beberapa tahun belakang dengan layanan transportasi daring. Tanpa keringat yang bercucuran dan kaki yang pegal, saya bisa tiba di tujuan dalam waktu singkat.
Banyak hal yang saya lihat dalam perjalanan di dalam angkot. Mulai dari bocah cilik yang merengek pada ibunya meminta dibelikan jajan, sopir angkot yang berkali-kali membasuh keringatnya, empat mural bertuliskan 'BUAT KAMU' yang menempel di dinding-dinding jalan, hingga lalat yang bertengger cukup lama di jendela angkot.
Ya, menjauhkan diri dengan ponsel yang biasanya hadir membuat perhatian saya lebih awas melihat banyak hal. Sementara biasanya, perhatian hanya fokus pada irama lagu-lagu favorit dari ponsel yang mengalun di telinga.
Saya mengamati pedagang kain di Pasar Baru yang sibuk melayani pelanggan. Saya bahkan ingat motif bunga serupa mawar yang menghiasi kemeja putihnya. Sambil terburu-buru dan melayani pertanyaan pelanggan lain, dia memasukkan kain yang saya beli ke dalam kantung keresek hitam. Tak lupa pula, gumaman sopir angkot yang mengeluh karena durasi pergantian lampu lalu lintas yang terlalu singkat. Mulutnya menggerutu seraya mengembuskan asap rokok filter dari mulutnya. Saya bisa mengingatnya secara merinci.
Tentu saja, amatan yang merinci ini bukan disebabkan oleh tidak adanya ponsel dalam genggaman saya. Melainkan karena saya lebih hadir di tengah-tengah situasi yang tengah dihadapi. Kehadiran membuat saya merasa lebih hidup.
Sebut saja bahwa saya seorang melankolis. Pengalaman ini mendadak mengingatkan saya pada perjalanan Jack Kerouac mengitari Amerika Serikat bermodal buku catatan harian di tangan. Dengan selalu hadir di tengah situasi yang dihadapi, dia merekam apa saja yang dilihatnya dalam benak yang kemudian ditorehkannya dalam buku catatan harian.
Jelang waktu tidur, rasa bingung kembali muncul. Maklum, ponsel pintar biasanya selalu ampuh 'menina-bobokan' saya. Kebingungan itu muncul beriringan dengan rasa kosong dari balik tangan kanan saya. Ah, tak sedikit pun ponsel itu digenggam. Ia masih tergeletak menikmati waktu istirahatnya.
Tak hanya itu, rasa cemas juga pelan-pelan muncul. Tak ada kabar apa pun dan dari siapa pun hari ini.
Saya bertanya-tanya, apakah ada seseorang yang mencari saya hari ini melalui WhatsApp? Jika iya, apa yang diperlukannya? Seberapa pentingkah itu? Bagaimana jika saya tak kunjung menjawab pesannya? Apakah dia akan marah? Di penghujung hari, rasa cemas mulai menghampiri.
Hari ke-2Tak seperti sebelumnya, pada hari kedua saya tak lagi lupa bahwa ponsel sedang beristirahat sejenak. Tak ada lagi gerak spontan untuk mencari ponsel.
Ini adalah hari Senin. Hari di mana kebanyakan orang mulai menjalani rutinitas kerjanya. Hari di mana kesibukan mulai merongrong.
Biasanya, meski tengah menikmati hari libur, ponsel yang menyala tak membuat saya mengabaikan beragam pesan yang masuk. Kini, ponsel yang tidak menyala setidaknya dapat menghalau rasa ingin tahu atas pesan-pesan apa saja yang masuk.
Sama seperti hari sebelumnya, saya mencari segala cara untuk menghabiskan waktu libur tanpa ponsel pintar. Kali ini, saya memboyong kain, benang, peralatan gambar, dan buku catatan harian ke salah satu kedai sekaligus perpustakaan di utara Kota Bandung.
Berangkat dengan menggunakan angkutan umum dan berjalan kaki sepanjang 900 meter dengan medan yang sedikit menanjak. Duh, malu rasanya tiba di lokasi dengan keringat yang bercucuran.
Saya mulai menggambar dan menyulam. Sesekali saya perhatikan gerak-gerik pengunjung yang berdatangan. Seorang wanita paruh baya datang bertanya pada penjaga, “Ada rekomendasi buku untuk saya?”. Si penjaga dengan percaya diri menyarankannya untuk mengambil buku Animal Farm karya George Orwell.
Sungguh, barangkali momen itu tak begitu penting untuk diceritakan. Tapi, entah mengapa, perasaan senang tiba-tiba saja menghampiri. Senyum simpul perlahan keluar dari wajah saya yang sebelumnya hanya sibuk dengan benang yang telah berkali-kali kusut.
Sekembalinya di rumah sore hari, tak ada keinginan yang terlalu kuat untuk mengecek keberadaan ponsel. Cuek bebek saja. Mungkin saya terlalu asyik ‘berkencan’ dengan diri sendiri.
Saya menghabiskan sore bersama ibu dan lima kucing saya yang menggemaskan. “Kak, itu Ulu belum dimandiin,” kata ibu. Oke, baiklah. Saya pun memandikan salah satu kucing saya.
