IDI: Ganja Medis Bisa Jadi Alternatif Obat, Tapi Bukan yang Terbaik

CNN Indonesia
Rabu, 29 Jun 2022 15:00 WIB
Ketua Dewan Pertimbangan PB IDI Zubairi Djoerban mengatakan bahwa ganja medis bisa jadi alternatif pengobatan, tapi bukan yang terbaik.
Ilustrasi. Ketua Dewan Pertimbangan PB IDI Zubairi Djoerban mengatakan bahwa ganja medis bisa jadi alternatif pengobatan, tapi bukan yang terbaik. (AFP/MENAHEM KAHANA)
Jakarta, CNN Indonesia --

Belakangan, wacana mengenai legalisasi ganja untuk keperluan medis kembali ramai diperbincangkan. Klaim manfaat ganja untuk kesehatan pun turut menjadi sorotan.

Faktanya, ganja medis medis memang telah dilegalkan di sejumlah negara. Teranyar adalah negara tetangga Thailand, yang baru saja melegalkan ganja, termasuk diantaranya untuk keperluan medis, pada 9 Juni lalu.

Ketua Dewan Pertimbangan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zubairi Djoerban mengatakan bahwa ganja medis memang bisa menjadi pilihan atau alternatif pengobatan, tapi bukan yang terbaik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Belum ada bukti obat ganja lebih baik, termasuk untuk nyeri kanker dan epilepsi. Namun, ganja medis bisa menjadi pilihan atau alternatif, tapi bukan yang terbaik. Sebab, belum ada juga penyakit yang obat primernya adalah ganja," tulis Zubairi dalam cuitan Twitter-nya, Rabu (29/6). CNNIndonesia.com telah mendapatkan izin untuk mengutip cuitan tersebut.

Hingga saat ini, sejumlah studi telah mempelajari hubungan antara ganja dan kesehatan. Beberapa studi menyebutkan bahwa ganja bisa menjadi alternatif obat.

Namun, Zubairi mengingatkan bahwa masih banyak yang belum diketahui tentang tanaman ini. Bagaimana ganja berinteraksi dengan obat lain dan tubuh manusia juga belum diketahui dengan pasti.

Penggunaan ganja medis juga tidak berarti sepenuhnya aman. Jika penggunaannya tidak diatur secara ketat, lanjut Zubairi, ganja medis berpotensi disalahgunakan.

"Jika penggunaan tidak ketat, bisa terjadi penyalahgunaan yang menyebabkan konsekuensi kesehatan bagi penggunanya," ujar Zubairi.

Dalam dosis berlebih, penggunaan ganja juga diketahui bisa memberikan efek ketergantungan dan halusinasi.

Zubairi mengatakan, dosis yang dibutuhkan untuk tujuan medis biasanya jauh lebih rendah daripada untuk rekreasi.

"Yang jelas, saat pengobatan, pasien tidak boleh mengemudi. Kemudian THC [tetrahydricannabinol, senyawa pada ganja] dan CBD [cannabidiol] ini tidak boleh dipakai sama sekali [untuk] perempuan hamil dan menyusui," ujar Zubairi menegaskan.

Valeria Rivera, member of the self-managing NGO Mama cultiva (Mom grows), prepares medicinal cannabic oil with self-cultivated cannabis for an epileptic boy, at her home in Buenos Aires on November 19, 2020. - Argentina legalised the self-cultivation of cannabis for medicinal use and the sales of therapeutic oils in pharmacies, through a decree published on the official journal on November 12, 2020. (Photo by JUAN MABROMATA / AFP)Ilustrasi. Ganja medis disebut bisa menjadi alternatif pengobatan, meski bukan yang terbaik. (AFP/JUAN MABROMATA)

Hingga saat ini juga para ilmuwan juga belum mengetahui pasti cara aman mengonsumsi ganja. Yang jelas, menurut Zubairi, merokok ganja sama buruknya dengan mengisap tembakau. Yakni, merusak organ paru-paru dan sistem kardiovaskular.

Sebagai seorang dokter, Zubairi sendiri merasa harus mempertimbangkan penggunaan ganja dengan tepat, meski sejumlah studi telah menemukan manfaatnya. "Apakah ganja lebih aman daripada obat lain yang saya resepkan," ujarnya.

Menurutnya, banyak hal yang harus dijadikan pertimbangan. Mulai dari kemungkinan interaksi obat, efek sampingnya pada tingkat kecemasan, hingga risiko gangguan psikotik yang bisa dipicu oleh penggunaan ganja.

Yang jelas, tegas Zubairi, setiap obat memiliki potensi efek samping yang harus diminimalisasi, termasuk pada penggunaan ganja medis.

"Ketepatan dosis krusial untuk menjaga kondisi pasien sehingga mendapatkan efek obat yang dituju," pungkas Zubairi.

(asr)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER