Siena, CNN Indonesia --
Tanggal 11 Juli jatuh pada hari Sabtu, tapi ada yang spesial pada hari tersebut: Italia akan menghadapi Inggris untuk final piala Euro 2020 (Euro 2021).
Walaupun kemampuan tim Azzuri sudah tidak diragukan lagi, kegagalan Italia untuk ikut di piala dunia 2018 sempat menjadi merupakan pukulan besar.
Biasanya Italia dan sepak bola merupakan dua hal yang tak terpisahkan, tapi piala Eropa kali ini sedikit berbeda. Italia dihantam keras oleh COVID-19 di tahun 2020 dan merupakan salah satu negara dengan tingkat infeksi dan kematian tertinggi di Eropa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lockdown yang mendominasi tahun 2020 mengakibatkan banyak perubahan dalam kehidupan sehari-hari. Pertandingan sepak bola dalam negeri dihentikan secara total. Masyarakat yang terbiasa nonton bola juga terpaksa "gantung sepatu".
Italia mulai melihat optimisme di bulan Juni 2021. Italia percaya diri bahwa COVID-19 sudah dalam kendali.
Benar saja, tak terasa angka vaksinasi sudah mencapai lebih dari 60 persen. Dengan adanya COVID Green Pass, pariwisata mulai mengalir dan kami kembali ke kehidupan normal.
Perlahan satu demi satu restriksi diangkat, mulai dari jam malam, tempat bisnis, acara kumpul-kumpul, kembali dibolehkan. Dan masker sudah tidak lagi menjadi kewajiban.
Di tengah optimisme yang mulai menjalar di penjuru Italia, mereka memenangkan kontes nyanyi Eurovision 2021. Pertama kalinya setelah tahun 1990. Harapan dan ekspektasi memenuhi langit Negara Pizza.
Tentu saja COVID-19 belum selesai. Berita tentang varian Delta dari Inggris membuat orang-orang Italia lebih berhati-hati, meski tidak seperti tahun lalu.
Sistem kesehatan Italia sudah kembali berdiri di kedua kaki, dan angka vaksinasi tinggi. Walaupun angka infeksi baru sudah mulai naik kembali, angka hospitalisasi dan kematian sudah terkontrol.
Tentu saja di bawah optimisme menyambut kembali kehidupan normal, ada duka yang tidak bisa diakhiri.
Romana, pemilik tempat penginapan yang saya kunjungi di Bergamo menceritakan, dengan wajah penuh horor, betapa mencekamnya tahun lalu.
"Kami di Bergamo ada di pusat bencana COVID-19 ini. Di depan rumah saat itu, ada ambulans lewat tiap 2 menit. Kematian yang terjadi tiap hari sangat banyak sampai-sampai selama beberapa hari ada truk yang dikirim ke sini untuk mengangkut jenazah. Mereka harus dikremasi di kota-kota lain karena di sini sudah penuh. Kami sendiri akhirnya menerima 3 dokter yang menginap selama 3 bulan di sini, gratis. Orang-orang di sini membuka pintu mereka supaya dokter-dokter dari tempat lain bisa membantu kami," kata Romana yang wajahnya terlihat sendu saat mengingat masa-masa tersebut.
"Tapi sekarang semuanya sudah baik-baik saja. Kita sudah melewati waktu sulit tersebut, dan sudah saatnya kita melihat ke masa depan," lanjutnya dengan tersenyum.
Luka tersebut tidak akan hilang, tapi benar kata Romana. Hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah untuk hidup dengan baik, untuk mereka yang sudah tidak bersama kita.
Optimisme orang Italia bukannya tidak berdasar. Sistem kesehatan nasional yang sifatnya universal berarti tidak ada orang yang perlu khawatir tentang biaya rumah sakit ataupun perawatan jika terkena COVID-19.
Vaksin sendiri sudah dapat diakses dengan bebas, tidak hanya untuk orang Italia tetapi juga untuk orang asing yang bahkan tidak membayar kontribusi ke system tersebut.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Saya sendiri sebenarnya bukan fans sepak bola. Selama periode piala Eropa sendiri pun, saya tidak terlalu mengikuti perkembangannya.
Di rute perjalanan pulang saya ke rumah dari kampus ada satu pintu yang selalu memasang update perihal situasi Italia di piala Eropa. Pintu tersebut dan kios surat kabar yang tersebar di penjuru kota merupakan satu-satunya sumber informasi saya tentang sepak terjang sepak bola Italia.
"Sabtu ini kita akan aperitivo dan nonton final. Siapa yang mau ikut, supaya bisa buat reservasi," kata salah satu kolega di grup pesan pendek kami.
Tentu saja saya tidak boleh melewatkan pengalaman amat berharga ini: berada di Italia dan menyaksikan mereka masuk final piala Euro.
Tradisi aperitivo, minum coktail dan makan makanan kecil sambil bersosialisasi, merupakan rutinitas saya dan teman-teman setiap akhir minggu. Walau saya kurang tertarik dengan sepak bola, hal ini tentunya adalah pengalaman budaya yang sangat berarti.
Pilihan kami jatuh di Bottega Roots, salah satu bar favorit kami di Via Pantanetto. Sayangnya kami hanya bersepuluh. Musim panas sudah tiba dan Siena menjadi kosong. Maklum, kota yang sepertiga populasinya adalah mahasiswa sangat terpengaruh dengan migrasi musiman yang disebabkan musim libur.
Setibanya di Bottega Roots, saya menemukan teman-teman sedang serius menatap layar televisi.
Beberapa orang yang hanya numpang lewat memutuskan untuk berhenti dan menonton dengan kami. Bahkan ketika saya berdiri sejenak untuk merenggangkan tubuh, seorang ibu-ibu menegur.