Sebelum tidur, rasa sepi kembali menghampiri. Ah, apa kabar lini masa? Apa gerangan yang bergulir hari ini? Ingin rasanya kubagikan kebahagiaanku menikmati hari libur dengan mengunggahnya di Instastories.
Perasaan kosong dan rasa gemas itu kian membuncah pada penghujung hari kedua. Rasa kosong, kesepian, dan khawatir bercampur jadi satu. Saya merasa sendiri. Ada rona kehilangan yang diam-diam membuat darah mengalir lebih kencang.
*****
Dua hari rasanya terlalu singkat untuk mencoba hidup tanpa ponsel. Namun, dari waktu yang cukup singkat itu, ada beberapa kesimpulan yang bisa saya ambil.
Bagi saya, semuanya terasa baik-baik saja. Toh, sebenarnya banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghabiskan waktu tanpa ponsel pintar. Selama dua hari hidup tanpa ponsel pintar, ada kekurangan dan kelebihan yang bercampur jadi satu.
Kecanduan ponsel pintar adalah nyata. Penelitian yang dilakukan oleh PEW Research Center menemukan, sebanyak 67 persen pemilik ponsel pintar mengaku terus memeriksa gawainya hampir setiap waktu. Kebiasaan itu terus dilakukan meski tak ada dering atau getar ponsel yang menyala.
Tanpa disadari, beragam aplikasi bersifat adiktif. Saya, misalnya, begitu rindu pada sejumlah aplikasi yang biasa saya gunakan. Beberapa dari mereka menjadi hiburan di waktu kosong. Beberapa aplikasi lainnya membantu mobilitas harian saya.
Dua hari hidup tanpa ponsel pintar terasa aneh bagi saya. Tentu karena sebelumnya saya sangat terbiasa dengan keberadaannya. Kosong rasanya.
Tapi, jangan salah. Kosong yang dimaksud bukan sebuah perasaan yang membuat saya tertekan. Alih-alih menekan, kekosongan itu justru menciptakan ruang-ruang baru, kesempatan baru, dan cara baru untuk memandang berbagai hal.
Tanpa ponsel pintar, saya merasa lebih hadir. Saya tak akan benar-benar berada di tengah suasana keluarga, perpustakaan, atau pasar saat saya terlalu sibuk dengan notifikasi yang muncul di layar gawai. Dengan ketiadaan ponsel, saya tak bisa lari dari kenyataan yang ada di depan mata. Saya 100 persen berada di sana, merespons dan merekam segala hal yang terjadi di dalamnya.
Saya juga merasa lebih produktif. Saya bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk meningkatkan produktivitas. Bukti kecil, jika sebelumnya butuh waktu lebih dari dua hari untuk menyelesaikan satu kain yang disulam, kini satu hari saja cukup.
Penyebabnya adalah karena tanpa ponsel pintar, saya memiliki fokus yang lebih besar dan nyata tanpa perlu terganggu oleh keinginan scrolling Instagram dan mengecek berbagai notidikasi yang masuk. Psychology Today mencatat bahwa salah satu faktor untuk meningkatkan produktivitas adalah lingkungan yang kondusif dan minimnya gangguan untuk memfokuskan konsentrasi. Ponsel pintar bisa menjadi salah satu gangguan yang dimaksud.
Ya, banyak hal yang berubah dengan hidup tanpa ponsel, tapi tidak dengan rasa cemas. Waktu dua hari rasanya terlalu singkat untuk menghilangkan rasa cemas akibat ketiadaan ponsel pintar.
Bagi saya, alih-alih menghilangkan, ketiadaan ponsel pintar justru menimbulkan rasa cemas baru. Rasa cemas itu memuncak di malam hari saat tak ada lagi pengalihan perhatian yang bisa saya lakukan.
Rasa cemas itu muncul karena tak ada sedikit pun kabar yang saya dapatkan. Saya cemas seseorang yang berada nun jauh di sana menghubungi untuk sesuatu yang penting. Maklum, di zaman kiwari, telpon reguler dan SMS tak lagi menjadi saluran komunikasi utama. Peran keduanya tergantikan oleh beragam aplikasi berkirim pesan yang memanfaatkan koneksi internet.
Namun, tentu tak semua individu akan merasakan hal yang sama. Perlu dicatat pula bahwa waktu yang saya pilih untuk percobaan ini bukan merupakan hari-hari krusial seperti hari kerja. Tentu cerita berbeda akan hadir saat saya hidup tanpa ponsel sembari menjalani rutinitas kerja harian. Tak ada komunikasi penting yang harus saya lakoni di momen libur.
Kenyataannya, keberadaan ponsel pintar memang membuat komunikasi lebih mudah. Kepraktisan adalah gagasan utama yang ada di baliknya.
Bagaimana pun, saya—sebagai individu yang tumbuh di abad digital—tak bisa melepaskan diri sepenuhnya dari ponsel pintar. Yang bisa saya lakukan hanya lah mengontrol penggunaan ponsel pintar agar tak sampai pada titik candu.