Jakarta, CNN Indonesia -- Dua minggu 'terperangkap' di dalam kamar kos membuat pikiran jadi tak menentu,
cemas tak keruan. Aktivitas jadi tak leluasa karena pemerintah mengimbau semua kegiatan dilakukan dari rumah, termasuk
bekerja, untuk mencegah penyebaran infeksi
virus corona (Covid-19).
Saat bangun pagi, memang tak ada lagi aktivitas terburu-buru untuk berangkat kerja. Semua kini dilakukan secara daring dari kamar kos. Tinggal bilang, '
saya sudah on, ya' sebagai pengganti absen di kantor.
Lalu, aktivitas berlanjut mengerjakan pekerjaan seperti biasa. Seharian bakal berkutat menyelesaikan pekerjaan, seorang diri di kamar kos.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berada di kamar kos seukuran 4x4 meter selama hampir 24 jam ibarat terpenjara. Beragam cara mengatasi kebosanan sudah dilakukan. Mulai dari berolahraga di tempat, mencoba kembali merajut untuk mengatasi stres,
ngemil, hingga
video call dengan teman-teman untuk bercanda. Namun, kebosanan dan ketakutan tetap saja muncul.
Belum lagi kondisi kos semakin sepi. Kebanyakan juga sudah pulang ke rumah. Hanya ada beberapa orang yang masih bekerja. Tapi, itu pun jarang bertemu lantaran mereka juga berdiam di kamarnya.
Perkara makanan, rasanya sama sekali tak ada selera melihat menu makanan yang bertebaran di aplikasi pesan daring. Memilih makanan di aplikasi bisa membuat stres sendiri. Alhasil sering kali makanan yang dibeli berupa
junk food. Makan terasa menyakitkan karena mesti makan sendiri.
Praktis tak ada interaksi yang tercipta dan membuat kesepian semakin terasa. Sesekali video call dengan keluarga yang jauh di kampung halaman untuk mengobati kebosanan. Tapi, itu saja tak cukup.
Ketakutan semakin terasa lebih nyata saat kabar kematian dan isu
lockdown semakin bertebaran. Saat itu pula saya memutuskan untuk mudik, mengabaikan imbauan untuk tidak mudik dari pemerintah yang juga tidak tegas.
Di pagi hari, saya lalu menghubungi keluarga di rumah untuk meminta pendapat. Mereka juga menginginkan saya untuk pulang lantaran cemas dengan kondisi yang semakin tak menentu di Jakarta.
 Ilustrasi. Pulang ke kampung setidaknya jadi cara saya untuk tetap waras di tengah pandemi Covid-19. (danist soh) |
Saya diminta untuk langsung membeli tiket dan berangkat hari itu juga. Dengan terburu-buru, saya pun memesan tiket.
Saya memilih keberangkatan dari Bandara Halim Perdana Kusuma pada pukul 15.30 WIB. Selain karena lebih dekat, bandara ini juga lebih sepi ketimbang dari Bandara Soekarno Hatta.
Saya berangkat pukul 14.30 WIB menuju bandara. Sengaja sedikit mepet untuk meminimalkan interaksi dengan orang lain saat di bandara.
Saya tiba di bandara 10 menit sebelum
boarding pukul 15.00 WIB. Setelah melaporkan
check in, saya langsung menuju
gate pesawat yang pas terbuka saat saya tiba. Saya termasuk beberapa orang pertama yang masuk ke dalam pesawat.
Pemandangan pesawat kali ini terasa berbeda karena semua orang di dalamnya mengenakan masker. Penumpang juga duduk berjeda. Praktis tak ada perbincangan antarpenumpang yang kerap terjadi saat di pesawat. Setiap orang meminimalkan interaksi dengan orang lain. Was-was dengan Covid-19.
Saat tiba di bandara tujuan, saya langsung keluar dengan cepat. Karena tak ada bagasi, saya langsung bergegas menuju pintu keluar dengan menyerahkan surat keterangan pernah mengunjungi wilayah terdampak Covid-19. Gejala atau keluhan, nomor tempat duduk di pesawat, dan data diri ada di dalam surat itu.
Jika tak menyerahkan surat itu, maka tak boleh keluar bandara. Di pintu keluar ada bilik disinfeksi yang menyemprot cairan yang katanya dapat membunuh virus, walaupun belakangan diketahui bilik itu bisa berbahaya.
Saya langsung menuju parkiran, tempat orang tua yang menjemput menunggu. Tak ada pelukan dan ciuman tanda rindu yang selama ini dinantikan dan selalu terjadi saat pertemuan dari tanah rantau.
Jarak diatur sedemikian rupa hingga 2 meter. Berbicara juga dari jarak jauh. Di mobil, tak banyak perbincangan yang tercipta.
Saat memasuki kota, setiap mobil ditanyai berasal dari mana. Saya kembali melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum memasuki kota. Suhu tubuh dan data diri diminta di pos kesehatan ini.
"Segera lapor ke puskesmas kalau ada gejala, dan banyak minum air, kak," kata petugas yang berjaga.
Saya pun langsung menuju rumah. Di rumah, saya menempati kamar di lantai dua yang selama ini kosong. Saya isolasi mandiri di lantai tersebut.
Hingga sepekan di rumah, masih tak ada sentuhan fisik dengan orang tua. Interaksi pun dengan memakai masker dan dari jarak jauh. Masih ada satu minggu lagi sesuai instruksi WHO untuk isolasi mandiri selama masa inkubasi 14 hari.
Saya hanya turun ke bawah ketika akan berjemur di bawah terik matahari atau saat mengambil makanan. Piring kotor pun langsung dicuci setelah selesai makan.
Isolasi diri di rumah terasa lebih nyaman dan menenangkan. Meski interaksi dari jarak jauh, berada di dekat keluarga ternyata ampuh meredakan stres. Perbincangan kecil setiap hari mampu membuat suasana hati meningkat pesat.
(foto)
Perbedaan lain yang jelas terasa adalah perkara makanan. Makanan rumah jauh lebih nikmat dibandingkan harus dipesan lewat aplikasi dan makan sendiri di kamar kos.
Bekerja dari rumah sekilas memang tak berbeda dibandingkan dari kosan. Tapi, kesehatan mental dan rasa aman lebih baik saat berada di rumah. Makan pun lebih lahap dan tidur jadi lebih nyenyak.
Semoga masa isolasi 14 hari ini dapat selesai dengan baik tanpa ada yang terinfeksi Covid-19. Masa isolasi diri saya berakhir pada Senin (13/4) depan. Rasanya sudah tak sabar berbincang normal, memeluk, dan mencium orang tua.
(ptj/asr)
[Gambas:Video CNN]