Badan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) menyatakan bahwa studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga (Kementerian Kesehatan) pada 2020 menemukan hampir 70 persen dari 20 ribu sumber air minum rumah tangga yang diuji di Indonesia tercemar limbah tinja.
Kondisi tersebut turut menyebabkan penyebaran penyakit diare, yang merupakan penyebab utama kematian balita.
Pernyataan ini disampaikan oleh UNICEF bersamaan dengan peluncuran kampanye untuk sanitasi aman pada hari ini, Selasa (8/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam siaran pers, kampanye bertajuk #DihantuiTai ini bertujuan memberikan pemahaman kepada keluarga-keluarga Indonesia tentang sanitasi aman dan dampak pencemaran sumber air oleh tinja terhadap kesehatan masyarakat.
Melalui kampanye yang dilaksanakan secara daring ini, UNICEF menyerukan kepada rumah-rumah tangga Indonesia untuk memasang, memeriksa, atau mengganti tangki septiknya serta rutin menguras tangki minimal satu kali setiap tiga hingga lima tahun.
"#DihantuiTai mengambil inspirasi dari film dan acara televisi yang populer di kalangan masyarakat Indonesia. Di dalam kampanye ini, tim 'pemberantas tinja' memiliki misi menyelamatkan wilayah-wilayah yang dihantui oleh tinja," demikian keterangan UNICEF.
Sebagai bagian dari kampanye ini, UNICEF turut meluncurkan situs www.cekidot.org yang berisi kiat-kiat praktis bagi keluarga untuk memastikan keamanan tangki septik dan informasi kontak jasa pembersihan tangki.
"Sanitasi yang aman bisa mengubah kehidupan anak-anak dan membuka kesempatan untuk mereka mewujudkan potensi dirinya," ujar Perwakilan Sementara UNICEF Robert Gass.
"Sayangnya, ada begitu banyak anak yang tinggal di daerah-daerah terdampak sanitasi tidak aman dan hal ini mengancam setiap aspek pertumbuhan mereka."
Menurut UNICEF, Indonesia telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam meningkatkan mutu sanitasi dasar.
Namun, angka rumah tangga yang memiliki sarana toilet dengan sambungan tangki septik yang tertutup dan yang rutin membersihkan tangkinya minimal satu kali dalam lima tahun adalah kurang dari delapan persen.
Akibatnya, limbah tinja tidak terkelola dengan baik sehingga mencemari lingkungan dan sumber air sekitar.
Salah satu tantangan utama dalam meningkatkan akses ke sanitasi aman adalah kesadaran masyarakat yang rendah terhadap risiko kesehatan masyarakat akibat pengelolaan tangki septik yang tidak memadai dan frekuensi pengurasan tangki yang juga rendah.
Masih banyak keluarga belum memahami pentingnya menghubungkan toilet dengan sistem pembuangan dengan pipa atau bahwa tangki septik perlu dibersihkan secara berkala.
Saat ini, pemerintah Indonesia dilaporkan sedang menyusun peta jalan percepatan akses ke sanitasi yang dikelola secara aman dengan dukungan dari UNICEF dan beberapa mitra lain.
Selain itu, akan diselenggarakan konferensi tingkat tinggi (KTT) Sanitasi dan Air Minum Untuk Semua di Jakarta pada Mei mendatang
KTT ini akan dihadiri oleh para menteri yang bertanggung jawab atas urusan air, sanitasi, kesehatan, lingkungan hidup, dan perekonomian dari seluruh dunia untuk mendiskusikan percepatan akses kepada air minum, sanitasi, dan kebersihan.
"Masa pandemi meningkatkan perhatian terhadap pentingnya hidup di lingkungan yang bersih," kata Gass.
"Sanitasi yang tidak dikelola dengan baik bisa melemahkan daya tahan tubuh anak-anak sehingga menimbulkan dampak yang permanen, bahkan kematian. Melalui kampanye ini, kami harap akan makin banyak masyarakat Indonesia yang mau lebih berperan dalam mengelola sanitasi rumah tangga demi meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan anak serta keluarga mereka."
(agn)