Mengenal Completorium, Ibadah Katolik di Pengujung Hari

CNN Indonesia
Rabu, 08 Jul 2020 07:52 WIB
Umat Katolik melaksanakan Ibadah mengaji Turo Tuan Mardomu di Kapel Tuhan Ma dan Kapel Tuhan Ana, Larantuka, NTT, Rabu, 23 Maret 2016. CNN Indonesia/Adhi Wicaksono.
Selama Juli 2020 ini, Komsos KAJ mengimbau umat untuk mengikuti ibadat completorium dalam rangka doa bagi bangsa dan NKRI di masa pandemi Covid-19. (Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Dalam tradisi Katolik dikenal ibadat Completorium. Selama Juli 2020 ini, Komisi Sosial Keuskupan Agung Jakarta (Komsos KAJ) mengimbau umat untuk mengikuti ibadat dalam rangka doa bagi bangsa dan NKRI di masa pandemi Covid-19. Live streaming ibadat Completorium diselenggarakan oleh gereja-gereja paroki di KAJ secara bergantian.

Akan tetapi, apa itu ibadat Completorium?

Tomi Subardjo, SJ, biarawan sekaligus pengajar di prodi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta berkata, Completorium merujuk pada etimologi atau akar katanya, 'completus' (kata sifat), 'compleo' (kata kerja) yang dalam bahasa Latin berarti mengakhiri, memenuhi, membawa ke akhir atau melengkapi.

Secara harafiah Completorium merupakan doa untuk mengakhiri hari. Rangkaian ibadat ini terdiri dari doa dan nyanyian yang bisa diselenggarakan dalam komunitas, keluarga, maupun secara pribadi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau merujuk pada susunannya, Completorium itu, kita bisa meraba-raba bahwa sebenarnya doa ini diintensikan selain untuk menutup hari, juga mengungkapkan harapan manusia seluruhnya pada Allah," kata Tomi melalui sambungan telepon pada CNNIndonesia.com, Selasa (7/7).

Ibadah Completorium termasuk dalam ibadat harian umat Katolik. Namun merunut sejarahnya, lanjut Tomi, ibadat harian yang kini dikenal dan dijalankan umat sudah mengalami evolusi baik dari bentuk maupun pemaknaan. Sejak abad 3 dan 4 tidak ada ibadah atau doa harian baku dan satu bentuk. Namun melihat teks Kitab Suci, cara peribadatan jemaat Kristen perdana tidak jauh dari tradisi keagamaan Yahudi seperti doa menggunakan Mazmur dan doa tiga kali sehari yakni pagi, siang, dan sore.

Kemudian pada abad 4 muncul tradisi tulis misal Tertulianus menyebut doa gereja ada lima waktu yang dimulai pada pukul 7 pagi (dalam tradisi Latin disebut ora prima), teks lain menyebut ada enam waktu juga ada beberapa versi lain misal 12 waktu, 8 waktu bahkan dua waktu saja. Baru setelah itu ada bentuk yang lebih luas dan umum dipakai diambil dari Regula St. Benediktus (aturan hidup Santo Benediktus). Ada 8 waktu doa yang secara prinsipil bertahan sampai Konsili Vatikan II (1962-1965).

Pada abad 9, ibadat harian termasuk Completorium menjadi tugas dan kewajiban klerus atau mereka yang ditahbiskan. Klerus memiliki kewajiban untuk mendoakan ibadat harian. Serangkaian panjang perjalanan ibadat harian kemudian pada abad 10 dan 11 terjadi pergeseran. Ibadat tidak melulu harus dilakukan dalam komunitas tetapi juga individu.

"Dalam tahap selanjutnya pembaharuan penting terjadi setelah Konsili Trente (1545-1563). Pada 1568, Paus Pius V mempublikasikan buku ibadat harian.  Tidak ada perubahan secara fundamental tapi mentalitasnya berubah, sebelumnya ada variasi kemudian ada penyeragaman," imbuhnya.

Umat Katolik diberikan waktu untuk melakukan ziarah ke pemakaman sebelum melakukan Misa Jumat Agung di Gereja Katedral Larantuka, NTT, Jumat, 25 Maret 2016. CNN Indonesia/Adhi Wicaksono.Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono
ilustrasi doa Katolik

Tomi mengatakan Konsili Vatikan II yang terbilang membawa perubahan cukup fundamental baik dari struktur, bentuk, maupun dari spirit atau ruhnya. Konsili Vatikan II menghasilkan beberapa dokumen gereja salah satunya Sacrosanctum Concilium atau Konstitusi tentang Liturgi Suci. Dokumen ini dipublikasikan pada 4 Desember 1963.

"Di sana, jika dibaca perlahan di bagian ibadat harian ada pergeseran ibadat harian itu adalah doa seluruh umat Allah. Ada pergeseran besar bahwa ibadat harian tidak lagi dipahami doa khusus imam, rahib tapi juga semua orang yang dibaptis," ujarnya.

Jika diartikan, ibadat harian termasuk completorium pun kemudian dibuka untuk umat agar turut terlibat dalam mengejawantahkan misi gereja sebagai pendoa. Buat Tomi, sebenarnya setelah Konsili Vatikan II ibadat harian agak menghapus kesan klerikarisme liturgi gereja. Ibadat harian tidak lagi semata-mata milik mereka yang ditahbiskan tetapi juga semua yang sudah dibaptis.

Akan tetapi kesan bahwa ibadat harian adalah milik klerus tetap terasa hingga kini. Tomi menduga ibadat Completorium tidak begitu populer atau dikenal di kalangan umat karena pemahaman ibadat harian termasuk Completorium adalah doa wajib buat mereka yang tertahbis, biarawan, dan biarawati.

"Justru ini jadi tantangan yang perlu diubah. Completorium itu liturgi Gereja, bukan cuma Ekaristi, sakramen. Liturgi ini bisa dirayakan awam tanpa harus terikat dengan adanya imam, uskup, juga diakon," katanya.

(chs)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER