Injit-injit Sumatera

Jernih air Sungai Bahorok di Bukit Lawang, Kabupaten Langkat, menyambut saya pada suatu siang, pertengahan Januari lalu. Cuaca cukup hangat dengan suhu berkisar 28 derajat celcius, sementara di malam hari temperaturnya turun menyentuh 20 derajat.

Aliran air sungainya yang hijau tosca dan deras mengundang saya untuk menceburkan diri, melepas lelah perjalanan 96 kilometer dari Kota Medan.

Puluhan kilometer yang harus ditempuh sebagai awalan petualangan selama satu bulan di tanah Batak.

Ya, saya memang satu bulan menjajal Sumatera Utara, karena provinsi ini bukan sekadar Danau Toba. Ada banyak kepingan ‘surga’ tersembunyi di pulau seluas 72.981 kilometer persegi tersebut. Mulai dari sejarah suku Batak, budaya, hingga alam yang memesona yang menjadi rumah bagi hewan-hewan langka dunia.

Kepingan surga itu tersebar di antara 33 kabupaten/kota yang ada di Sumatra Utara, dari bagian utara di perbatasan Aceh hingga ke bagian selatan di perbatasan Sumatra Barat.

Di atas kertas, perjalanan awal dari Kota Medan ke Bukit Lawang seharusnya singkat dan bisa ditempuh dalam dua jam, tapi jalan yang rusak, berlubang, dan penuh bebatuan membuat waktu lebih panjang. Jalanan mulus beraspal hanya terbentang sekitar 70 km dari Kota Medan.

Setelahnya, harus ekstra hati-hati dan selalu siap mengurangi pijakan gas. Apalagi, banyak warga setempat yang membiarkan hewan ternak mereka berkeliaran di jalanan, di pinggir hutan pohon sawit yang membentang sepanjang perjalanan.

Setibanya di penginapan, saya melemparkan tubuh di atas kasur empuk. Saya memilih Indra Valey Inn untuk menghabiskan beberapa malam di Bukit Lawang. Penginapan sederhana seharga Rp200 ribu per malam yang menawarkan pemandangan persis di samping Sungai Bahorok.

Lelah menggerogoti otot dan tubuh setelah mengangkat koper dan berjalan sejauh 1 km dari parkiran umum ke dalam gang penginapan di Jalan Bukit Lawang. Ya, memang, penginapan di Bukit Lawang, baik yang harganya puluhan ribu atau ratusan ribu rupiah, terletak di dalam gang, bersatu dengan deretan rumah-rumah penduduk. Persis seperti melewati gang-gang perkampungan di Jakarta. Bedanya, udara di sini benar-benar sejuk dengan riuh suara aliran deras sungai.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, saya memikul tas punggung berisi sebotol air 1,5 liter, camilan, baju hangat, baju ganti, dan peralatan pribadi. Bekal persiapan mendaki dan bermalam di rumah orang utan Sumatra di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

Saya menyewa jasa pemandu untuk trekking hari ini. Imran, sang pemandu lokal yang bertugas sudah menyambut saya dengan girang.

“Ini pertama kali saya bawa orang lagi setelah hampir 2 tahun tak ada tamu karena pandemi,” ujarnya lirih.

Sebelum menyusuri hutan, Imran meminta saya melumuri sepatu dan pergelangan kaki dengan air rendaman tembakau. Tujuannya, menghindari gigitan pacet, binatang penghisap darah sejenis lintah. Ia juga meminta saya melumuri tangan dengan lotion anti nyamuk. “Di sini, nyamuknya ganas kak,” katanya.

Kami pun memulai petualangan.

Belum sampai 30 menit kami berjalan, tiga orang utan menghampiri. Mereka adalah Pesek dan dua anak-anaknya. Menggemaskan. Mereka terduduk di atas pohon, hanya mengamati gerak-gerik kami yang sedang lewat. Imran melarang saya mendekat atau menyentuh, meskipun Pesek menunjukkan keramahan dan sepertinya tidak merasa terancam.

Menurut data resmi YLI dan SOCP (2005), populasi orang utan di TNGL mencapai 2.611 yang tersebar di tujuh wilayah sekitar. TNGL juga melindungi sekitar 39 badak Sumatra, 100 harimau Sumatra di ketinggian 2.000 mdpl, dan sekitar 160-200 gajah.

Dalam perjalanan ini saya juga menemukan monyet Sumatra. Rupanya unik dengan warna putih di bagian dada dan kepalanya. Posturnya pun lebih panjang bila dibandingkan monyet pada umumnya.

Setelah menyapa ‘penghuni’ TNGL, kami melanjutkan perjalanan, melintasi empat bukit setinggi 2.200 mdpl selama 6-7 jam dengan napas tersengal-sengal. Tak jarang saya meminta istirahat barang lima menit untuk sekadar mengelap keringat, menenggak air minum, atau mengambil napas panjang.

Mendekati hulu Sungai Bahorok, kami tiba di tenda semi permanen, tempat peristirahatan selanjutnya. Sangat sederhana memang, tapi tidur di bawah taburan bintang dengan berselimut hawa dingin tentu hal yang mewah bagi saya yang ‘anak kota’. Sebelum tidur, tentu saya mandi dulu di Sungai Bahorok. Ingat, jangan gunakan sabun atau sampo ya!

Selain Imran, ada seorang juru masak yang menemani kami. Tukang masak ini menyajikan rendang ayam, nasi hangat, dan sayur. Dimasak dengan alat paling sederhana: kayu bakar. Rasa makanannya, jangan ditanya. Dijamin, tak kalah dari restoran Padang favorit banyak orang.

Ia juga menyajikan ikan asap Ihan yang ditangkap langsung dari sungai, ikan yang kerap disajikan saat gelaran pesta Batak. Konon, seekor ikan Ihan seberat satu kilogram bisa dibanderol Rp300 ribu!

Keesokannya saya menikmati pagi dengan bermalas-malasan di atas matras, di dalam kantung tidur nyaris satu jam.

“Selamat pagi, mau teh atau kopi kak?” sambut Imran.

Rupa-rupanya ia sudah menyiapkan teh dan kudapan pagi, di atas bebatuan tak jauh dari tenda. Suara air sungai, burung, dan beberapa monyet dengan wajah memelas berharap makanan yang menemani sarapan pagi kali ini.

Sekitar pukul 10.00 WIB, Imran dan juru masak mulai bersiap-siap. Kami semua akan kembali ke penginapan di Bukit Lawang dengan menumpang ban dan berarung jeram (tubing) menyusuri sungai.

Iya, menyusuri sungai sejauh sekitar 3-4 kilometer..

Mengejar Anak Gajah
di Tangkahan

Dari Bukit Lawang, saya bergeser 40 km ke Tangkahan. Tangkahan ini masih masuk wilayah TNGL. Kabupatennya pun masih sama, Langkat. Dari Bukit Lawang ke Tangkahan, perjalanannya boleh dibilang lebih parah. Jalanan rusak, tanah basah, berlubang, berbatuan akan mewarnai lebih dari separuh jarak tempuh.

Namun, perjalanan tidak mulus itu akan terbayar ketika Anda sampai. Apalagi, jika Anda punya kocek lebih untuk tinggal di penginapan private di samping pertemuan Sungai Buluh dan Sungai Batang Serangan.

Saya memilih berhemat dengan tinggal di penginapan murah. Yang terpenting bagi saya adalah bermain dengan gajah-gajah Sumatra di Konservasi Gajah Tangkahan.

Beruntungnya, hari itu, Sabtu (26/1), tidak banyak pengunjung. Saya pun bisa menguasai kandang gajah dan bermain bersama anak gajah berusia 7 bulan, Boni.

Ada sekitar 10 gajah yang ada di kandang tersebut. Boni paling aktif dan ramah. Saya dan Boni berlari-larian mengejar satu sama lain. Tentunya, saya tetap membatasi jarak aman, karena anak gajah terkenal senang menyepak kawan bermainnya.

Kemudian pawang datang dan mengeluarkan seluruh gajah dari kandang. Kawanan pawang yang terdiri dari 7 orang itu menggiring seluruh gajah ke sungai yang hanya berjarak 50 meter dari kandang. Saatnya, bagi hewan-hewan bertubuh tambun itu untuk mandi!

Gajah-gajah ini mandi dua kali sehari. Pagi sebelum dilepas ke hutan, dan sore saat kembali dari hutan. Menurut Danta, salah satu pemandu setempat, gajah-gajah itu dibiasakan untuk mencari makan mereka sendiri. Sebelum matahari terbenam, gajah-gajah itu akan dibawa kembali masuk ke kandang.

Sebetulnya, gajah-gajah di Tangkahan bukan lah tujuan wisata. Melainkan konservasi. Namun, beberapa tahun belakangan, gajah-gajah Tangkahan justru menarik wisatawan datang. Warga setempat pun senang dan menyambut wisatawan karena turut mendongkrak perekonomian sekitar

Menyisir Danau Toba,
Meniti Bukit Holbung

Dari Tangkahan, saya sempat singgah ke Pematangsiantar atau Siantar yang berjarak sekitar 221 kilometer. Kota ini boleh dibilang strategis karena dilalui oleh jalan raya Lintas Sumatera. Di sepanjang jalan, terhampar hutan pohon karet dan pohon sawit.

Kota ini lebih ramai penduduk, kendaraan lalu lalang, bentor (becak motor) yang juga dijadikan tugu Siantar, serta hiruk pikuk aktivitas perdagangan. Di kota yang dikenal sebagai pusat kuliner dan jajan ini saya memanjakan lidah.

Saya menjajal seluruh kuliner yang direkomendasikan oleh dunia maya, mulai dari Bakmi Keriting Awai, jajaran kopi Kok Tong di persimpangan jalan Cipto dan Wahidin, Siantar Barat, Roti Ganda di Jalan Sutomo, hingga berbagai makanan khas Batak mulai dari ikan mas arsik, sayur ubi tumbuk, babi panggang, lengkap dengan sambal andaliman.

Saya berkeliling menjajal makanan-makanan Siantar selama tiga hari. Dari sana, saya menuju Prapat.

Anda pasti sudah bisa menebak tujuan saya? Ya, Danau Toba. Jarak dari Siantar ke Prapat hanya 50 km, dengan kontur jalan tebing dan jurang. Berkendara di sini harus hati-hati, mengingat jalan mendaki dan menurun.

Saya mendaratkan kendaraan di Pelabuhan Ajibata, membayar ongkos menyebrang Rp180 ribu untuk sampai di Pelabuhan Ambarita, Pulau Samosir. Penyebrangan hanya memakan waktu 45 menit.

Danau Toba boleh dibilang ikon utama Sumatera Utara. Danau seluas 1.130 kilometer persegi ini menawarkan keindahan yang sudah bergema ke seluruh dunia. Sebelum pandemi, Danau Toba dibanjiri wisatawan asing dari Eropa, Amerika, hingga China. Kini, hanya wisatawan lokal yang berkunjung.

Saya mengunjungi Desa Tomok di bagian timur Pulau Samosir dari Ambarita. Di sini, terdapat sejarah, kebudayaan, dan peninggalan leluhur suku Batak Toba, rumah adat, makam raja-raja kuno, hingga benda-benda zaman megalitikum.

Cerita raja-raja Batak memakan daging manusia juga bisa Anda dapati di Huta Siallagan. Di museum ini, Anda bisa melihat kursi dan meja batu bekas Raja Siallagan mengadili pelaku kejahatan atau pelanggar hukum yang dieksekusi untuk kemudian disajikan sebagai hidangan.

Museum ini terletak tak jauh dari hiruk pikuk Tuktuk. Nah, jika Anda bosan dengan keramaian, Anda bisa melipir sebentar berkendara naik ke atas bukit menuju Simanindo. Ada Danau Aek Natonang di tempat ini. Iya, itulah uniknya, ada di danau di atas danau.

Luas danaunya tentu saja tidak sebesar Danau Toba, tetapi ketenangan dan pemandangan yang ditawarkan tidak kalah indah. Apalagi, untuk meraih tempat ini, Anda akan disuguhkan hamparan rumput hijau dan hewan ternak.

Saya menghabiskan tiga hari mengelilingi Pulau Samosir dan memutuskan beranjak ke Bukit Holbung melewati Pangururan, satu-satunya jembatan pintu masuk dan keluar ke Pulau Samosir tanpa menyeberangi laut dengan kapal.

Hanya berkendara sejauh 70 km dari Tuktuk Siadong, Samosir, menuju Bukit Holbung. Perjalanan tidak 100 persen mulus, tapi pemandangan Bukit Holbung yang menawan dijamin akan membayar letih Anda.

Setibanya di sana, saya memarkirkan kendaraan di dekat warung-warung kecil yang berjejer di Bukit Holbug Sipege. Kemudian, saya mulai mendaki bukit selama kurang lebih 40 menit.

