Hati-hati, Sabotase Diri Berkedok 'Self Love'
Buat penyanyi dan musisi Cantika Abigail, tahun 2020 jadi tahun yang begitu berkesan. Untuk kali pertama dia berani mengabadikan kondisi dirinya yang mengalami psoriasis. Padahal, dia sudah didiagnosis psoriasis sejak 2011 lalu.
"Aku buka kamera dalam kondisi muka merah, enggak enak, aku enggak bisa lihat itu dengan nyaman. Tapi aku nekat foto, upload di media sosial. Orang lihat aku dengan keadaan seperti itu. Ternyata orang enggak segitu terganggunya [dengan foto itu] dan mengkritik," kata Cantika dalam gelaran BincangShopee 2.2 COD Sale, Rabu (26/1).
Hidup dengan psoriasis memang tidak mudah. Sebelum berkarier sebagai penyanyi solo, Cantika dikenal tergabung dalam kelompok vokal G.A.C. Tiap kali harus tampil di panggung, ia pun harus menjelaskan kondisinya ke penata gaya maupun juru rias sebab ia tak berani terbuka soal kondisinya. Ada rasa lelah, risih, tidak enak karena psoriasis tersebut.
Lihat Juga : |
Begitu pandemi, Cantika merasa didorong untuk lebih terhubung dengan diri sendiri. Melihat tanggapan orang akan kondisinya, ia menemukan bahwa pola pikir atau mindset-lah yang perlu dibenahi. Penyakit seharusnya tidak mendikte hidupnya.
"2020 itu tahun yang unik. Aku menemukan ternyata bisa ya aku senang masak, bangun pagi terus nyiram tanaman and it would make my day. Terus bisa lebih dengerin badan. Kayaknya udah cukup, ya tidur aja, malas-malasan, leyeh-leyeh, mengikuti sinyal badan. Ini jadi salah satu wujud mencintai diri aku sendiri," katanya.
Sampai sekarang, lanjut dia, perasaan naik dan turun tetap ada. Ada kalanya merasa tidak berharga, tidak dicintai, tetapi ini bukan suatu hal yang dibiarkan berlarut. Cantika biasanya menuliskan apa yang dirasakan, hal-hal yang disyukuri untuk terus mengingatkan dirinya bahwa selalu ada hal positif dan membuat diri ini layak dicintai.
Senada dengan Cantika, psikolog klinis Inez Kristanti berkata mencintai diri sendiri alias self love adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan akhir.
"Self love itu luas banget, itu sebuah payung besar. Bentuk mencintai diri sendiri itu misalnya, mendengarkan kebutuhan kita, bertanya ke diri sendiri sudah belum kebutuhannya terpenuhi, kita tahu batasan kita," kata Inez dalam kesempatan serupa.
Akan tetapi, orang kerap terjebak pada sabotase diri (self sabotage) hingga egois (selfish) tapi berkedok self love. Bagaimana bisa membedakannya?
Menurut Inez, pada hakikatnya self love dilakukan tanpa menyakiti atau merugikan diri sendiri dan orang lain. Konsep ini jelas berbeda dengan self sabotage dan selfish. Self sabotage kerap dilihat sebagai self love. Di permukaan, ini dilihat membawa dampak positif tetapi dalam jangka panjang, ternyata malah merugikan.
Dia mencontohkan, memberi diri sendiri apresiasi makan enak setelah kerja keras. Namun, makan enak di sini cenderung makanan tidak sehat, porsinya berlebihan dan bisa berdampak buruk dalam jangka panjang.
"Selfish itu merugikan orang lain sih enggak, cuma mikirin diri sendiri, enggak peduli orang lain bakal gimana, [enggak mikir] orang lain dirugikan enggak, yang penting kebutuhan aku terpenuhi," tutur Inez.
Kemudian, bagaimana dengan self reward?
Ini termasuk bagian dari self love di mana Anda memberikan diri sendiri apresiasi atau hadiah. Namun, Inez mengingatkan reward ini harus yang bermakna dan terencana. Hadiah yang bermakna berarti sesuatu yang memberikan manfaat atau dampak positif ke diri sendiri.
Kemudian, reward juga harus terencana. Misal, Anda memiliki target menyelesaikan tulisan, tetapi reward diberikan bukan tiap dua paragraf tulisan.
"Target besar ini kita pecah ke target kecil-kecil jadi lebih realistis misalnya, tidak menunda pekerjaan hari ini, ada to do list, lalu ditargetkan kapan selesai. Lalu tentukan kapan self reward-nya," ucap Inez.
(els/ptj)