Donor darah bukan sebuah aktivitas baru buat saya. Meski bukan pendonor rutin, saya tidak ragu menyumbangkan darah saat ada yang memerlukan. Terakhir, saya mendonorkan darah untuk pasien anemia berat di RSUP Fatmawati pada Maret 2020 lalu.
Kasus infeksi virus corona di Indonesia saat itu belum banyak, aturan PSBB pun belum diterapkan, semua terasa 'aman' dan terkendali. Meski begitu saya kerap mendengar soal stok darah yang menipis di rumah sakit-rumah sakit maupun PMI.
Di satu sisi, terbesit keinginan untuk mendonorkan darah daripada menunggu dan merespons kebutuhan pasien. Di sisi lain, tak dimungkiri, ada rasa takut dalam diri saya. Pandemi membuat segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia kesehatan jadi sesuatu yang mengerikan termasuk donor darah dan rumah sakit. Bagaimana jika nanti saya ketularan Covid-19?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akan tetapi sebuah kesempatan wawancara dengan tenaga kesehatan membuat saya tergerak. Bagaimana tidak? Ada pasien-pasien thalassemia di luar sana yang jelas memerlukan transfusi darah rutin. Penderitaan mereka bertambah, menghadapi penyakit yang dideritanya, susah cari darah, dan ancaman infeksi corona.
Bukan cuma mereka, masih banyak kebutuhan darah untuk pasien-pasien di luar itu. Padahal stok darah makin tipis ditambah keengganan orang untuk berkunjung ke PMI akibat pandemi.
Pengalaman ini pun membawa saya ke PMI Kota Jakarta Selatan di daerah Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Rupanya tiap kota di DKI Jakarta memiliki cabang sehingga tidak perlu ke pusat yang terletak di Kramat, Senen, Jakarta Pusat.
Barangkali karena masih hari dan jam kerja, suasana begitu sepi. Seorang security meminta saya untuk mencuci tangan terlebih dahulu, baru kemudian cek suhu badan.
Cek suhu badan di siang hari selalu berhasil bikin pesimis. Terik matahari plus perjalanan dengan ojek bisa saja membuat suhu badan melonjak. Namun melihat angka 36,2 derajat Celcius, saya pun lega. Petugas mempersilahkan saya masuk untuk mengisi dua lembar formulir. Lembar pertama berisi formulir data diri dan kondisi badan secara umum termasuk penyakit yang pernah diderita, riwayat konsumsi obat, dan riwayat sakit.
Lembar kedua lebih khusus terkait Covid-19 seperti riwayat kontak dengan penderita, gejala terkait Covid-19 dan riwayat perjalanan ke luar negeri.
Formulir yang sudah lengkap dicek petugas dan data dimasukkan ke sistem. Saya pun dipersilahkan duduk untuk mengecek kondisi darah.
"Hati-hati itu ada rodanya sedikit," ujar salah seorang staf dengan ramah.
Saya cuma tertawa. Mungkin kursi ini sudah memakan 'korban'. Meja didesain dengan pembatas mika dan diberi celah berbentuk persegi panjang untuk menjulurkan tangan. Sejurus kemudian, petugas mengambil sampel darah dengan alat mirip pulpen. Mungkin rasanya seperti gigitan nyamuk. Setitik darah diambil dan dicek.
Pemeriksaan belum berhenti sampai di situ. Saya diminta masuk ke ruangan antara ruang registrasi dan ruang donor. Di sini tekanan darah dicek. Meski mengenakan masker, saya bisa menduga ia seorang perempuan paruh baya.
"Ini normal, 110/80 ya," kata sang petugas.
Tibalah saatnya darah saya diambil. Dokter meminta saya untuk mencuci lengan terlebih dahulu. Ia pun meminta saya untuk mengenakan masker medis yang sudah disediakan. Rupanya ini adalah bagian dari protokol kesehatan PMI selama pandemi.
Karena sepi, saya bebas memilih bed tempat berbaring. Tangan dalam posisi menggenggam, lalu lengan kiri diikat. Dokter menggosok siku dalam dengan kapas basah. Saya bersiap.
"Tarik napas," kata dokter memberikan aba-aba sembari menusukkan jarum dengan diameter cukup besar.
Perlahan genggaman tangan dilepaskan. Ia pun beranjak. Warna merah mewarnai selang yang tadinya bening. Tayangan kartun 'The Powerpuff Girls' menemani saya sepanjang menit-menit darah mengalir. Tidak sampai 10 menit, dokter kembali menghampiri. Ia menarik selang, mengguntingnya lalu diikat. Potongan selang satunya dijepit dengan penjepit berbentuk mirip gunting. Kenapa ya donor satu ini bisa cepat? Pengalaman donor darah sebelumnya bisa lebih dari 15 menit dan sesekali saya musti meremas bola karet.
"Bisa karena pengaruh daya pacu jantung, jadi bisa cepat. Pusing?," katanya.
Aneh, saya tidak merasa pusing. Setelah bekas suntikan ditutup, ia meminta saya untuk mengangkat tangan paling tidak selama 3 menit. Petugas lain meminta saya untuk beristirahat di ruang berbeda. Teh manis panas menyambut saya plus sekantong makanan ringan dan susu. Saya pun mendapatkan kartu donor yang bisa dibawa untuk donor berikutnya.
Menurut salah satu petugas, jumlah pendonor memang menurun drastis. Dari yang biasanya mencapai 30 orang per hari, pandemi memangkasnya jadi sekitar separuhnya saja. Sembari tersenyum, ia mengucapkan terima kasih karena saya mau mendonorkan darah.
Padahal saya merasa ini cuma hal sederhana. Ternyata sekantong darah saya bisa membawa dampak.
"Ke sini dua bulan lagi ya Bu!" terdengar suara petugas security saat saya menghampiri ojek daring yang menanti.
Tak ada yang berubah dari proses donor darah, ya tentunya ada tambahan protokol kesehatan yang harus dilakukan. Tapi nyatanya itu membuat saya dan pendonor darah lainnya yakin kalau PMI menerapkan protokol pencegahan Covid-19 agar bebas penyakit. Jadi, tak ada yang perlu dikhawatirkan, asalkan usai donor darah, Anda langsung pulang dan bersih-bersih sesampainya di rumah.
(els/chs)