"Maaf nona, tapi saya tidak bisa lihat. Mohon jangan berdiri," katanya.
Walaupun saya adalah pelanggan yang membayar untuk duduk di meja tersebut, saya memutuskan untuk mengikuti permintaannya setelah melihat betapa serius wajah beliau mengikuti pertandingan.
Posisi 1-0 yang dipimpin Inggris dalam 2 menit pertama membawa suasana serius. Pekerja-pekerja di bar tersebut kemudian berkerumun di depan televisi bersama kami dan beberapa pejalan kaki lainnya yang memutuskan berhenti.
Setiap pada kesempatan gol yang terlewat diikuti umpatan bertubi-tubi dari para penonton. Bukan hanya dari kerumunan kami, tetapi juga dari bar-bar lain di sepanjang jalan.
Waktu istirahat antar babak pun merupakan waktu istirahat buat kami, di mana gelas-gelas kosong diisi kembali dan para penonton merenggangkan badan. Benar saja, menonton pertandingan sepak bola merupakan olahraga nasional.
Italia berhasil mengejar ketinggalan di babak kedua. "Forza!", "Dai!", dan teriakan menyemangati mulai terdengar dari sepanjang jalan. Jika sebelumnya ketegangan disebabkan karena kekhawatiran karena Italia tertinggal, sekarang ada energi yang lebih kuat yang menyelimuti.
Babak kedua diakhiri dengan seri, yang berarti ada waktu tambahan. Pertandingan mulai menyebabkan frustrasi karena gol yang diharapkan tidak kunjung terjadi.
Beberapa orang Italia di sekeliling kami mulai gelisah. Ketika diputuskan bahwa akan ada adu penalti, ketegangan yang mulai surut di babak sebelumnya kembali naik. Semua ponsel diletakkan di meja, dan pandangan dipusatkan ke layar televisi kembali. Ini adalah saat-saat yang ditunggu.
Hingga kesempatan penalti terakhir, Italia gagal menyarangkan gol, yang membuka kesempatan bagi Inggris untuk mencapai seri.
Waktu terasa melambat Bukayo Saka menjadi penentu akhir pertandingan tersebut. Ketika tendangan dilemparkan, semua orang menahan napas dalam hening. Seakan bunyi detik jam bisa terdengar. "Dai Gigi" bisik salah satu penonton, menaruh harapan di Gianluigi Dunnarumma.
Benar saja, gol tersebut dihadang dengan berhasil dan Italia memenangkan piala Eropa.
Teriakan gembira pecah di penjuru kota, dan semua orang melompat kegirangan. Tanpa terkecuali, para penonton saling berpelukan dengan tangisan bahagia.
"Poo po po po pooo po" mulai terdengar, tidak hanya dari Siena tapi juga dari televisi. Ritme bass 'Seven Nation Army' oleh The White Stripes memang sudah diadopsi oleh supporter time nasional Italia di penjuru dunia sebagai lagu tema.
Perayaan tersebut tidak reda. Beberapa suporter melewati kami dengan vespa dan bendera Italia "Abbiamo vinto!" teriak mereka. Kita menang!
Perayaan di Siena berpusat di Piazza del Campo. Kami segera berpindah, dan menemukan pemandangan yang tidak kami lihat di Siena dalam dua tahun terakhir ini.
Piazza del Campo dipenuhi massa dalam euforia. Bendera Italia dikibarkan, kembang api dan suar dibakar, drum mulai dimainkan dengan ritme 'Seven Nation Army', dan begitu banyak pelukan terlihat.
Bar-bar di piazza mulai tutup, tetapi senyuman dari para pelayan bar begitu kuat. Mereka tidak peduli dengan gelas-gelas plastik bekas aperitivo yang ditinggalkan. "Abbiamo vinto!" terdengar dari berbagai penjuru.
Selama beberapa jam, tidak ada pesan yang berhasil saya kirim. Jaringan internet mengalami overload karena begitu besar euforia. Kalau Siena yang cuma kota kecil dengan 55 ribu orang sudah seperti itu, bagaimana dengan kota-kota besar?
Kemenangan ini adalah hadiah penting untuk Italia. Mereka adalah negara pertama yang menang Eurovision dan Piala Eropa pada tahun yang sama.
Di tahun ini juga mereka berhasil memenangkan pergumulan melawan COVID-19, bangkit dari pukulan berat yang mereka hadapi di tahun sebelumnya.
Ini adalah tahun yang baik untuk Italia, dan optimisme untuk masa depan yang lebih baik merebak di sudut-sudut negara ini.
Bagi saya, ini pengalaman tidak terlupakan. Melihat semangat manusia menang melawan keputusasaan yang menyelimuti.
"Andra tutto bene", semuanya akan baik-baik saja, seperti mantra yang kami bisikkan setiap hari di tahun lalu.
---
Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Tulisan yang dikirim minimal 1.000 kata dan dilengkapi minimal tiga foto berkualitas baik yang berhubungan dengan cerita. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, silakan hubungi [email protected]
Di tengah pandemi virus Corona, perjalanan wisata masih dikategorikan sebagai perjalanan bukan darurat, sehingga sebaiknya tidak dilakukan demi mencegah penyebaran dan penularan Covid-19, terutama di daerah yang masih minim fasilitas kesehatannya.
Jika hendak melakukan perjalanan antarkota atau antarnegara, jangan lupa menaati protokol kesehatan pencegahan virus Corona, dengan mengenakan masker, mencuci tangan, serta menjaga jarak fisik antarpengunjung. Jangan datang saat sakit dan pulang dalam keadaan sakit.