Banyak yang berpendapat bahwa jargon tersebut lahir dari mengadaptasi kebiasaan masyarakat. Namun, tidak demikian menurut antropolog Universitas Padjadjaran, Budi Rajab.
Budi mengatakan, masyarakat justru mengadaptasi jargon tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Karena terngiang akan jargon, masyarakat, lanjutnya, cenderung membeli makanan atau minuman manis untuk berbuka puasa.
Ditambah lagi informasi dari hadis soal anjuran makan kurma--yang memiliki rasa manis--untuk berbuka puasa. Kehadiran jargon jadi lebih mudah dan cepat diterima masyarakat, sambil pelan-pelan mengadaptasinya. Apalagi jika jargon ditayangkan secara berulang di televisi jelang azan Magrib.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jelasnya itu [jargon] trik marketing untuk menambah penjualan. Mereka seakan-akan merekatkan pesan yang sudah ada di masyarakat, yaitu berbuka dengan yang manis, padahal pesan itu enggak ada," kata Budi, saat dihubungi CNNIndonesia.com.
Budi mengatakan, bagi masyarakat menengah ke atas yang mampu membeli kurma, mungkin buah satu itu bisa jadi pilihan. Tapi tidak dengan masyarakat golongan menengah ke bawah. Alih-alih membeli kurma, makanan dan minuman manis lain jadi pilihan.
Faris juga mengatakan, kemunculan slogan 'berbukalah dengan yang manis' merupakan trik marketing yang sukses memadukan budaya dalam sebuah produk.
Staf pengajar di Universitas Paramadina itu menjelaskan, dalam ilmu pemasaran, hal itu dikenal sebagai cultural marketing atau marketing budaya.
Sebuah merek produk berusaha seakan-akan membuat pesan penting yang berkaitan erat dengan kebiasaan di masyarakat. Produk akan mempelajari seperti apa kebiasaan masyarakat, budayanya, kepercayaan yang dianut, dan dilekatkan dengan produk tersebut melalui pemasaran.
Kemunculan jargon 'berbukalah dengan yang manis' bisa disimpulkan secara sukses mempraktikkan ilmu tersebut. Produk minuman teh dengan rasa yang manis dibuat seakan-akan amat cocok disajikan sebagai minuman berbuka puasa.
Bisa jadi, jargon itu pula yang menjadi dasar masyarakat Indonesia salah kaprah mengejawantahkan sunah rasul yang menganjurkan berbuka dengan kurma, menjadi berbuka dengan yang manis-manis.
"Dia [pembuat jargon] paham bahwa umat muslim Indonesia sebagian besar pasti berbuka puasa. Dan, dia sebagai brand minuman bisa masuk di momentum ketika lagi berbuka. Apa, sih, yang cocok slogannya dengan berbuka? Ya 'berbukalah dengan yang manis', meskipun sebenarnya anjuran Islam sendiri enggak seperti itu," jelas Faris.
(mel/asr)