Jakarta, CNN Indonesia -- Meningkatnya kasus
virus corona di Indonesia membuat banyak orang panik. Berbagai imbauan soal gejala yang mungkin muncul dan juga beberapa kesempatan berkunjung ke luar negeri yang mungkin terdampak virus corona sebelumnya membuat banyak orang panik dan ingin memeriksakan diri.
Namun yang jadi pertanyaannya, siapa yang perlu atau wajib memeriksakan diri? Jawabannya adalah mereka yang pernah mengunjungi negara lain yang terdampak corona, atau pernah bersentuhan langsung atau pernah berada 1-2 meter dari suspect
Covid-19.Setelahnya Anda juga akan mengalami gejala lain seperti demam, sesak napas, batuk, pilek. Jika Anda memenuhi semua kriteria tersebut Anda seharusnya datang ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertanyaan kedua, rumah sakit mana yang harus didatangi?
Ketika seorang kawan di kantor dihitung-hitung baru kembali beberapa waktu lalu dari Jepang, salah satu negara yang terdampak virus corona cukup hebat. Selain itu ketika Menteri Perhubungan Budi Karya diberitakan positif COVID-19, rekan-rekan yang area kerjanya harus 'menempel' kepada menteri Budi pun akhirnya diperiksa untuk memastikan kesehatannya.
Saya dan beberapa rekan lainnya berbondong-bondong untuk melakukan tes ini ke rumah sakit. Hanya saja yang diprioritaskan bagi mereka yang berdekatkan dengan suspect COVID-19 dan memiliki penyakit bawaan dan sedang memiliki gejala.
Tapi harus ke mana? Ke rumah sakit rujukan corona atau ke rumah sakit biasa?
 Foto: Istockphoto/amenic181 |
1. A di Rumah Sakit, KemangSetelah beberapa hari batuk sudah melanda beberapa hari. Imbauan kantor untuk mengecek kesehatan terkait wabah ini akhirnya membuat saya pergi ke rumah sakit di area Kemang. Pikir saya tak masalah cek ke rumah sakit mana pun, toh kalau pun ternyata ada masalah kesehatan lain pasti pihak rumah sakit akan memberi saran.
Di sana saya langsung mendaftar ke poli umum. Dokter pun langsung menanyakan keluhan saya, riwayat perjalanan.
"Jadi dok, di kantor saya ada yang ditetapkan status ODP dan kemudian saya diminta untuk dicek kesehatan. Nah karena saya sedang batuk pilek saya harus memastikan kondisi saya dan istri saya."
Dengan tenang, dokter pun bertanya apakah teman saya ini kontak dengan dengan orang positif atau riwayat perjalanannya. Setelah menceritakannya, dokter pun tak menolak memeriksa saya.
Stetoskop yang dingin pun menyentuh dada, dia meminta saya untuk menarik dan mengembuskan napas.
"Bersih kok paru-parunya," kata dokter sambil mengambil tongue depressor dan senter dan mengarahkannya ke mulut saya.
"Oh, ada radang ini. Tidak demam tidak?" tanyanya.
Saya pun menggeleng. Namun karena dahak saat batuk, dokter menganjurkan untuk inhalasi nebulizer. Dengan tenang dia pun menuliskan diagnosisnya, common cold.
"Kalau masih batuk sampai seminggu ke depan, kembali cek ya. kalau ke arah COVID-19 enggak ya. ini kan baru 4 harian," katanya.
Namun yang cukup menenangkan buat saya adalah ketika si dokter mengatakan bahwa berdekatan dengan ODP (orang dalam pengawasan) ini tak serta merta membuat sakit.
"Kalau pun kamu kontak sama ODP, musti dilihat lagi, ODPnya naik status lagi gak atau keadaanya memburuk tidak? Kalau iya baru km tes COVID."
Saya pun pulang dengan tenang.
2. B di Rumah Sakit, KuninganKetika semua orang di kantor kebingungan mencari rumah sakit yang tepat untuk cek virus corona, saya akhirnya memutuskan untuk datang ke dokter langganan saya.
Ketika semuanya bingung apakah bisa cek di rumah sakit umum atau harus langsung ke rumah sakit rujukan, saya ogah pusing lagi dengan semua kebingungan yang ada.
Setelah menyampaikan semua 'kata kunci' untuk tes kesehatan, di rumah sakit di daerah kuningan, saya diarahkan ke poli umum karena harus cek tensi dan berat badan. Semuanya berjalan seperti cek kesehatan pada umumnya.
Ketika bertemu dengan dokter, saya pun bercerita kembali tentang dugaan ODP di kantor. Hanya saja saya juga bilang kalau saya tak punya gejala, hanya ingin cek risiko.
Dokter pun melakukan pemeriksaan terasuk suhu, detak jantung, perut, dan juga lidah.
Sembari tersenyum dan dengan tenang, dokter pun mengatakan tak ada masalah dengan kesehatan saya, namun saya harus menjaga pola makan.
"Suhu tubuh kamu juga normal tidak ada keluhan lainnya, jadi saya akan beri vitamin saja."
3. C di Rumah Sakit, Kebayoran Beberapa saat setelah satu kawan ODP melakukan pemeriksaan, dia pun dinyatakan bersih alias negatif Corona. Saya bisa bernapas lega.
Namun belum sempat benar-benar menarik napas lega, korban semakin bertambah bahkan pejabat negara juga terinfeksi virus ini membuat saya kembali panik. Akibatnya, saya yang awalnya sudah enggan untuk cek kesehatan di rumah sakit meskipun batuk, akhirnya berpikir untuk periksa ke rumah sakit.
Kebetulan ada salah satu rumah sakit yang memang bekerjasama dengan kantor untuk pemeriksaan ini. Akhirnya saya pun memutuskan untuk izin bekerja dari rumah dan ke rumah sakit.
UGD adalah temapt yang saya tuju, di sana sudah banyak orang yang mengantre untuk skrining, kebanyakan para wartawan. Setelah mendaftar, saya diminta menuju ruang cek fisik, di sana saya diukur suhu dan tekanan darah sekaligus diberi pertanyaan tentang riwayat perjalanan, gejala, dan juga kontak ODP.
Setelahnya, saya lalu diminta untuk mengikuti petugas. Saya kaget bukan kepalang karena saya dibawa ke ruang yang bertuliskan R. ISOLASI. Dengan ragu saya masuk, di sana ada seorang pria menggunakan masker abu-abu dan berbaju rapi. Di belakang kaca, seorang pria tua tergolek lemah dan bebaring di kasur rumah sakit dengan memakai baju biru rumah sakit.
“Enggak apa-apa, mereka negatif kok, sebentar lagi akan pulang. Tunggu di sini ya, nanti dokter ke sini,” kata petugas itu seperti membaca ketakutan saya sambil berlalu meninggalkan saya di dalam ruangan tersebut.
Sementara teman-teman saya yang lain ada di ruangan berbeda dan ‘ruang biasa.’ Tak lama dokter pun datang, dia melakukan wawancara kembali. Tapi tak ada cek dengan stetoskop atau cek tenggorokan atau lainnya. Saya yang aktif menceritakan riwayat kesehatan saya, entah berguna entah tidak, toh saya hanya bicara apa adanya terkait kesehatan saya.
Setelah dokter pergi, beberapa menit kemudian seorang petugas lainnya datang untuk mengambil darah. Darah segar mengalir dari lengan saya melalui selang masuk ke dalam dua tabung kecil dengan tutup ungu. Saya sendirian lagi di ruangan tersebut. Setelah dipikir-pikir, ruang ini mungkin dialihfungsikan karena sudah tak ada ruangan lagi untuk menampung orang dan pasien yang membeludak.
Setengah jam berlalu amun saya masih menunggu tanpa kejelasan pemeriksaan lanjutan. Sementara teman lainnya sudah mengantre di depan ruang radiologi. Sementara perawat, dokter, dan petugas lainnya terlihat kewalahan menghadapi arus pasien yang terus berdatangan.
Di tengah pandemi corona seperti saat ini, pasien yang terus bertambah, dan masyarakat yang panik dan merasa punya gejala pun langsung datang ke rumah sakit minta diperiksa, bukan hal yang aneh ketika melihat para petugas medis kelabakan. Yang harus dilakukan adalah sabar.