Bukit holbung merupakan gundukan bukit-bukit tanpa pohon, dengan warna hijau terang, tampak asri. Dari bukit ini, Anda juga bisa melihat Danau Toba dengan panorama yang terbentang luas di bawah langit biru. Sungguh indah!

Sebetulnya, petugas setempat mengizinkan pengunjung untuk berkemah di sini, namun untuk berkemah, Anda harus membawa sendiri peralatannya. Dan ingat, tidak ada sumber mata air di bukit ini. Artinya, Anda harus naik dan turun bukit untuk mendapatkan makanan dan minuman.

Tak heran, kebanyakan mereka yang datang hanya berjalan-jalan dan berswafoto, termasuk saya. Karena, memang tak banyak aktivitas yang bisa dilakukan di Bukit Holbung, selain berfoto dan menikmati pemandangan alamnya.

Pemandian Air Soda,
Langka!

Di tengah hiruk pikuk libur Imlek, Senin (1/2), saya berkendara menuju Tarutung di Kabupaten Tapanuli Utara sejauh 122 km dari Bukit Holbung. Saya menempuh perjalanan sekitar 4 jam, melintasi Sigalingging, Parboeloen, Hoetagaloeng, Dolok Sanggul, hingga Siborong-borong.

Tentu, saya tidak menyianyiakan waktu dan bergegas ke pemandian air panas Sipoholon. Hot spring dari bukit-bukit pasir sisa letusan Gunung Martimbang. Airnya mengandung belerang, dengan suhu sekitar 40 derajat celcius.

Sumber air panas tersebut dimanfaatkan oleh warga sebagai salah satu destinasi wisata. Selain menawarkan air panas, pengunjung yang datang juga bisa berfoto di bukit-bukit pasir berwarna putih, hijau, dan kemerahan. Pemandangan yang ditawarkan sangat dramatis.

Tak jauh dari pemandian air panas Sipoholon, ada pemandian air soda Parbubu yang berjarak 9,8 km. Tahukah Anda, air soda alami ini hanya ada dua di dunia. Selain Tarutung, Anda dapat menjumpainya di Venezuela. Kita cukup beruntung kan dilimpahi alam yang luar biasa?

Saya berangkat sebelum matahari terbit, sekitar pukul 06.00 WIB, menuju air soda Parbubu keesokan harinya. Pagi itu, sudah banyak ibu-ibu dan bapak-bapak yang berenang. Mereka percaya berenang di air soda mampu melunturkan penyakit kulit hingga jamur.

Saya bergegas menyusul menceburkan diri ke kolam yang dipenuhi dengan buih soda. Buih-buih itu berasal dari dasar kolam yang merupakan batu alam. Suhu airnya hangat di tengah dinginnya pagi Tarutung.

Sensasinya unik. Buih-buih air soda menyatu di pakaian renang, menempel di kulit, tapi tidak lengket. Saya sempat membuka mata di dalam air soda. Agak perih, tapi konon katanya, air soda bisa menyembuhkan penyakit mata. Kebetulan, mata saya kelelahan setelah menyetir dari bagian utara Sumatra hingga ke tengah.

Berdendang di Desa
Silalahi

Selanjutnya, saya kembali membelah jalan menuju Paropo, Desa Silalahi di Kabupaten Dairi. Jarak yang ditempuh lebih 177 km melewati pinggiran Danau Toba, melewati menara Pandang Tele yang pernah viral setelah dikunjungi Presiden Jokowi.

Saya tak berhenti berdecak kagum setibanya di Paropo. Pemandangan gundukan bukit-bukit hijau persis seperti di Bukit Holbung terpampang di sepanjang perjalanan hingga menuju perkemahan dan pondok-pondok warga.

Secepat kilat saya memutuskan untuk bermalam di tenda, di samping danau, di antara jejeran bukit-bukit nan mempesona.

Sayangnya, saat itu, banyak wisatawan lokal yang juga membangun tenda. Mereka datang beramai-ramai. Impian saya tidur di bawah taburan bintang, suara air dan jangkrik, kandas lantaran pengunjung yang datang membawa gitar dan berdendang semalaman.

Belum lagi, suara musik dari mengeras suara pemilik warung-warung sekitar beradu satu sama lain, yang membuat malam itu semakin bising.

Musim Dingin
di Berastagi

Dari Paropo, saya kembali menginjak pedal gas sejauh 72 km menuju dataran tinggi Berastagi di Kabupaten Karo. Jarak itu dapat ditempuh dalam 2,5-3 jam karena kontur jalan yang meliuk-liuk.

Saya memilih menghabiskan 5 hari di penginapan di kaki gunung Sibayak, yang dikenal dengan hawa dingin melebihi puncak di Jawa Barat. Dan benar saja, suhu di area ini bisa menembus 10 derajat pada pagi hari dan 19 derajat pada siang hari.

Saya juga menjajal nyali mendaki Gunung Sibayak. Gunung aktif dengan ketinggian 2.200 mdpl ini dapat ditaklukkan hanya dalam 70-90 menit. Medannya lumayan ringan untuk dilalui oleh pemula, dengan kontur jalan sebagian besar bebatuan.

Kendati terbilang ringan, panorama yang ditawarkan dari puncak Gunung Sibayak patut diacungi jempol. Sejauh mata memandang, saya disuguhi pemandangan megahnya bukit-bukit berjejer, termasuk puncak Gunung Sinabung. Belum lagi, petak-petak sawah di antara pemukiman penduduk yang menambah indah pemandangan dari puncak.

Turun dari Gunung Sibayak, saya memutuskan berendam Air Panas Sidebuk-debuk. Pemandian ini banyak juga ditawarkan oleh penginapan setempat. Anda hanya perlu merogoh kocek Rp10 ribu-Rp15 ribu untuk berendam di air hangat. Beberapa tempat penginapan, menawarkan desain kolam berendam berbeda-berbeda dengan pemandangan kawah bukit.

Bagi Anda yang berkunjung bersama keluarga dan anak-anak, jangan khawatir, Berastagi juga menawarkan Funland Mikie Holiday atau resor dengan berbagai wahana permainan. Anda juga membawa anak-anak berwisata naik kuda di Taman Berastagi.

Sementara Anda yang menyukai sejarah dan budaya, dapat mengunjungi Pagoda Taman Lumbini dan Desa Lingga. Pagoda yang menjadi tempat ibadah umat Buddha ini dibuka juga untuk umum. Wisatawan dapat melihat bangunan megah dengan arsitektur laiknya tempat ibadah di Thailand. Sedangkan Desa Lingga menawarkan peninggalan kerajaan Karo.

Kembali ke Ibu Kota

Saya kembali ke Medan di hari ke-29, mengakhiri perjalanan satu bulan keliling Sumatera Utara. Di hari terakhir ini, saya memilih menginap di hotel berbintang demi tidur di kasur empuk berkualitas sembari membenahi sendi-sendi yang kelelahan dengan bantuan air panas.

Selain itu, lidah pun perlu kembali dimanjakan dengan sederet kuliner dan makanan kecil yang boleh dibilang lebih kaya dari Jakarta.

Meski perjalanan kali ini cukup panjang, saya merencanakan perjalanan keliling Sumatera Utara hanya satu bulan sebelum jadwal berangkat.

Hanya bermodalkan peta, menyusuri satu per satu kota/kabupaten yang akan disinggahi, dari bagian utara di perbatasan Aceh hingga ke selatan di perbatasan Padang, Sumatera Barat, mengitari luas Pulau Samosir.

Untuk penginapan, beberapa tempat sudah diincar sejak saya masih di Jakarta. Sedangkan sisanya sepeti tebak-tebak buah manggis, tiba di lokasi, lalu mencari-cari penginapan yang sesuai budget. Tentu, ada plus minus untuk setiap penginapan yang saya singgahi.

Indra Valley Inn di Bukit Lawang misalnya, sang pemiliknya, Indra, bersedia mengganti di kemudian hari penginapan yang sudah saya bayar selama 4 hari 3 malam, karena tiba-tiba saja saya memutuskan untuk camping di tengah hutan Taman Nasional Gunung Leuser. Padahal, penginapan itu saya pesan di agen travel online yang tidak memungkinkan untuk dibatalkan atau dijadwal ulang pada hari H.

“Silakan kakak bermalam di hutan, nanti penginapannya diganti hari saja,” ujarnya ikhlas ketika saya memutuskan untuk camping.

Tapi jangan harap semua pemilik penginapan bisa sefleksibel Indra. Di Pematang Siantar, saya terpaksa check out satu hari lebih cepat demi mengejar destinasi berikutnya yang di luar rencana awal. Tapi, sang pemilik penginapan tetap membebankan biaya selama 4 hari 3 malam, sesuai jadwal pesanan.

Lebih parah lagi, salah satu penginapan di Kabanjahe yang sudah dipesan jauh-jauh hari malah menolak saya check in dengan alasan sudah memutus kerja sama dengan agen travel online tempat saya memesan. Saya sempat luntang-lantung di teras penginapan sampai hari gelap sebelum sang pemilik menawarkan win-win solution.

“Begini saja, saya kasihan karena adik menyetir di tengah perkebunan jauh ke mana-mana dan cuaca dingin, silakan bermalam di sini, berapa pun lah kamu bisa bayar saya terima,” tutur pria berusia renta yang menyewakan sekitar lima kamar di dalam rumahnya.

Saya segera mengiyakan, sembari menawarkan uang kertas Rp50 ribu. “Boleh pak saya semalam saja segini?” tanya saya hati-hati.

Ia meraih uang dengan lembut dari tangan saya, lalu bergegas mengantar saya ke kamar mungil di lantai dua rumahnya, sebelum meminta saya memindahkan mobil untuk diparkir di belakang pekarangan rumahnya.

Memang saya menyetir sendiri kendaraan sewaan mengelilingi Sumatera Utara. Tujuannya, demi menghemat biaya membayar jasa sopir. Bayangkan, rental mobil lepas kunci Rp5 juta per bulan bisa membengkak paling sedikit Rp15 juta dengan jasa sopir. Itu pun belum termasuk tempat penginapan sopir dan uang makan yang harus dibayar setiap hari.

Beda cerita ketika saya camping di TNGL yang memaksa untuk menyewa jasa pemandu. Selain karena alasan keselamatan agar tidak tersesat di tengah hutan, juga untuk menghindari jalur perlintasan dengan hewan liar.

Selebihnya, saya jamin, Anda bisa menikmati alam yang terbentang di sepanjang Sumatera Utara sebebas kaki melangkah dengan aman. Seperti ketika saya mendaki Gunung Sibayak. Penunjuk jalannya cukup jelas, jalurnya tidak bercabang, dan jarak tempuhnya hanya 2 jam, Anda tidak akan nyasar kemana-mana.

Begitu pula ketika saya meniti Bukit Holbung, meski nyaris sepanjang jalan rusak dan penuh bebatuan, saya tahu saya tiba di lokasi yang tepat ketika banyak warung berjejer dekat pintu masuk kawasan.

Orang-orang di Pulau Sumatera jelas berbeda dengan orang-orang di Pulau Jawa, tempat saya dilahirkan dan dibesarkan. Meskipun saya sendiri berdarah asli Batak, hanya tidak menyangka bakal menemui orang-orang dengan gaya bicara keras. Nyaris di semua tempat.

Orang-orang yang saya maksud ini merata dari kaum muda hingga orang tua; suaranya lantang dan wajahnya sedikit lebih sangar seperti sedang marah.

Pernah suatu kali saya memarkir di depan restoran di sekitar pasar di Berastagi, seorang juru parkir meneriaki saya, “lagi, ke kanan lagi, ah cem mana kawan ini,” sembari mengelus kepala.

Sontak saya berhenti, saya ingin membalas dengan memaki, tetapi kalimat yang keluar dari mulut saya berbeda. “Ada tempat sampah bang!” dengan nada meninggi.

“Oh maaf kakak cantik, aku nggak lihat,” ujarnya sembari memindahkan tempat sampah yang saya maksud. Ia kembali menjadi juru parkir, memandu ke kiri dan kanan, dan memberi jempol setelah posisi mobil terparkir rapih.

Pernah juga saya marah karena seorang penumpang kapal penyeberangan di Danau Toba tiba-tiba melempar plastik permen ke perairan. Hari sebelumnya, saya marah kepada tamu restoran di meja sebelah yang membuang tissue bekas lap mulutnya ke lantai.

Malu bukan main. Ketika saya menegur mereka dengan nada kesal, mereka malah meminta maaf dan menyadari kesalahan mereka saat membuang sampah sembarangan.

Batin saya, ah orang Batak atau orang di Sumatera Utara ini baik-baik kok. Ternyata, hanya suara mereka saja yang keras dengan wajah sangarnya.