Untuk menentukan kualitas cokelat, harus ada proses panjang yang dilewatinya.
Sebelum menjadi pemakan cokelat profesional, Tiwie sudah bekerja sebagai professional chef selama 20 tahun. Selama itu, ia hanya mengenal bahan baku cokelat yang sudah jadi tanpa paham bagaimana prosesnya.
Sampai akhirnya, lima tahun terakhir perusahaan tempatnya bekerja, Mason Adventure, mengembangkan usaha ke bidang pembuatan cokelat dari bean ke bar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tiwie pun diberi tanggung jawab sebagai kepala produksi untuk Mason Chocolate, mulai dari mencari biji kakao terbaik hingga menentukan resep.
"Begitu terjun bikin cokelat langsung dari biji, itu kayak spesialis di kedokteran. Masalah cokelat dari hulu ke hilir itu banyak sekali parameter yang harus diperhatikan. Jadi untuk menjadi seorang pencicip cokelat profesional, dari hulu ke hilir, - tidak harus mendalam - tapi setidaknya mengerti dasar-dasarnya. Jadi ketika melakukan penilaian, cukup adil," tuturnya.
Dengan tanggung jawab yang dimiliki, dia pun berupaya mempertajam kemampuannya mengenai cokelat dengan mengambil sertifikasi Professional Chocolate Sensory Analyst pada Juni lalu lewat Chocolate Alliance di Amerika Serikat secara online.
Menurutnya, siapa pun bisa mengambil sertifikasi seperti dirinya, tapi tentu perlu paham mengenai cokelat, bukan sekadar suka dan doyan cokelat.
Sebelum memperoleh gelar ini, Tiwie sendiri sempat mengikuti pelatihan di Italia dan mengambil sertifikasi sebagai seorang Chocolate Maker.
![]() Ilustrasi cokelat |
Saat mendalami tentang cokelat di Italia, Tiwie merasakan kepahitan pertama tentang cokelat Indonesia. Indonesia hanya dikenal sebagai pemasok biji kakao terbesar ketiga, tapi hanya dari segi kuantitas belum kualitas.
"Kakao indonesia tidak difermentasi secara baik, jadi habis dipanen, dikeringkan langsung dijual untuk kebutuhan industri," katanya.
"Sementara kalau artisan cokelat hanya menggunakan biji kakao yang difermentasi secara baik dan utuh, karena dari sana lah, flavour note-nya muncul. Jadi kalau tidak difermentasi hanya sebagai biji pahit getir sepet enggak karuan, enggak ada rasa apa-apa," tambah Tiwie.
Fakta pahit itu lantas membuka mata Tiwie. Ia bergegas pulang membawa PR serta tekad mengembangkan industri cokelat di Indonesia.
Pasalnya, jika mau konsisten dan berkomitmen, Indonesia punya potensi untuk menjadi penghasil biji kakao serta cokelat berkualitas.
Tiwie bahkan yakin Indonesia bisa menjadi Belgia-nya Asia.
"Mimpinya ingin ramai-ramai bareng chocolate maker, supaya bisa unjuk gigi cokelat artisan buatan Indonesia. Kalau bisa jualnya jangan langsung biji, tapi cokelat saja jadi bahan bakunya diolah di sini. Kita menjadi Belgia-nya Asia," ungkapnya.
Untuk itu, dia mengajak para chocolate maker di Indonesia untuk bersatu mendukung petani dengan menghargai biji kakaonya dengan baik sehingga mereka termotivasi menghasilkan fermentasi yang baik juga.
Persoalan persaingan, menurutnya perlu dikesampingkan, karena masalah resep pasti punya gayanya sendiri-sendiri.
"Saya sampaikan ke kementerian, kenapa enggak jadi Belgia-nya Asia, biji kita punya dari Sabang sampai Merauke, kalau produksi dengan baik dan benar flavour-nya beda-beda, jadi seru," ujar Tiwie.
Dia menambahkan, "Kalau bisa dikembangkan kayak di Belgia, satu rumah tangga punya resep sendiri, kan seru jadi berapa sektor tuh yang diuntungkan, sektor pertanian, pariwisata, UMKM, devisa, itu cita-cita. Perlu saling support dari pemerintah, chocolate maker, dan perusahaannya."
Terlepas dari impian unjuk gigi cokelat Indonesia di mata dunia, jauh Tiwie juga mengutarakan kelak ingin memiliki merek cokelat sendiri, bak Willy Wonka.
"Amin kalau kayak Willy Wonka, 'Tiwie Wonka,'" jawabnya sambil tertawa.
(chs)