“Mohammad Safir from Jakarta, welcome to my hostel.”
Sapaan hangat Ibu Aoliya, pemilik Sarrafon B&B Hostel, menyambut saya pada suatu sore di kota tua Bukhara di Uzbekistan. Satu teko kok choy (teh hijau) hangat dan sepiring panganan kecil dihidangkan oleh perempuan 60 tahun yang berambut keriting itu, sebelum ia mencatat data diri saya. Kacamata bertengger di wajahnya yang selalu menunjukkan raut ramah.
Bukhara adalah kota pertama yang saya jelajahi di Uzbekistan, negara yang di masa lampau terkenal karena kejayaan di era jalur sutra. Ketika saya tiba di sana pada akhir tahun lalu, musim dingin baru saja dimulai di berbagai penjuru negara. Suhu berkisar 2 hingga 12 derajat celcius di pagi dan sore hari, dan saat malam tiba turun drastis mencapai -5 derajat celcius. Jelas tak begitu bersahabat bagi tubuh saya yang terbiasa menikmati matahari tropis.
Untuk mendapat perlindungan dari gigitan angin musim dingin, saya bermalam di hostel milik Ibu Aoliya dengan merogoh kocek 125 ribu som (sekitar 215 ribu rupiah). Penginapan milik perempuan yang jalannya tak pernah tergesa-gesa itu terletak di Lyabi Hauz Complex, salah satu kawasan penting dalam sejarah jalur sutra di Bukhara. Saya menyusuri gang-gang kecil bak labirin yang terbuat dari tembok tua berwarna coklat untuk mencapainya.
Bukhara yang berjarak 437 kilometer atau delapan jam perjalanan kereta dari ibu kota Uzbekistan, Tashkent, itu di musim panas berubah menjadi ganas dengan suhu udara mencapai 50 derajat celcius. Maklum, Bukhara dikelilingi padang pasir dan bukit-bukit tandus. Iklim gurun mendatangkan perbedaan suhu yang ekstrem antar-musimnya.
Iklim gurun itu hanya salah satu bagian kecil dari Bukhara. Bagian lainnya adalah kekayaan budaya dan tradisi di sepanjang perjalanan waktu.
Kota ini adalah tempat kelahiran sang periwayat dan ahli Hadis dalam ajaran Islam, Imam Al Bukhori, jadi bagian penting sejarah perdagangan jalur sutra, memiliki keindahan arsitektur bangunan bersejarah, serta menjadi pusat khazanah ilmu pengetahuan hingga tasawuf atau sufi. Pada Abad 9 sampai 13 Masehi, Bukhara juga menjadi pusat peradaban Islam dan perdagangan di Asia Tengah selain Khiva dan Samarkand.
Dalam catatan puisi penyair dan sufi ternama Jalaludin Rumi, ia menyanjung Bukhara sebagai gudang pengetahuan, tempat ulama dan ilmuwan besar dilahirkan.
Gerimis menyambut pagi pertama saya di Bukhara. Langit kelabu tak menunjukkan tanda matahari akan bersinar. Jalanan pun tampak sepi dari lalu lalang warga. Hanya satu atau dua yang melintas dalam balutan jaket tebal menembus dingin. Pukul delapan pagi di Bukhara seperti pukul enam pagi di Jakarta. Kicau burung yang terbang beriringan ditambah embusan angin kencang menyapa awal hari.
Sesekali saya membuka layar ponsel, memantau suhu udara. Dua derajat celcius, cukup membuat kaku jemari. Sambil duduk di pinggiran toko kecil yang belum dibuka, saya mengatur napas dan membuka buku kecil catatan perjalanan.
Bermodalkan payung saya kemudian berusaha menghalau gerimis, memulai beradaptasi dengan kondisi dan kebiasaan di Bukhara. Kota ini mengajak saya berfantasi ke masa lampau. Masa ketika para pedagang dan musafir yang melintasi jalur sutra –yang terentang mulai dari China hingga Italia— berhenti sejenak di persimpangan di Asia Tengah. Dua kota di Uzbekistan, Bukhara dan Samarkand, kerap menjadi lokasi persinggahan mereka.
“Assalamualaikum,” saya mencoba menyapa orang lokal yang melintas sambil meletakan tangan kanan ke dada kiri dan badan sedikit membungkuk. Ini adalah cara atau kebiasaan yang santun bagi masyarakat Uzbekistan untuk menyapa, khususnya orang tua.
Bahasa Uzbekistan sendiri banyak dipengaruhi budaya Arab dan Persia. Wajar, karena pada masa perdagangan jalur sutra terjadi akulturasi budaya Arab, Persia, Mongolia, Turki, India.
Warna coklat tanah mendominasi bangunan tua di Bukhara seperti madrasah, masjid, caravansary hingga rumah penduduk. Hampir semua bangunan terbuat dari susunan batu bata, jerami dan polesan coran tanah liat serta tiang kayu sebagai penyanggah. Ukiran, motif, warna dan kaligrafi dipengaruhi budaya Persia.
Melihat Bukhara, saya teringat kota Yazd di Iran yang pernah saya datangi enam tahun lalu.
Keduanya sama-sama berada di jalur sutra, memiliki kemiripan dari segi arsitektur, suasana kota dan makanan. Yazd lebih kental dengan kultur Arab, sementara Bukhara percampuran kultur Persia dan Soviet. Namun untuk hal keramahan dan keterbukaan, penduduk Bukhara lebih ramah dan hangat dibandingkan Yazd yang sedikit tertutup dan konservatif.
Dua generasi yang memiliki perjalanan hidup masing-masing di kawasan kota tua Bukhara.
CNNIndonesia - Safir Makki
Pemukiman tua yang dulunya dihuni komunitas Yahudi. Masih banyak bangunan tua tak terurus di kawasan kota tua Bukhara.
CNNIndonesia - Safir Makki
Dua warga berjalan dengan latar belakang onta tak jauh dari benteng Ark Fortless di Bukhara.
CNNIndonesia - Safir Makki
Warga lokal usai mengunjungi madrasah Abdulaziz Khan di kota tua Bukhara.
CNNIndonesia - Safir Makki
Seorang bapak menunggu taksi sharing. Taksi sharing menjadi andalan warga sebagai transportasi umum alternatif.
CNNIndonesia - Safir Makki
Calon pengantin saat pegambilan gambar untuk pra nikah di Bukhara.
CNNIndonesia - Safir Makki
Turis berfoto menggunakan pakaian perang khas Uzbekistan di kawasan kota tua Bukhara.
CNNIndonesia - Safir Makki
Mobil Lada milik warga yang diparkir di kawasan kota tua Bukhara.
CNNIndonesia - Safir Makki
Warga berdiri rapi menunggu datangnya bus umum mengantar mereka ke tujuan masing-masing.
CNNIndonesia - Safir Makki
Potret bapak tua mengenakan gigi emas. Gigi emas merupakan warisan tradisi nomad di Bukhara dimana kala itu belum ada bank sebagai tempat penyimpanan uang yang aman.
CNNIndonesia - Safir Makki
Lyabi Hauz merupakan list pertama tempat yang akan saya datangi, suatu kawasan yang mengelilingi salah satu hauz (kolam). Di sebelah utara area itu, terdapat bangunan madrasah Kukeldash, sementara di bagian barat ada madrasah Khanaka, dan pada sebelah timur madrasah Nodir Divan-Begi.
Ketiga madrasah (universitas) itu memiliki kemiripan gaya arsitektur khas Persia dan merupakan bagian dari puluhan madrasah yang tersebar di Bukhara. Kota ini memang sangat terkenal bagi pelajar dari Asia maupun Timur Tengah sebagai tujuan menuntut ilmu.
Penasaran, saya masuk ke dalam bekas madrasah Nodir Divan-Begi yang dibangun pada 1620. Gerbang utama berhiaskan kaligrafi Arab diikat dengan motif Persia dengan lapisan keramik berwarna biru dan kuning, yang menarik lagi adanya penggambaran dua burung phoenix api yang merupakan simbol mitologi yunani kuno. Di bawahnya terdapat dua rusa putih cacat dan paling atas sebuah matahari berwajah manusia.
Sebelum diubah menjadi madrasah pada tahun 1622, Nodir Divan-Begi merupakan caravansary atau bangunan publik yang berfungsi sebagai tempat perhentian sementara bagi pejalan dan pedagang lintas kota maupun negara. Bangunan Caravansary biasanya terdiri dari dua lantai, tapi ada juga yang satu lantai. Saat ini, Nodir Divan-Begi menjadi museum terbuka, aset wisata kota Bukhara.
Saat saya masuk ke dalam, beberapa orang tengah menyiapkan barang dagangan keramik, lukisan, tenun hingga karpet. Ruang-ruang yang dulunya sebagai akomodasi dan tempat belajar diubah menjadi kios-kios resmi pedagang cenderamata. Satu halaman besar yang dikelilingi bangunan, terlihat meja dan kursi kayu yang disediakan sebagai tempat mengobrol ataupun minum teh bagi pengunjung. Pada musim semi ataupun panas, halaman ini dimanfaatkan sebagai ruang terbuka pertunjukan tari dan musik tradisional Uzbekistan untuk menghibur pengunjung.
Memasuki ruangan caravansary yang menjadi madrasah bagi para pencari ilmu pengetahuan, ruang-ruang kecil berfungsi alih menjadi kelas. Satu hal yang unik, pintu lebih rendah dari tinggi masyarakat pada umum, sehingga para murid harus menundukkan kepala jika hendak masuk ke dalam ruangan. Saya menerjemahkan filosofi pintu ini menjadi murid harus menghormati dan patuh terhadap guru.
“Pada sebuah bangunan, kita bisa banyak belajar tentang makna, simbol yang mengajarkan tentang kehidupan.”
Diapit pohon-pohon mulberry yang mengering dan bangku taman yang nyaman, patung perunggu Nasruddin Hoja yang tengah menunggang keledai berdiri. Tepatnya di bagian kanan depan museum madrasah Nodir Divan-Begi di Lyabi Hauz. Nasruddin menyilangkan tangan kanan ke dada kiri sebagai tanda hormat, sementara tangan kiri menjulur ke atas menjentikan jari seperti menyiratkan tanda “oke”.
Saat saya duduk di sekolah dasar, guru bahasa Inggris sering menceritakan humor singkat tentang Nasruddin dan keledainya. Saat itu saya tak begitu paham makna cerita humor Nasruddin dan saya hanya bisa menikmat gambar kartun yang ada di buku pelajaran bahasa inggris itu. Nasruddin memakai serban di kepala dan chapan (jubah panjang) menunggangi keledai, bahkan hingga memanggul keledainya.
Nasruddin Hoja adalah sosok humoris, cerdik dan mendidik dalam kisah kehidupan di masa jalur sutra. Ia sangat terkenal dengan cerita humor satir yang banyak memberi pesan moral kehidupan. Sejatinya ia adalah seorang filsuf atau sufi. Hodja atau Mullah sendiri merupakan gelar bagi ulama dalam ajaran Islam.
Duduk di bangku sambil mengunyah buah apel pengganti sarapan yang belum sempat disantap, saya mengamati laku orang-orang yang berfoto di depan patung Nasruddin. Sebegitu menyatukah sosok Nasruddin di hati masyarakat?
Versi Uzbekistan, Nasruddin Hoja lahir dan besar di kota Bukhara. Beberapa narasi humornya pun menyebutkan nama besar seperti Amir Timur (Timur Lenk), sosok penakluk Asia Tengah pada abad 14 di Bukhara. Humor-humornya bergulir dari masa ke masa. Ia menjadi sosok yang selalu dikenang dan seakan menjadi wajib difoto bagi pelancong lokal maupun asing jika berkunjung ke kota tua ini.
Otak saya terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Apakah hikayat sang sufi Nasruddin ini yang mempengaruhi prilaku kehidupan orang-orang Bukhara? Selalu tenang berjalan tanpa was-was dalam sepi, senyuman dan raut muka yang hangat saat bertemu dengan orang asing, bertutur halus dan tak segan membantu.
Entahlah. Selama berada di Bukhara, saya merespons dan menemukan jiwa sufi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sebuah ketenangan dan kebaikan tanpa batas.
Saya masuk ke dalam restoran masakan lokal untuk mengisi “amunisi” siang. Pilihan saya jatuh pada restoran Chinar yang begitu menarik perhatian. Dari kejauhan sudah terdengar musik tradisional Uzbekistan dari dalam restoran, meski dari pelantang suara yang tergolong cempreng. Di pintu depannya ditempel bermacam stiker sertifikat penghargaan terbaik dari ulasan travel ternama, seolah pertanda tak perlu banyak pertimbangan untuk menikmati santapan di sana.
Saya memesan Bukharian Palov (nasi yang dimasak dengan potongan wortel, kismis, potogan daging sapi, telur puyuh dan kacang), satu shashlik domba (seperti kebab yang dipotong kecil ditusuk dan dipanggang), tandyr (roti gandum) semangkuk salad sayuran dan satu poci kok choy.
