Amerika Serikat (AS) membuat keputusan darurat untuk menggunakan terapi plasma darah dari penyintas Covid-19 untuk melawan virus corona. Terapi plasma diyakini dapat mendorong pemulihan pasien lebih cepat.
"Produk ini [terapi plasma] mungkin akan efektif dalam melawan Covid-19. Keuntungan potensial dari produk itu [terapi plasma] lebih besar dibandingkan risiko yang diketahui," tulis Food and Drug Administration AS, Senin (24/8), mengutip AFP.
Metode pengobatan ini telah digunakan oleh sejumlah pasien Covid-19 AS dan negara-negara lain. Namun, efektivitas terapi masih diperdebatkan oleh para ahli. Beberapa di antaranya mengingatkan soal kemungkinan efek samping yang akan muncul.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terapi plasma merujuk pada pengobatan yang menggunakan darah penyintas Covid-19. Mengutip Wired, dalam kondisi terinfeksi, sistem imun tubuh akan mulai memproduksi antibodi, khususnya sel pelindung yang mengenali dan melawan virus corona. Saat pasien dinyatakan sembuh, antibodi akan tersimpan dengan sendirinya dalam darah.
Antibodi yang tersimpan dalam plasma darah bekerja dengan membantu menetralisir virus yang ada di dalam tubuh pengidap yang terinfeksi.
Sebelum ini, darah dan plasma telah digunakan untuk mengobati banyak kondisi lain selain Covid-19. Umumnya, transfusi plasma terbilang aman dan dapat ditoleransi dengan baik oleh kebanyakan pasien.
Mengutip WebMD, proses transfusi plasma pada umumnya menimbulkan rasa lemah, pusing, dan mual. Hal ini disebabkan oleh tekanan darah yang menurun saat proses transfusi. Seseorang akan disarankan untuk menambah asupan air pada hari-hari sebelum proses transfusi. Asupan air yang banyak dapat membantu mencegah gejala-gejala tersebut.
Efek samping paling umum dari terapi plasma adalah munculnya reaksi alergi ringan seperti rasa gatal. Mengutip JAMA Network, pada tingkat yang lebih parah, terapi plasma darah bisa menimbulkan masalah pada jantung dan paru-paru. Namun, efek samping ini terbilang jarang terjadi.
Selain itu, para peneliti juga mengkhawatirkan adanya risiko penularan infeksi lain dalam proses terapi plasma seperti HIV, serta hepatitis B dan C. Namun, risiko ini terbilang rendah karena donor plasma umumnya telah pulih sepenuhnya dari infeksi jenis apa pun.
Kendati demikian, hingga saat ini, pengujian efektivitas terapi plasma darah untuk pasien Covid-19 masih terus berlangsung dan belum diketahui hasil pastinya.
(asr)