Jakarta, CNN Indonesia --
Tiap detik, juga jadi waktu kritis bagi mereka tenaga kesehatan (nakes) yang berjibaku di garda terdepan pandemi Covid-19.
Tak hanya berfikir menyelamatkan nyawa pasien, para nakes ini juga harus memikirkan keselamatan diri sebagai pihak yang paling rentan terinfeksi virus corona.
Dokter spesialis penyakit dalam, Yusdeny Lanasakti, merasakan betul ketika pasien Covid-19 tak henti-hentinya datang mencari perawatan selama masa darurat di Indonesia saat ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang pasti sekarang ini kami ancur-ancuran. Di semua lini kami babak belur," kata Yusdeny kala berbincang dengan CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Di sela waktu istirahatnya, Yusdenny bercerita panjang lebar soal tantangan yang dihadapi. Kala itu, dia baru saja selesai menggantung jas dokter setelah mengerjakan tugas seharian, merawat pasien Covid.
Tak dapat ruang rawat, obat, fasilitas yang memadai hingga terpaksa merawat pasien bukan di ruangan seharusnya menjadi pil pahit yang harus ia telan bersama para nakes lainnya setiap hari.
Yusdeny ingat betul kegentingan demi kegentingan yang terjadi di tempatnya bertugas, RSUD Bondowoso, Jawa Timur. Maklum, rumah sakit tersebut menjadi satu di antara dua RS yang merupakan rujukan Covid-19 di wilayahnya bertugas.
Bebannya tidak hanya di Bondowoso, tapi dia juga harus melakukan tugas perawatan di salah satu rumah sakit di wilayah Situbondo. Butuh jarak sekitar 50 kilometer yang harus ditempuh setiap malam agar dapat merawat pasien Covid di dua rumah sakit tersebut.
Kendati demikian, baginya jarak mungkin bukan masalah. Namun jumlah pasien yang datang hingga meregang nyawa adalah duka yang tak terbendung. Semenjak pandemi semakin mengganas dalam beberapa hari terakhir, angka kematian di rumah sakitnya pun semakin terus melonjak.
Hampir tiap hari, kata dia, kurang lebih 10 hingga 15 pasien meregang nyawa.
"Di UGD (unit gawat darurat) itu penuh. Kami sampai harus bikin tenda ini, sama lah mungkin seperti di tempat-tempat lain," ungkapnya.
"Satu hari tuh di RSUD saja kematiannya bisa sampai 15 orang. Ini kan yang menerima di Bondowoso kan kota kecil ya," tambahnya lagi.
Dokter dengan spesialisasi internis itu pun tak kuasa menahan kesedihannya ketika melihat kondisi yang mengharuskan pergantian pasien di tempat tidur perawatan ICU (intensive care unit).
Dia menggambarkan, pergantian pasien untuk dirawat dengan fasilitas kedokteran yang rumit itu bergilir ketika pasien lain meninggal dunia. Artinya, seseorang akan mengisi kepergian pasien lain di tempat tidur tersebut. Dan potret tersebut, menjadi intens terjadi dalam beberapa waktu belakangan.
"Ventilator itu antre dan tingkat kematiannya besar sekali," kata Yusdeny.
"Estimasi saya di ruang reguler, ada lebih dari 10 yang membutuhkan ventilator, yang membutuhkan ICU lah. Nyatanya, kapasitasnya cuma lima bed, ibarat ya nunggu giliran lah. kalau yang pakai ventilator sudah meninggal baru masuk lagi yang antre itu," tambahnya.
Detik-detik pasien menghembuskan napas terakhir membuat hatinya miris. Dokter, kata dia, hanya bisa pasrah dan mengakali kekurangan-kekurangan fasilitas kesehatan tersebut untuk mengobati pasien Covid tersebut.
Ironisnya, kematian orang tersebut justru seperti menjadi 'harapan' bagi pasien lain yang memerlukan pertolongan untuk sekadar mendapat tempat tidur perawatan.
Yusdeny, menyayangkan seringkali pasien yang datang ke rumah sakit tersebut sudah dalam gejala berat lantaran tak mendapat perawatan sejak mulai bergejala.
"Istilahnya kayak korban perang ya. Kadang-kadang kan kalau di perang itu kita milih mana yang bisa diselamatkan, mana yang enggak. Sementara kami belum dalam kondisi tersebut, semua pasien tetap dirawat. Tapi ya rata-rata yang berat meninggal," kata dokter
Simak perjuangan tenaga kesehatan lain di halaman berikut.
Kisah lain datang dari dokter spesialis di unit gawat darurat, Tri Maharani. Berdiri di garda depan Covid-19 membuatnya kian hari merasa seolah seperti malaikat pencabut nyawa.
Dia masih terbayang bagaimana peliknya ketika harus menentukan pasien mana yang harus mendapat perawatan secara lebih intensif di tengah peningkatan kasus Covid-19 yang melonjak setiap hari.
Belum lagi, jika dihadapkan dengan permasalahan ketersediaan fasilitas kesehatan di rumah sakit yang semakin menipis.
