Desmond Tutu, seorang Uskup Agung berkulit hitam pertama di Afrika Selatan, meninggal dunia di usia 90 tahun. Dia dimakamkan dengan proses aquamation. Apa itu?
Kabar kematian Tutu disampaikan langsung oleh Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa pada Minggu (26/12) lalu. Salah satu yang menjadi sorotan adalah proses pemakaman Tutu dilakukan dengan cara aquamation.
Proses ini merupakan permintaan Tutu sebelum meninggal dunia karena dianggap sebagai cara yang lebih ramah lingkungan daripada kremasi biasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut laporan CNN, aquamation adalah proses kremasi tanpa api, melainkan berbasis air. Nama ilmiah proses ini adalah hidrolisis alkali, di mana kombinasi aliran air yang lembut, suhu, dan alkalinitas digunakan untuk mempercepat pemecahan bahan organik ketika tubuh diistirahatkan di tanah.
Proses aquamation disebut menggunakan 90 persen lebih sedikit energi daripada kremasi dengan api. Bahkan Bio-Response Solutions, sebuah perusahaan Amerika Serikat yang mengkhususkan diri dalam proses tersebut mengatakan, aquamation tidak memancarkan gas rumah kaca yang berbahaya.
Asosiasi Kremasi Amerika Utara (CANA) menyebut, hidrolisis basa atau aquamation juga terkadang disebut sebagai kremasi tanpa api.
Saat proses ini dilakukan, jenazah akan ditempatkan dalam mesin hidrolisis alkali yang terdiri dari ruang kedap udara dan diisi dengan larutan yang terbuat dari air dan bahan kimia alkali.
Ruangan itu kemudian dipanaskan, mencairkan tubuh dan hanya menyisakan tulang. Setelah tulang kering proses penghalusan bisa dilakukan.
"Proses ini menghasilkan sekitar 32 persen lebih banyak sisa kremasi daripada kremasi berbasis api dan mungkin memerlukan guci yang lebih besar," menurut CANA.
Tutu yang juga peraih Nobel Perdamaian dikenal begitu mencintai lingkungan. Semasa hidupnya dia banyak berpidato dan menulis artikel tentang perlunya bertindak untuk mengatasi krisis iklim.
Pada 2007, dia menulis sebuah artikel berjudul "This Fatal Complacency" untuk Guardian, di mana dia membahas dampak yang mengkhawatirkan dari perubahan iklim di Global South dan pada komunitas miskin, karena sebagian besar Amerika Utara dan Eropa belum menghadapi cuaca ekstrem.
Selain meminta alternatif ramah lingkungan untuk kremasi tubuhnya, Tutu juga mengambil langkah lain untuk memastikan upacara pemakamannya digelar sesederhana gaya hidupnya.
Jenazah Tutu dibaringkan dalam peti mati pinus sederhana, yang menjadi peti termurah dalam proses pemakaman. Ini juga dilakukan sesuai dengan keinginan Tutu semasa hidupnya.
(tst/agn)