Sebelum bisa menginjakkan kaki di Indonesia, saya harus berjuang untuk bisa pulang dari Italia. Saat itu, negara tempat saya dan suami menimba ilmu sudah memasuki penguncian wilayah (lockdown) virus corona fase kedua.
Menetap di Italia semasa pandemi virus corona menjadi pengalaman hidup paling berharga bagi saya, suami, dan anak kami yang masih berusia 1,5 tahun. Jumlah kasus positif dan kematian di negara ini sempat melampaui China, negara asal muasal pandemi virus Covid-19.
Saat fase lockdown pertama, semua orang tinggal di rumah dan hanya keluar rumah ke supermarket atau apotek, bahkan bekerja juga dari rumah termasuk kegiatan penelitian saya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begitu memasuki lockdown fase kedua, sudah banyak masyarakat yang berkegiatan di luar rumah seperti untuk bersepeda, jogging, atau mengajak anjing peliharaan mereka jalan-jalan.
Meski bisa disebut rileksasi lockdown, namun pemerintah Italia tetap tegas menerapkan protokol kesehatan, sehingga penduduknya tidak ada yang kebablasan.
Masker masih wajib digunakan, begitu pun jarak sosial wajib diterapkan, baik di metro maupun bus dengan menggunakan penanda tempat berdiri dan kursi yang boleh diisi.
Toko-toko yang buka juga dijaga ketat. Semua mengharuskan pengunjung untuk mengantre di luar guna membatasi jumlah orang di dalam toko.
Saat masuk toko, petugas mengawasi dan memastikan untuk menggunakan hand sanitizer dan sarung tangan plastik yang disediakan.
Upaya itu menurut saya penting sekali mengingat sebagian besar toko menampilkan potongan harga menarik yang berpotensi menimbulkan kerumunan.
Jalanan juga terlihat berbeda. Ketika lockdown fase pertama, saya pernah membaca di World Economic Forum bahwa pemerintah Italia akan meningkatkan fasilitas pengendara sepeda. Tujuannya agar trotoar tidak sesak oleh para pejalan kaki.
Begitu memasuki lockdown fase kedua, saya mengamati jalan-jalan besar yang awalnya untuk mobil parkir paralel, disulap jadi lajur sepeda dan difungsikan semestinya!
![]() |
Cukup banyak warga yang berani melalui jalan yang dikenal selalu ramai mobil lalu lalang itu, kali ini menggunakan sepeda.
Trotoar juga jadi semakin leluasa untuk digunakan pejalan kaki, bahkan pengunjung yang antre sebelum masuk toko juga tidak membuat trotoar sesak.
Teman-teman pelajar dari Indonesia sudah bisa melancong ke kota-kota terdekat Milan seperti Brescia maupun keluar Italia seperti Swiss.
Meski demikian, universitas dan sekolah-sekolah masih tutup sehingga masih diterapkan kelas daring.
Virus corona juga sempat membuat sedikit kepanikan di laboratorium tempat saya magang. Ada seorang teknisi senior berusia lebih dari 60 tahun yang mengalami gejala Covid-19.
Beliau bekerja sebagai tenaga medis yang melakukan PCR sampel darah di rumah sakit besar Policlinico di Milano untuk diagnosa kanker darah. Di saat yang bersamaan, beliau juga bertugas sebagai tenaga medis yang melakukan diagnosa di lab sentral Milan.
Diduga beliau mengalami gejala setelah bekerja di lab sentral Milan ini, karena lab tersebut juga digunakan untuk diagnosa virus corona. Setelah mengisolasi diri 14 hari di rumah, beliau sembuh dan kembali bekerja.
![]() |
Saya telah menyelesaikan pendidikan saya tahun ini, oleh karena itu saya dan anak memutuskan pulang ke Indonesia. Suami juga berkesempatan pulang mumpung pembelajaran masih mengandalkan daring.
Kami tak mengalami kesulitan saat berusaha pulang ke Indonesia di tengah pandemi virus corona, hanya saja kami harus ekstra sabar untuk mengurus banyak hal.
Tantangan yang pertama, saya dan suami sempat mengalami dua kali pembatalan penerbangan, karena kebijakan di negara transit yang berubah-ubah sehingga tanggal penerbangan kami tertunda terus-menerus. Di lain pihak, kami tetap harus pulang, karena sewa apartemen akan berakhir.
Lalu kami bolak-balik berkoordinasi dengan pihak maskapai dan pemilik apartemen.
Beruntung, pemilik apartemen membolehkan kami memperpanjang sewa tinggal hingga ada kejelasan dari maskapai.
Sebaliknya, kejelasan maskapai tidak kunjung ditemukan hingga akhirnya kami memutuskan untuk meminta refund dan mengganti maskapai.
