Kuala Lumpur, CNN Indonesia --
Kepindahan saya ke Malaysia seharusnya berlangsung pada bulan Mei tahun 2020. Namun karena pandemi virus Corona sedang melanda dunia, akhirnya visa kerja saya baru bisa diproses setahun berikutnya. Jadi setelah satu tahun menunggu sembari mengurus dokumen, akhirnya saya bisa juga merasakan mengadu nasib di Negeri Jiran.
Di Malaysia saya bermukim di ibu kotanya, Kuala Lumpur. Ini bukan kali pertama saya ke sini, karena sebelumnya saya sempat beberapa kali datang sebagai turis.
Merantau ke luar negeri selama pandemi Covid-19 tentu saja memberi pengalaman baru. Selain harus membiasakan diri hidup dengan karakter penduduk asli dan aturan pemerintahnya, saya juga harus memahami aturan protokol kesehatan yang ditetapkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Malaysia terbilang tegas dalam hal protokol kesehatan, dan yang paling terasa ialah keberadaan petugas keamanan yang mengecek aktivitas orang di jalanan selama Movement Control Order (MCO/pembatasan pergerakan). Saya harus membawa dokumen perjalanan jika harus ke luar rumah, baik ke kantor atau saat ke supermarket.
Penduduk Malaysia mau tidak mau harus di rumah saja selama MCO. Pusat keramaian, seperti Bukit Bintang atau Jalan Alor yang biasanya ramai oleh pengunjung yang wisata kuliner, kini sepi karena makanan tidak boleh dinikmati di tempat.
Walau aktivitas penduduk sangat dibatasi, namun saya mengacungkan jempol kepada pemerintah Malaysia yang sangat berkomitmen dalam menekan angka penularan virus Corona di negaranya. Mal ditutup, kantor wajib memberlakukan bekerja dari rumah (work from home/wfh) sebanyak 80 persen dari pegawainya.
Tempat bisnis esensial, seperti supermarket dan apotek, hanya beroperasi hingga pukul 20.00. Sementara transportasi umum hanya sampai pukul 21.00.
Sama seperti Indonesia, Malaysia juga sedang gencar melakukan program vaksinasi. Hingga saat ini tercatat hampir setengah penduduk sudah selesai vaksin. Warga negara asing juga diberi kemudahan vaksin.
Pendaftaran vaksin dilakukan melalui aplikasi 'mysejahtera'. Tak hanya itu saja, aplikasi ini juga wajib dimiliki penduduk yang ingin bepergian, karena ada fitur pelacakan melalui barcode yang harus dipindai untuk masuk sebuah tempat atau naik angkutan umum.
Dalam aplikasi tersebut ada status resiko terpaparnya seseorang dengan virus Covid-19, baik low (rendah) atau high (tinggi). Status tersebut juga menentukan boleh atau tidaknya kita masuk ke sebuah tempat atau naik angkutan umum.
Kalau berbicara mengenai bedanya penanganan virus Corona antara Malaysia dan Indonesia, mungkin sistem ini yang belum efektif diterapkan di Tanah Air.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Pengalaman bekerja di Malaysia
Sayangnya setibanya saya di Malaysia, saya harus menjalani wfh, sehingga interaksi dengan teman-teman di kantor baru masih sangat minim dan hanya terbatas rapat virtual.
Namun, ada satu hal yang mungkin perlu diketahui juga untuk pembaca CNNIndonesia.com jika ingin kerja di Malaysia: potongan pajaknya akan cukup tinggi.
Ekspatriat yang bekerja di Malaysia selama kurang dari 182 hari digolongkan sebagai "bukan penduduk" untuk tujuan pajak. Jadi pada enam bulan pertama, kita akan dikenai pajak sebesar 30 persen dari total gaji yang kita dapatkan dan perusahaan tidak menanggung itu.
Walau pajak tersebut nantinya bisa diklaim kembali, tetap saja sangat rumit mengatur keuangan di enam bulan pertama tersebut.
Urusan sewa apartemen juga cukup memusingkan, karena harus menyimpan deposit yang cukup tinggi di awal, yaitu sebesar 2,5 dikalikan biaya sewa per bulan nya. Misal biaya sewa nya 1000 Ringgit, berarti nanti kita harus menyimpan deposit 2,5 x 1000 = 2500 ringgit.
Meski demikian, perusahaan biasanya sangat perhatian dengan kesehatan karyawannya. Saat mendarat, saya langsung karantina di hotel, yang biayanya ditanggung oleh kantor. Asuransi kesehatan juga sangat bisa diandalkan.
Selain ingin tantangan baru, sebenarnya kepindahan saya ke Malaysia juga karena faktor percintaan hehe...
Saat masih di Jakarta, saya menjalin hubungan dengan pria asal Mesir yang bekerja di Malaysia. Kami bertemu di Negeri Jiran saat saya sedang bertugas dari kantor. Setelah satu tahun menjalin hubungan jarak jauh, saat ini kami bisa bertemu di negara yang sama, sangat senang rasanya.
Sudah di luar negeri bukan berarti saya tidak rindu lagi dengan Indonesia. Jujur saja, setelah dua bulan pertama tinggal di sini, saya sangat kangen akan keberadaan jajanan kaki lima khas Bandung, kampung halaman saya.
Saya tinggal di pusat kota, jadi jarang melihat kios pedagang kaki lima. Mungkin setelah lockdown dilonggarkan saya akan keliling untuk wisata kuliner. Plus, saya ada rencana untuk menjelajahi Pulau Semporna di Sabah. Melihat foto dan videonya, pemandangan di sana sangatlah indah.
 Sepi mal di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 1 Juni 2021. (REUTERS/LIM HUEY TENG) |
Tips merantau di Malaysia
Sebenarnya 'culture shock' tidak terlalu terasa di Malaysia, karena karakter budaya, bahasa sampai cuacanya kurang lebih sama dengan Indonesia.
Namun datang ke Malaysia sebagai pelajar atau pekerja akan sangat berbeda ketimbang saat menjadi turis, karena saat kita berada di satu institusi kita akan bertemu dengan beragam karakter orang. Bukan hanya penduduk asli, namun juga sesama ekspatriat.
Karena ramai ekspatriat, kemampuan berbahasa Inggris yang baik sangatlah diperlukan. Begitu juga dengan cara bekerja yang disiplin.
Saat ini Malaysia belum membuka lebar perbatasannya untuk pengunjung asing, jadi mungkin perlu bersabar sedikit untuk bisa mendaftar atau melamar ke sini.
Saya berharap pandemi virus Corona bisa segera berlalu, sehingga pembaca CNNIndonesia.com bisa berkunjung ke Malaysia, begitu juga dengan saya yang bisa pulang kampung bertemu keluarga dan teman di Indonesia.
---
Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Tulisan yang dikirim minimal 1.000 kata dan dilengkapi minimal tiga foto berkualitas baik yang berhubungan dengan cerita. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, silakan hubungi [email protected]
Di tengah pandemi virus Corona, perjalanan wisata masih dikategorikan sebagai perjalanan bukan darurat, sehingga sebaiknya tidak dilakukan demi mencegah penyebaran dan penularan Covid-19, terutama di daerah yang masih minim fasilitas kesehatannya.
Jika hendak melakukan perjalanan antarkota atau antarnegara, jangan lupa menaati protokol kesehatan pencegahan virus Corona, dengan mengenakan masker, mencuci tangan, serta menjaga jarak fisik antarpengunjung. Jangan datang saat sakit dan pulang dalam keadaan sakit.