Baru ramai diperbincangkan selama beberapa tahun ke belakang,
vape sebenarnya bukan barang baru di Indonesia. Rhomedal mengatakan,
vape muncul di Indonesia sekitar akhir tahun 2013. Perangkat yang terbilang besar dan rumit untuk dioperasikan membuat tren tersebut sempat turun dalam beberapa waktu.
Teknologi berkembang. Belakangan, muncul perangkat yang lebih ringkas dan mudah. Karena itu lah, tren
vape kembali naik ke permukaan.
“Sejak ada
pod, tren ini makin diterima masyarakat. Orang-orang juga makin eksplorasi jadinya,” kata Rhomedal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengguna
vape di Indonesia juga terus merangkak naik. Data Sirkesnas 2016 mencatat sebanyak 2 persen penduduk berusia di atas 15 tahun menggunakan
vape. Angka itu meningkat menjadi 2,7 persen pada Riskesdas 2018.
Berdasarkan data APVI, hingga 2018, tercatat sebanyak 1,2 juta pengguna
vape di Indonesia. Rhomedal memprediksi, angka ini meningkat dan hampir menyentuh 2 juta pada 2019.
Penduduk berusia 20-40 menjadi target pasar
vape di Indonesia. Rhomedai menegaskan,
vape tidak menyasar konsumen berusia di bawah 18 tahun.
“Kami dari APVI sendiri selalu mengusir konsumen yang usianya di bawah 18 tahun. Kami tidak menjual pada mereka yang di bawah umur,” tegas Rhomedal.
Mereka yang ingin berhenti merokok juga menjadi target pasar
vape. Sejak awal,
vape memang hadir untuk membantu para perokok aktif yang ingin lepas dari ketergantungannya terhadap rokok.
Namun, alih-aih sebagai alternatif rokok yang lebih sehat, kian kemari
vape justru menjelma sebuah gaya hidup dan kultur anyar di tengah masyarakat. Faktanya, tak semua pengguna
vape merupakan mereka yang ingin berhenti merokok.
Savia Wiradi, misalnya. Tak ada alasan penting yang membuatnya menggunakan
vape. Bujuk rayu ‘
less harmfull’ pada
vape membuatnya akrab dengan asap yang mengepul dari corong perangkat elektronik ini.
 Ilustrasi. Beragam ilusi yang dibentuk membuat vape menjadi candu baru gaya hidup orang-orang masa kini. (CNN Indonesia/Artho Viando) |
“Pengin merokok sebenarnya, tapi takut.
Hehe. Terus
nyobain vape yang katanya lebih enggak berbahaya.
Eh, keterusan,” kata Savia, kepada
CNNIndonesia.com, Jumat (4/10).
Pengamat sosial vokasi Universitas Indonesia, Devie Rachmawati mengatakan bahwa
vape tak ubahnya ilusi.
Ilusi-ilusi itu lah yang setidaknya menjadikan vape tak ubahnya gaya hidup baru yang membuat candu banyak orang.
Pertama,
vape membangun ilusi sebagai rokok alternatif yang tidak mengandung bahaya. Beragam varian rasa yang ditawarkan oleh
vape juga turut menimbulkan ilusi. Rasa, kata Devie, menghadirkan imaji semu tentang
vape itu sendiri.
"Ya, dengan sendirinya, rasa itu membuat mereka berpikir,
ah baik-baik saja
kok, sehat-sehat saja," kata Devie, saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Jumat (4/10).
Tak cuma itu,
vape juga mengambil peran sebagai modal sosial di tengah lingkungan masyarakat. "Vape atau jenis rokok lainnya jadi modal
ngobrol atau bahkan berkenalan dengan orang baru," kata Devie.
Tengok saja Savia. Sebagaimana para
vaper lainnya, Savia pun getol kongko dari satu
lounge ke
lounge.
Lounge merupakan tempat para
vaper berkumpul, bersosialisasi, dan bersama-sama mengepulkan asapnya.
“Senang
aja. Kalau main ke toko
vape,
tuh, banyak ngobrol sama yang ada di sana. Mulai dari bagi-bagi informasi soal
vape atau ngobrol soal lainnya,” kata Savia. Berkat
vape, jaringan pertemanan Savia pun meluas.
Tren vape di Indonesia ibarat budaya kedai kopi. Di sana ada seseorang yang bertugas layaknya barista selayaknya di kedai kopi. Mereka tak segan-segan berbagi informasi dan pengetahuan kepada pengunjung terkait
vape.
“
Vape itu tak bisa sembarang digunakan.
Vape juga butuh edukasi. Di sana lah [toko dan
lounge] terjadi pertukaran informasi dan menjalin pertemanan baru,” kata Romedal.
(asr/asr)