Tantangan yang kedua, satu minggu sebelum keberangkatan kami diminta memberikan hasil tes PCR yang berdurasi maksimal 7 hari ketika tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Hasil dari tes PCR ini memerlukan waktu 3-5 hari kerja, sedangkan satu hari sebelum keberangkatan adalah hari libur nasional di Italia. Bagaimanapun kondisinya, kami tetap mengusahakan untuk tes PCR di Milan.
Sempat tegang mengurus dan menunggu hasil tes PCR, beruntungnya hasil tes keluar di waktu yang tepat dan kami sekeluarga dinyatakan negatif Covid-19.
Saya juga berterimakasih kepada KBRI Roma yang telah membantu menerbitkan surat jalan yang mempermudah WNI perantau untuk pulang ke Indonesia.
Rute penerbangan pulang kami adalah dari Italia, ke negara transit, baru ke Indonesia.
Protokol kesehatan penerbangan dari Italia ke negara transit sangat ketat. Jumlah penumpang hanya 12 orang dalam satu pesawat demi jarak sosial. Setibanya di bandara transit, penumpang diminta langsung menuju ruang tunggu terdekat, tidak diperbolehkan berkeliaran di bandara.
Bandara Internasional Qatar tempat kami transit terasa bagai kota hantu. Tak ada keramaian penumpang di koridor atau duty-free. Hanya ada satu atau dua kedai kopi yang buka, itu pun sepi pembeli.
![]() |
Begitu menaiki pesawat dari negara transit ke Indonesia, saya kaget karena pesawat diisi dengan jumlah normal.
Kemudian setibanya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, sempat terjadi antrean panjang dan kerumunan, akibat penumpang dari maskapai berbeda-beda berkumpul jadi satu.
Antrean ini untuk tes suhu tubuh, saturasi oksigen, serta denyut nadi, juga diperiksa surat hasil PCR (jika ada), sebelum masuk imigrasi.
Sebetulnya disediakan banyak kursi tunggal yang sesuai dengan jarak aman 1 meter, namun menurut petugas bandara yang saya tanya, tepat di hari itu penerbangan menuju Bandara Internasional-Soekarno Hatta sedang lebih banyak dari biasanya.
Meski demikian, saya salut karena petugas memprioritaskan orang-orang tua dan anak-anak serta tetap bekerja profesional.
Sesampainya di rumah, saya, suami, dan anak langsung melakukan karantina mandiri selama 14 hari.
Selesai menempuh pendidikan sebenarnya terbersit rencana dalam benak menemani suami menyelesaikan pendidikan di Italia. Namun karena pandemi virus corona masih terus melanda, saya urungkan niat tersebut.
Selama di Indonesia, saya juga memilih untuk berdiam di rumah saja jika tak ada keperluan penting atau darurat. Tidak juga keluar kota atau keluar negeri hingga kondisi menjadi kondusif.
Sempat merasakan virus corona di Italia bukan berarti saya menjadi paranoid akan wabah penyakit. Hanya saya berharap rileksasi pembatasan perjalanan tak membuat orang lupa menjaga kesehatan diri dan orang lain.
Hari Sabtu (4/04) kasus virus corona masih meningkat dengan angka mencapai 1.300 kasus di Indonesia.
Sebagai perbandingan, saat angka kasus mencapai 1.400 pemerintah Italia masih mewajibkan penduduknya berdiam di rumah secara total. Sangat kontras dengan yang terjadi di Indonesia, kan?
Saya percaya bahwa pandemi virus corona hanyalah sementara. Para peneliti luar dan dalam negeri sedang bekerja keras untuk menemukan penawarnya.
Seperti yang telah diteliti oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman bahwa virus corona di Indonesia memiliki karakter yang unik.
Tentu karakteristik virus yang berbeda juga memerlukan penangkal yang berbeda. Segera setelah obat maupun pencegah virus corona baru ini tersedia, kemungkinan kasus pandemi akan mereda.
Saya optimis melihat kasus-kasus flu sebelumnya yang juga bisa mereda, sebut saja virus H1N1 pada 2009 bahkan MERS yang juga disebabkan oleh virus corona pada tahun 2012.
Optimis bukan berarti terlalu berani. Menjaga diri bukan berarti terlalu takut. Pahami saja bahwa dengan menjaga kesehatan diri sendiri, kita telah membantu orang lain menjaga dirinya.
Semoga pandemi virus corona segera berlalu dan kaum perantau bisa kembali menggapai mimpi di luar negeri, amin!
-
Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Tulisan yang dikirim minimal 1.000 kata dan dilengkapi minimal tiga foto berkualitas baik yang berhubungan dengan cerita. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, sila hubungi [email protected]
(ard)