Toh mereka semua sedang bekerja keras untuk menyelamatkan nyawa orang bukan duduk kongko santai tanpa pekerjaan. Namun tak ada salahnya jadi proaktif dan bertanya langkah selanjutnya yang harus diambil untuk cek kesehatan. Lagi-lagi jangan mudah emosi dan harus bertanya-tanya dengan baik, - ini agak sulit saya lakukan, menahan kesal- Tapi lagi-lagi, kondisi sekarang berbeda. Semua sedang berjuang.
 Foto: CNN Indonesia/Fajrian |
Akhirnya saya diarahkan untuk menuju ke bagian radiologi demi cek thorax. Setelah pemeriksaan yang cepat, saya harus menunggu hasilnya dari lab dan juga x-ray. Saat itu saya menunggu cukup lama, sekitar 5 jam.
Semakin malam, hasil lab dan ronsen saya tak kunjung muncul, sedangkan kedua teman saya sudah selesai. Ternyata petugas mengakui kalau mereka kewalahan menghadapi pasien yang masuk. Hal-hal yang tak masuk job desk hariannya pun harus dikerjakannya mengingat jumlah pasien dan tenaga medis yang tak cukup.
Dengan permintaan maaf berulang kali, dia pun memberikan hasil cek darah dan cek lab saya.
“Enggak ada obat ya, karena cuma skrining saja,” katanya.
Akhirnya saya pun meminta dokter jaga yang ada di sana untuk membacakan hasil lab dan menyatakan status kesehatannya.
“O ya, masih aman, sehat, batuk karena virus,” katanya.
Saya pun tersentak kaget dan takut. Covid-19 kan virus?
“Belum tentu corona, kan virus banyak. Ya nanti self isolation aja biar yakin.”
Meski tak puas dan tak menenangkan dengan penjelasan sang dokter, saya pun hanya bisa kembali ke rumah, dan berharap tak ada virus corona dalam diri saya. Namun tak dimungkiri self isolation ini adalah salah satu upaya untuk membantu petugas medis untuk benar-benar mengenali gejala covid-19.
Cek kesehatan ini pun menghabiskan biaya sekitar Rp1,5 juta.
 Foto: markusspiske/Pixabay |
4. D di Rumah Sakit rujukan corona
Tugas saya yang harus ‘ngepos’ di salah satu rumah sakit rujukan corona demi mendapatkan data akurat tentang wabah ini membuat kantor meminta saya ikut cek Covid-19.
Awalnya saya ke pos pemantauan corona yang di depan rumah sakit tersebut. Seiring dengan diminta kartu identitas, saya juga diminta mengisi form identitas, keluhan yang dialami, pernah kontak dengan orang positif corona, pernah bepergian dari Wuhan atau China. Petugas juga menanyakan keluhan kesehatan.
Saat itu saya mengatakan kalau sempat pilek beberapa hari. Saya diminta cek suhu juga. Termometer pun menunjukkan angka 36,8. Normal.
Petugas mengarahkan saya untuk medical cek up biasa, karena tidak pernah kontak dengan pasien positif dan sebagainya. Tapi karena waktu itu udah sore, gak jadi medical cek up karena udah tutup. Hari itu hari Jumat. Posko pengecekan ini hanya buka pada hari dan jam kerja.
Saya datang lagi di Senin jam 09.00 WIB untuk medical cek up. Hari Senin itu, antrean untuk medical cek up juga ternyata ramai. Awalnya pemeriksaan fisik, lalu cek darah, dan rontgen dada. Saya selesai pukul 13.00 WIB.
Sembari menunggu hasil, saya pun bertanya apakah tak perlu tes swab? Petugas tersebut menjawab bahwa pemeriksaan darah dan ronsen bisa memberi tahu adanya masalah kesehatan, khususnya dari darah.
Dia juga menambahkan, tes swab mungkin diperlukan sejak awal jika seseorang terkena kontak langsung dengan suspect.
Seharusnya hasilnya sendiri bisa didapatkan pukul 16.00 WIB, tapi antrean hari itu tak main-main. Akhirnya hasil pemeriksaan saya baru bisa saya ambil keesokan harinya.
Dari hasil tesnya, pemeriksaan fisik, laboratorium darah dan rontgen dada, saya dinyatakan sehat. Gak diminta untuk self isolated juga. Total biaya yang saya keluarkan untuk tes kesehatan ini adalah Rp275.000
[Gambas:Video CNN]