"Ada kalanya kami itu pulang berhari-hari masih kepikiran ketika pasien itu meninggal. Kadang-kadang kami bertanya, apakah pilihan yang kami lakukan benar atau tidak," ujar Tri saat bercerita dengan CNNIndonesia.com.
Oleh karenanya, dia mengingatkan agar masyarakat dapat lebih sadar dan peduli dengan kondisi pandemi Covid-19 yang kian mengganas. Pasalnya, hal itu membantu tenaga kesehatan agar tak dihadapkan pada pilihan-pilihan sukar dalam memberi perawatan.
Dunia kedokteran medis mengenal istilah triase ketika seseorang tenaga kesehatan dihadapkan pada pilihan tersebut. Proses mengidentifikasi pasien untuk menentukan pasien mana yang berisiko meninggal, mengalami kecacatan atau memburuk keadaan klinisnya apabila tidak mendapat penanganan medis, dan pasien mana yang dapat menunggu.
"Kami melakukan triase itu kan karena sebuah sistem yang, yaitu tadi. Pasien datang terus menerus, tes tidak dilakukan," cerita dia.
Tri yang juga akrab disapa Maha, bercerita pada Januari lalu sempat menemukan pengalaman serupa. Salah seorang rekan dokternya yang merupakan spesialis THT di salah satu rumah sakit di wilayah Kediri, Jawa Timur dinyatakan positif Covid-19.
Menurut pemahamannya, setiap pihak yang telah berkontak erat dengan dokter tersebut harus dilakukan pengetesan RT-PCR. Tak terkecuali terhadap istrinya.
Maha pun sudah paham aturan bahwa pemerintah wajib melakukan testing dan tracing (pelacakan) terhadap pihak-pihak yang berkontak erat dengan pasien tersebut.
Hanya saja, lanjutnya bercerita, Dinas Kesehatan di Kota Kediri tak mau melakukan tes PCR kepada istri dokter THT tersebut dengan alasan dapat dilakukan isolasi mandiri secara ketat.
Kondisi tersebut, kata dia, seringkali ditemukan tak hanya di Jawa Timur namun di tempat-tempat lain. Di mana, pemerintah setempat tak melakukan prosedur 3T secara akurat. Alhasil, kasus-kasus positif pun tak terlacak.
"Padahal mereka tidak tahu batas isoman ketat bagaimana. Hari itu, akhirnya kami memutuskan untuk PCR mandiri dengan uang sendiri. Meskipun tenaga kesehatan kontak itu kan dibayar pemerintah untuk PCR-nya," tutur Maha.
Setelah dilakukan tes PCR, ternyata hasilnya positif. Maha yang kini turut bekerja sebagai peneliti di Litbangkes Kemenkes pun merasa geram karena hal tersebut bisa terjadi kepada banyak orang yang mungkin tak memiliki biaya untuk melakukan tes PCR secara mandiri.
Di samping itu, kondisi tersebut juga memperparah kesehatan pasien karena tak terlacak dan mendapat penanganan secara baik. Berpikir lebih jauh, peristiwa-peristiwa semacam itulah yang membuat pasien dengan kondisi terlanjur parah baru mendapat perawatan hingga akhirnya mungkin tak terselamatkan.
"Jadi jangan biarkan tenaga medis ini akhirnya membuat keputusan-keputusan yang seperti itu. Mereka kalau buat keputusan itu kan keputusan yang berat gitu loh," ujarnya.
Kini, Maha sudah terlanjur geram. Banyak kondisi yang membuat pandemi semakin parah di Indonesia.
Mulai dari pihak-pihak yang meraup keuntungan selama pandemi. Baik itu dari penjualan obat, oksigen, bahkan hingga alat-alat kesehatan yang diperlukan untuk menangani pasien.
Belum lagi, saat ini juga semakin banyak tenaga kesehatan yang terpapar virus Covid-19 ini. "Tenaga kesehatan kami ini sudah dikit mas," ucap Tri menceritakan kegelisahannya terkait rekan sejawat.
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) mencatat sebanyak 1.031 tenaga kesehatan yang menangani pasien terpapar virus corona (Covid-19) di Indonesia meninggal dunia akibat terinfeksi covid-19.
Sekretaris Jenderal Persi Lia Gardenia Partakusuma mengatakan data itu didapatkan dari kumulatif data Persi, Asosiasi Puskesmas se-Indonesia (Apkesmi), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) per 28 Juni 2021.
Rincian tenaga kesehatan yang meninggal yakni 405 dokter, 328 perawat, 160 bidan, 43 dokter gigi, dan 95 tenaga kesehatan lainnya.
Saat ini, Maha pun hanya berharap agar tenaga kesehatan mendapat perlakuan dan perlindungan yang lebih baik dari pemerintah ataupun otoritas setempat.
Perlindungan, kata dia, dapat diberikan dari berbagai hal. Mulai dari kebijakan tepat guna, fasilitas yang mumpuni, perlindungan secara langsung dari pasien-pasien ataupun keluarga yang menggerutu kepada nakes.
"Itu mereka (nakes) hectic loh, apalagi ketika keluarga pasien berebut minta didahulukan," ungkapnya.