Percobaan: Menjalani Dua Hari Tanpa Ponsel Pintar

CNN Indonesia
Minggu, 29 Sep 2019 16:18 WIB
Ponsel pintar tak bisa terlepas dari rutinitas harian orang-orang di zaman sekarang. Bagaimana rasanya menjauhkan diri sesaat dari ponsel pintar?
ilustrasi (CNN Indonesia/Hesti Rika)
Hari ke-2
Tak seperti sebelumnya, pada hari kedua saya tak lagi lupa bahwa ponsel sedang beristirahat sejenak. Tak ada lagi gerak spontan untuk mencari ponsel.

Ini adalah hari Senin. Hari di mana kebanyakan orang mulai menjalani rutinitas kerjanya. Hari di mana kesibukan mulai merongrong.

Biasanya, meski tengah menikmati hari libur, ponsel yang menyala tak membuat saya mengabaikan beragam pesan yang masuk. Kini, ponsel yang tidak menyala setidaknya dapat menghalau rasa ingin tahu atas pesan-pesan apa saja yang masuk.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sama seperti hari sebelumnya, saya mencari segala cara untuk menghabiskan waktu libur tanpa ponsel pintar. Kali ini, saya memboyong kain, benang, peralatan gambar, dan buku catatan harian ke salah satu kedai sekaligus perpustakaan di utara Kota Bandung.

Berangkat dengan menggunakan angkutan umum dan berjalan kaki sepanjang 900 meter dengan medan yang sedikit menanjak. Duh, malu rasanya tiba di lokasi dengan keringat yang bercucuran.

Saya mulai menggambar dan menyulam. Sesekali saya perhatikan gerak-gerik pengunjung yang berdatangan. Seorang wanita paruh baya datang bertanya pada penjaga, “Ada rekomendasi buku untuk saya?”. Si penjaga dengan percaya diri menyarankannya untuk mengambil buku Animal Farm karya George Orwell.

Sungguh, barangkali momen itu tak begitu penting untuk diceritakan. Tapi, entah mengapa, perasaan senang tiba-tiba saja menghampiri. Senyum simpul perlahan keluar dari wajah saya yang sebelumnya hanya sibuk dengan benang yang telah berkali-kali kusut.

Sekembalinya di rumah sore hari, tak ada keinginan yang terlalu kuat untuk mengecek keberadaan ponsel. Cuek bebek saja. Mungkin saya terlalu asyik ‘berkencan’ dengan diri sendiri.

Saya menghabiskan sore bersama ibu dan lima kucing saya yang menggemaskan. “Kak, itu Ulu belum dimandiin,” kata ibu. Oke, baiklah. Saya pun memandikan salah satu kucing saya.

Sebelum tidur, rasa sepi kembali menghampiri. Ah, apa kabar lini masa? Apa gerangan yang bergulir hari ini? Ingin rasanya kubagikan kebahagiaanku menikmati hari libur dengan mengunggahnya di Instastories.

Perasaan kosong dan rasa gemas itu kian membuncah pada penghujung hari kedua. Rasa kosong, kesepian, dan khawatir bercampur jadi satu. Saya merasa sendiri. Ada rona kehilangan yang diam-diam membuat darah mengalir lebih kencang.

*****
Dua hari rasanya terlalu singkat untuk mencoba hidup tanpa ponsel. Namun, dari waktu yang cukup singkat itu, ada beberapa kesimpulan yang bisa saya ambil.


Bagi saya, semuanya terasa baik-baik saja. Toh, sebenarnya banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghabiskan waktu tanpa ponsel pintar. Selama dua hari hidup tanpa ponsel pintar, ada kekurangan dan kelebihan yang bercampur jadi satu.

Kecanduan ponsel pintar adalah nyata. Penelitian yang dilakukan oleh PEW Research Center menemukan, sebanyak 67 persen pemilik ponsel pintar mengaku terus memeriksa gawainya hampir setiap waktu. Kebiasaan itu terus dilakukan meski tak ada dering atau getar ponsel yang menyala.

Tanpa disadari, beragam aplikasi bersifat adiktif. Saya, misalnya, begitu rindu pada sejumlah aplikasi yang biasa saya gunakan. Beberapa dari mereka menjadi hiburan di waktu kosong. Beberapa aplikasi lainnya membantu mobilitas harian saya.

Dua hari hidup tanpa ponsel pintar terasa aneh bagi saya. Tentu karena sebelumnya saya sangat terbiasa dengan keberadaannya. Kosong rasanya.

Tapi, jangan salah. Kosong yang dimaksud bukan sebuah perasaan yang membuat saya tertekan. Alih-alih menekan, kekosongan itu justru menciptakan ruang-ruang baru, kesempatan baru, dan cara baru untuk memandang berbagai hal.

Tanpa ponsel pintar, saya merasa lebih hadir. Saya tak akan benar-benar berada di tengah suasana keluarga, perpustakaan, atau pasar saat saya terlalu sibuk dengan notifikasi yang muncul di layar gawai. Dengan ketiadaan ponsel, saya tak bisa lari dari kenyataan yang ada di depan mata. Saya 100 persen berada di sana, merespons dan merekam segala hal yang terjadi di dalamnya.

Saya juga merasa lebih produktif. Saya bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk meningkatkan produktivitas. Bukti kecil, jika sebelumnya butuh waktu lebih dari dua hari untuk menyelesaikan satu kain yang disulam, kini satu hari saja cukup.


Penyebabnya adalah karena tanpa ponsel pintar, saya memiliki fokus yang lebih besar dan nyata tanpa perlu terganggu oleh keinginan scrolling Instagram dan mengecek berbagai notidikasi yang masuk. Psychology Today mencatat bahwa salah satu faktor untuk meningkatkan produktivitas adalah lingkungan yang kondusif dan minimnya gangguan untuk memfokuskan konsentrasi. Ponsel pintar bisa menjadi salah satu gangguan yang dimaksud.

Ya, banyak hal yang berubah dengan hidup tanpa ponsel, tapi tidak dengan rasa cemas. Waktu dua hari rasanya terlalu singkat untuk menghilangkan rasa cemas akibat ketiadaan ponsel pintar.

Bagi saya, alih-alih menghilangkan, ketiadaan ponsel pintar justru menimbulkan rasa cemas baru. Rasa cemas itu memuncak di malam hari saat tak ada lagi pengalihan perhatian yang bisa saya lakukan.

Rasa cemas itu muncul karena tak ada sedikit pun kabar yang saya dapatkan. Saya cemas seseorang yang berada nun jauh di sana menghubungi untuk sesuatu yang penting. Maklum, di zaman kiwari, telpon reguler dan SMS tak lagi menjadi saluran komunikasi utama. Peran keduanya tergantikan oleh beragam aplikasi berkirim pesan yang memanfaatkan koneksi internet.

Namun, tentu tak semua individu akan merasakan hal yang sama. Perlu dicatat pula bahwa waktu yang saya pilih untuk percobaan ini bukan merupakan hari-hari krusial seperti hari kerja. Tentu cerita berbeda akan hadir saat saya hidup tanpa ponsel sembari menjalani rutinitas kerja harian. Tak ada komunikasi penting yang harus saya lakoni di momen libur.

Kenyataannya, keberadaan ponsel pintar memang membuat komunikasi lebih mudah. Kepraktisan adalah gagasan utama yang ada di baliknya.

Bagaimana pun, saya—sebagai individu yang tumbuh di abad digital—tak bisa melepaskan diri sepenuhnya dari ponsel pintar. Yang bisa saya lakukan hanya lah mengontrol penggunaan ponsel pintar agar tak sampai pada titik candu. (asr/asr)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER