Yang Terjadi pada Tubuh dan Otak saat Membaca Berita Corona

CNN Indonesia
Senin, 08 Jun 2020 12:01 WIB
Ilustrasi disfungsi seksual wanita.
Di seluruh dunia, orang-orang sadar bahwa mereka sedang tertatih-tatih di garis tipis antara tetap terinformasi dan tergelincir ke dalam berita corona. (Istockphoto/ Bunditinay)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sudah berbulan-bulan pemberitaan soal virus corona masih saja mewarnai keseharian. Orang-orang seperti terseret dalam arus berita buruk yang tak pernah berakhir tentang virus corona. Setiap hari selalu ada berita soal virus penyebab Covid-19, dari jumlah korban yang terus bertambah, lockdown, PSBB, gejala baru, dan lainnya.

Ada kisah-kisah tragis dari para pekerja kesehatan dan keluarga yang kelelahan yang harus mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang yang dicintai melalui jendela. Sulit untuk memalingkan muka.

Stres, pusing, panik, atau bosan? Anda tak sendirian. Di seluruh dunia, orang-orang menyadari bahwa mereka sedang tertatih-tatih di garis tipis antara tetap terinformasi dan tergelincir ke dalam berita corona yang berlebihan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sekarang, orang-orang mulai merasakan efek dibanjiri oleh berita terkait Covid-19. Bagi banyak orang, arus informasi telah menimbulkan ketakutan dan kecemasan. Beberapa mengembangkan gejala fisik, seperti sakit kepala ringan, sesak dada dan susah tidur, sementara yang lain merasa sangat kesal. Disadari atau tidak, inilah yang terjadi.



Namun pada kenyataannya, hal ini tidak mengejutkan untuk ahli kesehatan mental. Apa yang Anda baca dan tonton akan berdampak pada kesehatan mental dan fisik manusia.

Lalu apa yang akan terjadi pada tubuh dan otak ketika terlalu banyak membaca berita soal virus corona?

Mengutip Huffington post, membaca berita yang menegangkan akan mengaktifkan respons pertarungan atau pelarian dalam diri.

Coba perhatikan, setelah selesai membaca atau menonton berita soal virus corona, tubuh mungkin merasa sedikit tak nyaman. Misalnya jantung akan berdetak kencang atau napas lebih cepat, gelisah, susah tidur, atau mimpi buruk.

Hal ini terjadi karena Anda terpapar dengan stresor, meski secara tak langsung, misalnya melalui media. Respons untuk 'bertarung' atau lari mulai menyala. Ini merupakan cara tubuh terhadap ancaman yang dirasakan.

"Ketika otak ditunjukkan gambar sesuatu yang berpotensi traumatis, pusat-pusat otak yang bertanggung jawab atas respons rasa takut menyala [dan] pusat-pusat otak yang terkait dengan perkembangan PTSD menyala," kata Alison Holman, seorang psikolog dan profesor keperawatan di University of California Irvine.

Ketika orang terus-menerus memaparkan diri mereka pada berita yang memicu kecemasan, mereka membuat otak mereka merasakan peristiwa yang mengancam dan menegangkan berulang kali, maka hal ini bisa berpengaruh pada kesehatan mental seseorang.

"Jika Anda berulang kali terkena stresor itu, itu dapat menyebabkan suasana hati yang tertekan, itu dapat menyebabkan insomnia, kelelahan [dan] penurunan konsentrasi," kata Collin Reiff, seorang psikiater di NYU Langone Health.

Holman mengatakan bahwa semakin banyak orang terpapar berita menegangkan seperti virus corona maka semakin besar kemungkinan mereka melaporkan tingkat stres dan kecemasan akut yang lebih tinggi.

Bukan cuma soal virus corona, hal ini juga terjadi saat krisis Ebola 2014 lalu. Saat itu, orang yang terpapar dengan berita soal Ebola memiliki tingkat stres yang tinggi dan kecemasan akut dibandingkan dengan yang jarang menonton berita.

Hal yang sama terjadi dengan bencana lain. Sebuah laporan yang melihat 9/11 menemukan bahwa orang yang menonton TV selama beberapa jam sehari memiliki risiko lebih tinggi mengalami gejala stres pasca-trauma dan masalah kesehatan fisik baru, terutama pada jantung, pada tahun-tahun berikutnya.

Menurut Holman, apa yang dilihat orang sama pentingnya dengan seberapa banyak berita yang mereka tonton. Penelitiannya tentang pemboman Boston Marathon menemukan bahwa semakin mengerikan dan menggambarkan cakupannya, semakin banyak orang yang mengalami kesusahan dan gangguan fungsi organ.

"Selama paparan yang terus-menerus terhadap penyebaran yang mematikan dan mematikan ini, kita sering merasa cemas dan kemudian beralih ke media sosial dan digital," kata Yuval Neria, seorang profesor psikologi medis di Universitas Columbia dan direktur trauma dan gangguan stres pascatrauma di New York State Psychiatric Institute.

"Paparan media yang tinggi pada gilirannya dapat membuat kita semakin cemas dan tertekan, yang pada gilirannya akan meningkatkan konsumsi media sosial." Dengan cepat bisa terasa seperti hari kiamat.

Seiring waktu, paparan berlebihan terhadap media yang penuh tekanan dapat menyebabkan kecemasan kronis, depresi, dan insomnia. Ini juga dapat memicu berbagai masalah kesehatan fisik, seperti penyakit jantung, diabetes, penuaan dini, sampai peningkatan risiko bunuh diri.

"Saya kira, apa yang terjadi adalah orang-orang terpapar dengan informasi baru, yang sebagian besar memicu kecemasan, berulang-ulang," kata Holman.

Hal senada juga pernah diungkapkan oleh Psikolog Anna Surti Ariani dalam perbincangannya dengan CNNIndonesia.com terkait ledakan bom terjadi di sejumlah lokasi di Surabaya pada 2018 lalu. Foto dan video rekaman kejadian pun dengan cepat banyak berseliweran di media massa, media sosial, sampai aplikasi pesan instan di ponsel pintar. Tak cuma itu, berita hoax juga mampir di media sosial. waktu lalu mengungkapkan bahwa trauma terjadi bukan hanya karena mengalami, berada di lokasi kejadian, atau terluka karena kejadian tersebut. Namun trauma juga bisa terjadi karena melihat infomasi.

"Tapi sebenarnya melihat, mendengar banyak info dari media sosial atau berita yang belum tentu benar tentang suatu kejadian itu juga akan menimbulkan trauma tersendiri," katanya CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

Senada dengan Anna Surti, Psikolog Melly Puspita Sari mengungkapkan bahwa trauma pasca-kejadian tertentu dibagi menjadi dua bagian besar yakni, trauma primer dan trauma sekunder.

Trauma karena paparan media, media sosial yang menampilkan berbagai foto korban dan informasi hoax ini dikenal dengan sebutan trauma sekunder.

"Trauma sekunder ini berarti adanya rasa negatif yang muncul akibat mengetahui sebuah informasi tertentu," katanya.

Seberapa banyak yang bisa Anda baca?


Holman menyarankan untuk membaca dua kali sehari, paling banyak.

"Dapatkan informasi yang Anda butuhkan, dan jangan kembali lagi ke sana."

Selain itu berfokus pada fakta dan juga data positif tentang berapa banyak orang yang sembuh dan juga rekomendasi kesehatan. (chs)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER