Memiliki kulit yang bersih dan terawat tentu menjadi dambaan setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan. Untuk itu, diperlukan perhatian dan perawatan untuk dapat memiliki kulit yang didambakan salah satunya melalui konsultasi dengan dokter.
Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin dari Erha Clinic, dr. Margaretha Indah Maharani, SpKK, FINSDV menjelaskan seseorang memerlukan pertolongan dokter Spesialis Kulit dan Kelamin (SpKK) ketika tidak memiliki cukup pengetahuan untuk memperbaiki kondisi kulitnya (termasuk rambut dan kuku). Tak hanya itu, Anda juga bisa berkonsultasi dengan dokter SpKK ketika memiliki masalah pada kulit yang tidak dapat diselesaikan sendiri dengan skincare ataupun obat yang dapat dibeli bebas.
dr. Margaretha menjelaskan saat pasien berkonsultasi, dokter akan melakukan assessment untuk mengetahui kondisi kulit seseorang. Prosesnya berjalan melalui tanya jawab latar belakang keadaan dan pemeriksaan secara fisik. Menurutnya, apabila diperlukan dokter juga bisa melakukan pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan laboratorium.
Berdasarkan assessment tersebut, akan didapatkan diagnosis untuk menentukan penanganan yang sesuai dengan kondisi pasien. Penanganannya pun bisa beraneka ragam dan bergantung pada keadaan pasien.
"Sifatnya sangat individual dan situasional. Artinya, kebutuhan setiap individu berbeda satu sama lain dan sifatnya spesifik bergantung keadaan dari waktu ke waktu. Jika pasien memiliki masalah pada kulitnya, maka akan dilakukan pengobatan yang diperlukan berupa tindakan tertentu (treatment), obat-obatan baik yang dioleskan ataupun yang perlu diminum atau disuntikan, dan skin care penunjang yang bertujuan mencapai keberhasilan pengobatan," jelas dr. Margaretha dalam keterangan tertulis.
dr. Margaretha juga menanggapi adanya isu krim/obat yang diberikan dokter menggunakan bahan keras dan berbahaya. Ia memaparkan, dalam menangani pasien khususnya saat memberikan krim/obat, dokter selalu menjunjung salah satu isi dari Sumpah Dokter yang berbunyi 'Primum non nocere'. Terjemahan isi Sumpah Dokter tersebut dalam Bahasa Inggris ialah 'First, do not harm' atau dalam Bahasa Indonesia berarti 'Pertama, jangan merugikan'.
"Obat yang diberikan oleh dokter pada prinsipnya tidak boleh merugikan, apalagi membahayakan. Yang mungkin terjadi di lapangan adalah, adanya miss-used dari obat-obatan tersebut yang pada akhirnya menimbulkan efek samping," jelasnya.
Untuk itu, ia mengingatkan kepada masyarakat bahwa pemberian obat dari dokter, termasuk obat yang diracik, harus selalu di bawah pengawasan dokter yang memberikan resep tersebut. Sebab, hal ini penting untuk mengevaluasi keberhasilan dan tujuan terapi serta mengevaluasi efek samping yang mungkin terjadi.
Lebih lanjut, ia menjelaskan krim dokter yang sering diresepkan pada pasien merupakan obat topikal yang perlu diracik di apotek. Menurutnya, krim dokter memiliki prinsip kerja yang sama seperti pengobatan secara umum, yaitu menolong pasien sesuai dengan kondisinya.
Ia menyebutkan resep racikan dari dokter dibuat secara spesifik untuk mempermudah serta memperingkas cara pemakaian obat bagi pasien. Sehingga pasien tidak perlu mencampur atau menggunakan beberapa jenis obat.
Ia pun menyebutkan tujuan lain pemberian krim dokter pada pasien, yakni untuk meningkatkan efektivitas suatu pengobatan dengan menambahkan beberapa zat aktif, yang jika dipisah-pisah akan membutuhkan usaha lebih bagi para pasien.
Untuk membuat resep racik ini, lanjutnya, dokter juga tidak boleh sembarangan. Seorang dokter harus berbekal ilmu dasar farmakologi dan mengetahui reaksi dan interaksi berbagai zat aktif yang digunakan agar racikan obat maupun krim yang dihasilkannya aman.
"Ilmu kedokteran berkembang dari waktu ke waktu dan banyak terobosan pengobatan telah dilakukan. Dokter akan memberikan pengobatan yang terbaik sesuai kondisi pasien dan telah membekali diri dengan ilmu tentang pengobatannya dan jangka waktu yang diperlukan. Masing-masing penyakit memiliki standar pengobatannya, dan penerapan di lapangan memerlukan assessment dokter untuk menilai kondisi masing-masing pasien. Di situlah seni pengobatan dokter," imbuhnya.
dr. Margaretha menyebutkan obat/krim yang diresepkan dokter bertujuan untuk mengobati dan menyelesaikan masalah pasien. Penggunaannya harus melalui evaluasi dalam waktu tertentu oleh dokter secara langsung dan dapat dihentikan ketika pasien telah dinyatakan sembuh oleh dokter yang merawat.
Menurutnya, seseorang tidak boleh menggunakan obat dokter secara terus menerus jika masalah telah terselesaikan.
"Oleh karena itu perlu komunikasi antara dokter-pasien mengenai hasil terapi dan kemajuannya serta rencana tata laksana ke depannya," tuturnya.
Melalui komunikasi yang baik antara dokter dan pasien, ia berharap pasien dapat mengerti gambaran umum dan tahap pengobatan yang dilakukan. Juga bisa menyampaikan feedback hasil terapi dan apa yang dialaminya.
Pada kondisi tertentu, resep dokter juga dapat dihentikan jika timbul efek samping seperti rasa gatal, perih, kemerahan pada kulit, atau beruntusan di kulit. Sebaliknya, saat kondisi kulit sudah membaik, pengobatan bisa saja diubah dan disesuaikan dengan kondisi terakhir pasien.
"Pengobatan yang bersifat kuratif dapat dihentikan ketika masalah telah selesai.Resep dokter tidak boleh digunakan berulang-ulang tanpa pengawasan dokter. Hal ini dapat merugikan diri sendiri," tegasnya.
Ia pun menerangkan pada pasien dengan masalah kulit dan kondisi tertentu, sering kali dokter perlu melakukan maintenance yang bersifat preventif dan promotif. Caranya, dengan mencegah timbulnya masalah kulit yang sama dan meningkatkan kualitas kulitnya.
"Misalnya, pada keluhan kulit dengan flek kehitaman di wajah. Setelah melakukan pengobatan flek hitamnya, maka pasien perlu merawat kulitnya dan melakukan proteksi tertentu sesuai anjuran dokter untuk mencegah kekambuhan. Tentu saja pengobatan kuratif berbeda dengan usaha preventif dan promotif oleh sebab itu tidak boleh menggunakan krim resep dokter berulang-ulang tanpa kontrol," ujarnya.
Terkait efek samping krim/obat dokter yang digadang-gadang menyebabkan ketergantungan dan breakout saat berhenti dipakai, dr. Margaretha meluruskan bahwa istilah breakout sering dipakai untuk kondisi jerawat yang muncul dalam jumlah cukup banyak setelah penggunaan obat/skin care tertentu atau setelah penghentiannya.
"Jerawat sendiri adalah suatu masalah kulit yang timbul akibat kondisi kulit yang berminyak sehingga terjadi sumbatan sebum. Oleh karena itu, pada masalah jerawat, tata laksananya tidak hanya berhenti pada pengobatan (kuratif) jerawat, namun perlu melakukan usaha preventif (mencegah jerawat) dan promotif (meningkatkan kualitas kesehatan kulit)," katanya.
Menurutnya, usaha preventif dan promotif ini memerlukan jangka waktu yang relatif panjang khususnya pada orang-orang yang memiliki jenis kulit berminyak dan tipe acne prone skin. Sebab, selama penyebab (kulit berminyak) selalu ada, potensi jerawat juga akan ada. Sehingga, masalahnya bukan pada ketergantungan obat itu sendiri.
Oleh karena itu, ia menjelaskan pengobatan jerawat biasanya memerlukan waktu untuk penyembuhan (kuratif), lalu dilanjutkan dengan maintenance untuk mencegahnya.
dr. Margaretha pun menjelaskan hasil terapi pasien memerlukan pengawasan dan evaluasi dalam jangka waktu yang berbeda-beda bergantung kondisi masing-masing.
"Oleh karena itu penting melakukan kontrol dokter supaya didapatkan hasil pengobatan sesuai yang diharapkan. Tanpa evaluasi dan terapi lanjutan, ada kemungkinan usaha pengobatan sebelumnya tidak mencapai ekspektasi ataupun menjadi sia-sia," pungkasnya.
(adv/adv)