Jakarta, CNN Indonesia -- RUU Ketahanan Keluarga menuai kritik. Salah satunya mengatur soal LGBT dan perilaku pelaku sadisme dan masokisme atau BDSM.
Namun apa sebenarnya perilaku seksual ini?
Anda mungkin sudah tak asing dengan istilah ini, apalagi setelah kemunculan film
Fifty Shades of Grey.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
BDSM merupakan singkatan dari
Bondage and Discipline,
Dominance and Submission, and Sadism and Masochism atau Penghambaan dan Disiplin, Dominasi dan Ketundukan, dan Sadisme dan Masokisme. BDSM adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan berbagai perilaku, termasuk perilaku seksual, yang melibatkan pertukaran kekuasaan erotis yang tersirat atau eksplisit dalam hubungan seksual. Istilah ini meliputi praktik pertukaran kekuasaan secara konsensual.
Dalam praktiknya, BDSM membawa sejumlah stigma sosial dan anggapan negatif dari masyarakat. Mengutip
Alodokter, perilaku ini digolongkan dalam kelainan seksual atau parafilia.
Disebut menyimpang karena hasrat dan perilaku ini umumnya melibatkan suatu bentuk aktivitas, objek, baik orang atau benda, maupun situasi yang pada kondisi normal tidak merangsang secara seksual.
"Praktik ini terlihat menakutkan pada awalnya, tapi mungkin digabungkan dengan seks, kekuatan, bahkan rasa sakit dengan cara yang sehat, selama semua yang terlibat komunikatif dan secara eksplisit memberikan persetujuannya," kata pendidik seks Lola Jean dikutip dari
Elite Daily.
Penggambaran dari literatur atau film mengenai BDSM, yang sering kali berlebihan, mengakibatkan BDSM sering diasosiasikan dengan praktik-praktik seksual yang dinilai ekstrem.
Kunci terpenting dari BDSM adalah persetujuan dua belah pihak, baik dari aturan dan posisi atau peran, hingga batasan-batasannya. Dalam kegiatan seksual, hal ini juga mencakup 'keyword', atau kata kunci (atau bahkan gestur) yang menandakan batas dari aktivitas seksual.
Masochisme, yang didefinisikan oleh RUU sebagai cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual melalui hukuman atau penyiksaan dari lawan jenisnya, mengabaikan dalil persetujuan yang dianut pelaku sadomasokis. Karena tanpa persetujuan, tindakan seksual apapun kepada siapa pun dapat dikategorikan pemerkosaan.
Praktisi BDSM menekankan kesukarelaan, peran utama dari persetujuan, dan perencanaan yang ditentukan sebelumnya. Dengan menggarisbawahi persetujuan, para praktisi BDSM dengan demikian memposisikan diri mereka menentang wacana BDSM sebagai sebuah bentuk kekerasan, penindasan, dan patriarki.
BDSM mencakup berbagai kegiatan, praktik, posisi, dan jenis hubungan tetapi juga berbagai makna dan tujuan. Charlotta Carlström, yang melakukan riset di komunitas BDSM di Swedia dan menuangkan hasilnya dalam tulisannya yang dimuat dalan jurnal
Psychology & Sexuality, mengklaim bahwa level kebahagiaan praktisi BDSM lebih tinggi.
Fakta lainnya adalah BDSM ternyata tak cuma sekadar seks. Mengutip Self, seks bahkan tak selalu penting dalam aksi ini. https://www.self.com/story/bdsm-facts
"BDSM tak harus bersifat seksual. Beberapa orang menyukainya untuk 'kekuasaan," kata seks coach Stephanie Hunter Jones.
BDSM dalam angkaMengutip
Psychology Today, Juliet Richters dan rekannya melakukan sebuah penelitian pada 2008 lalu dan bertanya pada responden di Australia tentang keterlibatan mereka dalam aktivitas BDSM selama 12 bulan terakhir. Hasilnya hanya 1,3 persen wanita dan 2,2 persen yang mengaku melakukannya.
Studi ini dilanjutkan oleh Christian Joyal dan rekannya pada 2015. Mereka bertanya pada 1.500 laki-laki dan perempuan tentang fantasi seksual mereka.
Sekitar 64,6 persen perempuan dan 53,3 persen laku-laki melaporkan punya fantasi untuk didominasi secara seksual. Sekitar 46,7 persen perempuan dan 59,6 persen laki-laki melaporkan fantasi tentang mendominasi seseorang secara seksual atau melakukan BDSM.
(fdi/chs)