Jakarta, CNN Indonesia -- Akhir pekan di Jakarta bukan hanya bisa dihabiskan di mal atau kafe. Berkegiatan dengan komunitas sepatu roda Rad Supersonic juga bisa menjadi pilihannya.
Niat saya kongko dan latihan dengan anggota Rad Supersonic disambut baik oleh Marina Tasha atau yang akrab disebut Acha, make-up artist yang juga pelopor dari komunitas sepatu roda ini.
Hari Minggu beberapa pekan yang lalu, komunitas Rad Supersonic sedang berlatih di Plaza Barat, Gelora Bung Karno, Jakarta Selatan. Awalnya kami janjian di RPTA Taman Puring, namun di sana sudah terlalu penuh. Jadilah saya menyusul ke Senayan menggunakan ojek online.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sore itu matahari Jakarta bersinar cerah. Dari kejauhan saya sudah melihat anggota Rad Supersonic hilir mudik dengan sepatu roda-nya yang berwarna-warni centil.
Berbeda dengan sepatu roda satu baris atau yang disebut inline skates, sepatu roda yang digunakan Acha and the gank berupa sepatu roda dengan empat roda atau yang disebut roller skates.
Usai menyapa dan berkenalan dengan anggota Rad Supersonic yang lain, saya langsung bertanya asal muasal komunitas ini.
Acha adalah sang pencetusnya. Ia mengatakan Rad Supersonic berawal dari ide kumpul-kumpul sembari main sepatu roda teman-teman sepermainannya usai pulang kerja. Lama kelamaan anggotanya semakin banyak.
 Komunitas Rad Supersonic yang super ceria. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma) |
Usia mereka kebanyakan jauh di atas saya, sehingga saya pun harus memanggil mereka dengan sebutan 'kakak'. Meski demikian, saat sudah meluncur dengan roller skates mereka malah lebih lihai dari saya.
Karena sama-sama menggemar dunia fesyen - sebagian besar anggota juga berkarier di industri ini, maka tampilan anggota Rad Supersonic sangatlah menarik.
Ada yang memakai sepatu roda bermotif leopard, ada yang memakai sepatu berkulit pink dan roda berwarna biru, ada pula yang memadupadankan warna sepatunya dengan bajunya yang beraneka warna.
Berada di tengah komunitas ini seakan berada di tengah era 1980-an yang ceria dan meriah.
Sambil berlenggang, seorang anggota bernama Raras bercerita, ia bisa lihai bermain roller skates karena waktu SMA sudah jago main inline skates.
"Katanya main sepatu roda itu kayak memori. Kalau otot kita punya memori bersepatu roda, tinggal mengikuti saja. Saya satu bulan sudah bisa pelan-pelan meluncur. Tapi pastinya setiap orang beda-beda," tuturnya.
Kepada saya Acha ikut mengenang jaman masih belajar roller skates.
"Kalau saya bahkan sampai berguru dengan atlet sepatu roda bernama Om Dece," katanya sambil tersenyum.
 Acha saat meluncur dengan sepatu rodanya. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma) |
Di GBK tidak ada arena rintangan seperti di skate park RPTA Taman Puring, jadi mereka hanya bisa hilir mudik meluncur.
Salah satu dari anggota Rad Supersonic ada yang ide membuat rintangan sendiri dengan menaruh sejumlah kerucut kecil berjajar.
Kemudian mereka bergantian mengitari arena buatan tersebut. Kaki mereka berkelok-kelok seolah tak kesulitan.
Raras bercerita sebenarnya ia mendambakan area khusus di GBK untuk olahraga beroda. Pasalnya sekarang ini pemain sepatu roda hanya boleh bermain di jalur Pintu Tiga.
"Kita kalau sudah progres [belajarnya] biasanya ingin belajar trik. GBK kan gelanggang olahraga. Seharusnya ada arena buat yang beroda. Karena sejauh ini kita main setiap di GBK disuruh pindah-pindah. Diusir-usir terus," curhatnya.
Sang kawan, Hanna, mengamini pernyataan tersebut.
"Meskipun
skate park sudah ada di beberapa wilayah di Jakarta seperti Pasar Rebo, Taman Puring dan Dukuh Atas, GBK sebetulnya jadi area paling strategis buat berkumpul," ucapnya.
 Komunitas Rad Supersonic saat beristirahat usai berlatih di Stadion GBK, Senayan, Jakarta. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma) |
Asyik berbincang dengan anggota Rad Supersonic, saya kemudian ditagih mencoba berlenggang di atas roda. Anggota bernama Sonya langsung sukarela menawarkan sepatu rodanya. Kebetulan ukuran sepatu kami sama.
Dalam hati saya merasa senang. Dari awal datang saya sudah kepincut dengan sepatu roda punya Sonya. Bermotif leopard dengan warna pink. Rodanya pun cantik.
Rasa takut saya seolah sirna, saya pun langsung meraih sepatu centil itu dan bergegas memakainya.
Sudah beratribut lengkap dengan sepatu, pengaman dan helm di kepala, saya berancang-ancang mau berdiri. Sontak suara Acha meninggi.
"Jangan berdiri dulu! Tunggu dulu ada caranya nanti kamu jatuh," tuturnya.
Ternyata bermain sepatu roda tak asal bermain saja. Ada berbagai trik yang harus saya ketahui sebelum mencoba. Pertama, Acha mengajarkan saya bagaimana caranya berdiri.
Saya disuruh berancang-ancang layaknya mau lomba lari. Kaki kiri menapak dan kaki kanan melipat, menempel di aspal. Perlahan baru saya boleh berdiri. Ketika posisi kaki sudah tegak saya harus buru-buru membentuk huruf V dengan telapak kaki. Ini supaya saya tidak terjungkal ke belakang.
Sudah bisa berdiri, saya pikir langkah selanjutnya belajar jalan. Ternyata sebelum jalan saya harus belajar jatuh dulu.
"Kalau main sepatu roda pasti akan jatuh bangun. Nah, jadi harus tahu dulu caranya jatuh. Supaya nggak celaka," jelas Acha.
Ia kemudian mempraktikkan cara jatuh yang benar. Katanya kalau merasa akan jatuh dipasrahkan saja. Kuncinya, semakin saya takut jatuh kemungkinan saya jatuh akan semakin besar. Jadi bermain sepatu roda rupanya bisa untuk mengasah kepercayaan diri juga.
Setidaknya dua sampai tiga kali saya bolak-balik menjatuhkan diri secara sengaja, akhirnya Acha memperbolehkan saya mencoba berjalan.
Acha menyuruh saya mengayunkan badan ke kanan dan kiri, menumpukan berat badan di lutut dan menggerakkan kaki seolah sedang berjalan dengan alas rata.
Kelihatannya simpel, tapi ternyata susah-susah gampang. Ditemani Acha saya mengitari area GBK, sesekali berhenti karena takut tiba-tiba terjungkal.
"Iya benar begitu. Bagus kok kamu untuk pemula ini sudah bagus," puji Acha.
Saya jadi teringat kata-kata Raras, kalau main sepatu roda seperti memori. Kebetulan waktu masih duduk di bangku TK saya lihai bermain inline skates. Mungkin ini yang membuat saya lumayan bisa mengikuti perintah Acha.
Perlahan Acha meninggalkan saya berlatih sendirian. Saya pun mulai percaya diri melenggang dengan kecepatan agak lebih tinggi. Walaupun kalau dilihat orang, postur tubuh saya kaku bukan kepalang.
"Gimana? Seru kan? Kalau baru belajar memang jalannya kayak orang jompo," celetuk Sonya sambil terkekeh.
Saya tak bisa banyak menanggapi karena serius memperhatikan jalan. Hari Minggu begini area GBK penuh dengan orang. Saya tak mau tiba-tiba menabrak orang karena menoleh sedikit.
Sibuk melancarkan teknik berjalan dengan sepatu roda, tak sadar ternyata langit lama-lama gelap. Padahal rasanya belum lama saya bermain. Dengan rasa terpaksa saya pun mengikhlaskan sepatu roda centil punya Sonya kembali.
Hanna bilang untuk bisa berlenggang dengan santai dan lincah umumnya butuh waktu belajar sebulan. Ia sendiri baru dua bulan belajar bermain sepatu roda.
"Kalau latihan bisa berkali-kali dalam seminggu. Malah kita pernah tiga hari berturut-turut. Karena beneran deh, ketagihan," tuturnya.
Kali ini saya berani mengiyakan. Baru sekali menyicipi rasanya bermain sepatu roda saya sudah diam-diam berpikir mau beli sepatu roda sendiri. Mungkin sepatu roda berwarna pink dengan tali warna-warni bisa jadi kado ulang tahun yang manis.
(ard)