Sama halnya dengan Asia Selatan ataupun Timur Tengah, porsi makanan yang disediakan terlalu banyak untuk ukuran perut Indonesia. Saya menyudahi makan siang tanpa bisa menuntaskannya.
Ketika hendak membayar, saya sempat bingung harus mengeluarkan berapa, karena pelayan tak memahami bahasa Inggris, sementara saya kebingungan dengan angka yang ia ucapkan. Alhasil saya memberikan setengah gepok som dan membiarkan dia menghitung tagihan makanan, dan mengembalikan sesuai hitungannya.
Bagi saya pribadi, ini bukan sebuah kebodohan tapi cara melihat sejauh mana orang berperilaku jujur. Ternyata harganya tidak begitu mahal dan wajar untuk tiga jenis makanan, 40 ribu som atau 69 ribu rupiah.
Mendung masih betah di langit Bukhara meski gerimis sudah tersapu angin kencang ketika saya melangkahkan kaki keluar dari restoran. Melanjutkan lagi langkah menyusuri labirin kota tua Bukhara yang sunyi, pintu-pintu rumah warga yang tertutup rapat, pipa-pipa kecil yang menyalurkan gas di setiap rumah. Dalam setiap perjalanan, tersesat bukan satu hal yang asing, karena pada akhirnya akan menemukan jalan yang tepat. Itulah seninya perjalanan. Sama seperti dengan kehidupan.
“By getting lost you can learn, then next time you can guide”. (Kita bisa belajar dari tersesat. Setelahnya, kita menjadi pemandu).
Pada masa perdagangan jalur sutra, Bukhara dikenal karena pasar yang riuh rendah. Arsitektur dan ornamen bangunannya sendiri beratapkan susunan batu yang membentuk kubah (dome), hampir mirip bazaar di Turki dan Iran.
Pasar di Bukhara terdiri atas tiga bangunan yang sambung menyambung, tapi memiliki tiga nama yang berbeda. Toqi Sarrofon Bazaar, merupakan pasar tempat penukaran mata uang bagi pedagang lintas negara. Toqi Telpak Forushon khusus tempat menjual dan pembuatan topi, sementara yang terakhir Toqi Zargaron, perhiasan seperti mutiara, permata, emas, perak dan tempat pemandian umum hammam.
Saya menyusuri perlahan-lahan ketiga pasar ini, mengamati sekeliling dalam bangunan. Tembok-tembok yang begitu tebal dilengkapi lorong angin di atas atap. Ketika musim panas ia menyerap sengatan matahari, melindungi orang-orang yang berada di dalam. Saat musim dingin pengunjung yang berada di dalam terlindungi dari hawa beku.
Saya terhanyut dengan fantasi masa lampau. Begitu ramai tiga pasar ini dengan suara tawar menawar dari pedagang lintas negara. Namun, saat ini Toqi Sarrofon, Telpak Forushon dan Zargaron menjadi tempat penjual bermacam cinderamata khas Bukhara dengan pembeli kebanyakan turis asing. Ketiga pasar ini berdiri kokoh, melintasi dimensi waktu.
Keesokan hari, usai menyantap sarapan pagi yang disediakan Bu Aoliya, saya bergegas. Langit biru, cahaya keemasan pagi memantul di tembok hostel. Pada hari keempat saya di Uzbekistan, baru hari itu matahari bersinar sempurna.
Meskipun dalam fotografi memotret bisa dilakukan kapan saja dan dalam kondisi apapun, saya menggantungkan harapan tinggi pada langit biru dan sinar matahari untuk “menyuntikkan” energi pada foto-foto yang akan saya buat.
Hari itu saya tak sendiri. Nemat Kamalov, pemuda beralis tebal yang bekerja di Departemen Pariwisata Bukhara, memandu saya untuk mengenal Bukhara. Meski fasih berbahasa Inggris, Nemat yang kala itu berbusana hitam-hitam dari ujung kepala hingga kaki lebih sering memilih diam Kami dipertemukan berkat seorang kawan di Jakarta yang memperkenalkan saya dengan seorang staf di Kementerian Pariwisata.
Kami bergerak dari hostel Sarrafon yang dulu terletak di kawasan komunitas yahudi. Pada abad 12 hingga 13, memang banyak orang Yahudi hidup di Bukhara. Mereka mengembangkan budaya mereka sendiri dengan bahasanya sendiri. Hidup di tengah budaya Persia namun menggunakan alfabet Ibrani. Mereka berhasil menjadi pemain utama dalam perdagangan Bukhara, terlepas dari diskriminasi yang mengakar dan melembaga.
Satu abad yang lalu setidaknya ada tujuh sinagoge di Bukhara, lambat laun berkurang, setelah 1920 hingga saat ini tersisa dua sinagoge.
Populasi orang Yahudi tinggal 7% saat Uni Soviet tumbang, tapi jumlahnya terus menyusut hingga kini sekitar 360 yang tersisa dengan hanya sebagian kecil bisa membaca alfabet Ibrani.
Sejak 1970-an, ketika kontrol emigrasi Soviet mulai mengendur, ribuan orang Yahudi meninggalkan Bukhara dan pindah ke Israel, Amerika Serikat, atau Eropa. Proses ini dipercepat setelah Uzbekistan merdeka dari Uni Soviet pada 1991.
Di sekitar sinagoge masih banyak berdiri jejak-jejak rumah peninggalan mereka, dengan beberapa dijadikan hostel dan atau restoran mini. Mereka tetap mempertahankan ciri dan gaya bangunan Yahudi, seperti beranda dan tiang penyangga kayu dengan ukiran-ukiran.
Pemakaman Yahudi yang berada di selatan kota Bukhara pun terawat dengan baik memberikan kesan kuat tentang berapa lama komunitas itu tinggal di Bukhara. Para emigran mengirim uang ke yayasan komunitas Yahudi untuk membantu sinagoge, sekolah, dan pemakaman, tetapi pengiriman uang ini belum mampu membalikkan penurunan kaum yahudi di sana.
Mengingat tingkat emigrasi saat ini dan potensinya di masa depan, mungkin tidak ada lagi kaum Yahudi yang tersisa di Bukhara. Sinagoge dan pemakaman hanya akan menjadi museum dari kebudayaan yang hilang.
Sayangnya saat kami berada di sana, sinagoge dan sekolah tutup. Saya hanya bisa memandang gerbang besar dengan simbol bintang daud, lambang identitas pemeluk agama Yahudi.
Dari perenungan mengenai jejak komunitas Yahudi di Bukhara, saya kemudian beranjak ke Madrasah Chor Minor. Ia berlokasi tak jauh dari Liyabi Hauz. Cukup berjalan kaki sekitar 700 meter dengan melewati beberapa lorong kecil yang ruang-ruangnya diperebutkan deretan mobil tua milik warga yang sedang terparkir.
Madrasah ini sedikit berbeda dari madrasah lain. Dari jauh sudah terlihat empat menara dengan kubah kecil berwarna hijau toska, ornamen sederhana, dan tak terlihat kaligrafi yang mengelilingi bangunan madrasah pada umumnya.
Chor Minor yang memiliki arti empat menara dibangun tahun 1807 pada masa khalifah Turkmenistan, Niyazkul. Namun pada arsip lainnya, madrasah ini disebut dibangun pada akhir abad 17. Elemen-elemen dekorasi menara diyakini mencerminkan pemahaman religius-filosofis dari empat agama di dunia. Paling tidak, terlihat dari beberapa elemen seperti salib, ikan Kristen, dan roda doa Buddha.
Beberapa orang tua yang saya temui di jalan mengembangkan senyum dan memperlihatkan deretan gigi kuning emas. Saya mendekat, sekedar ingin melihat keaslian emas dan memotretnya.
Tradisi memasang gigi emas banyak ditemukan di Bukhara dan Khiva. Semula ini merupakan tradisi nomaden, ketika masyarakat tidak mengenal bank untuk menyimpan uang. Harta mereka pun ditanam dalam bentuk gigi emas.
Hingga kini, tradisi itu masih melekat, meski mulai memudar di kalangan anak muda. Pada akhirnya tradisi ini menjadi identitas status sosial.
Di tengah keramaian di jalanan Bukhara, sejumlah orang melihat dan mengomentari tas ransel saya yang digelantungi gembok-gembok kecil di bagian ritsleting. Suatu kebiasaan yang saya bawa dari Jakarta untuk mencegah “keisengan” para pencuri jalanan.
Nemat sembari tertawa kecil kemudian menjelaskan tatapan aneh yang diberikan warga kota pada gembok-gembok itu. Menurutnya, di Uzbekistan dan khususnya Bukhara, kriminalitas berada di titik terendah. Bahkan, mobil-mobil yang parkir di jalanan tidak dikunci. Barang yang jatuh atau tertinggal di tempat umum pun takkan diambil siapapun.
Kebaikan ataupun keburukan tidak bergantung pada sebuah keyakinan, suku, bangsa ataupun agama, ia tumbuh atas kesadaran masing-masing orang akan kebaikan dan keburukan itu sendiri.
Di siang hari, matahari begitu gagah menyinari Bukhara. Awan putih enggan mengganggu langit biru yang berayun bersama udara dingin.
Pemilik kios cenderamata menawarkan dagangan kepada setiap pejalan yang lewat, mulai dari tas, pakaian, topi berbulu hingga keramik warna warni dengan motif Persia.
Keramik bermotif Persia mencuri perhatian saya. Poci teh, piring makan, mangkok bermotif buah delima, bunga kapas serta ornamen rumit lain. Keramik-keramik ini sebenarnya bukan asli dari Bukhara tapi berasal dari kota Rishtan, provinsi Fergana.
Pembuatan keramik ini merupakan tradisi turun temurun dari orangtua ke anak berlanjut ke cucu. Keramik Rishtan sangat beragam coraknya dan mempunyai kualitas suara porselain yang tinggi. Diyakini, jika suaranya lebih nyaring, berarti kualitas keramik lebih bagus.
Ada tiga jenis pokok dalam manufaktur barang-barang pecah belah, yaitu bentuk pola khusus, beberapa warna cat, dan lapisan khusus yang unik. Lapisan ini dinamakan dengan Ishkor dan karena itu keramik Rishtan kadang-kadang juga terkenal dengan nama Ishkor. Harga yang ditawarkan pun beragam, semua tergantung kualitas dan kerumitan corak keramik, mulai dari Rp 20 ribu hingga Rp 400 ribu dan pembeli bisa tawar menawar.
Azizbek, pemuda yang berprofesi sebagai pemandu wisata lokal bergabung bersama kami sore itu. Ia sobat karib Nemat saat menjadi pemandu wisata. Azizbek lebih aktif berbicara. Ia senang mengobrol dan menceritakan hal-hal yang lucu untuk mencairkan suasana dan kekakuan.
Kami menyusuri gang kecil supaya cepat sampai ke Komplek Poi-Kalyan, area yang memiliki arsitektur terbaik di antara bangunan-bangunan tua yang ada di Bukhara.
Madrasah Mir-Arab, Masjid Kalyan (Kalon) dan Menara Kalyan adalah tiga situs bersejarah dan letaknya berdampingan yang menjadi pusat utama kota tua Bukhara. Ketiga bangunan ini berdiri sejak abad 11 yang memiliki fungsi masing-masing.
Madrasah Mir-Arab sebagai tempat menimba ilmu bagi pelajar yang berasal dari Uzbekistan maupun negara lain saat itu, sementara masjid Kalyan jadi tempat ibadah.
Sementara itu Menara Kalyan yang memiliki tinggi 48 meter, diameter 9 meter dan fondasi bawah tanah 10 meter dengan lapisan jerami untuk menahan gempa, adalah tempat azan berkumandang. Pada era jalur sutra, menara yang bisa digunakan untuk memantau seluruh penjuru kota ini jadi penanda bagi pedagang atau musafir.
Seusai mengunjungi Madrasah Mir-Arab dan Masjid Kalyan, kami menaiki menara Kalyan. Sebenarnya Menara Kalyan tidak dibisa dimasuki dan naik ke atasnya bagi turis maupun warga lokal. Berkat Nemat, saya mendapat kesempatan langka masuk dan menaiki menara hingga ke atas. Menaiki 106 tangga yang berputar dan sempit dengan sedikit curam.
Sesampai di atas, dari balik jendela terbuka, pemandangan kota Bukhara bisa dilihat 360 derajat. Saya mengabadikan atap-atap Masjid Kalon, Madrasah Mir-Arab hingga Benteng Ark. Sebuah kemewahan tersendiri bisa berdiri melihat jejak peradaban kota Bukhara dari atas.
Azizbek lalu mengurai cerita tentang menara ini. Dahulunya menara digunakan sebagai observatorium atau tempat pengintai pasukan musuh yang akan menduduki kota. Yang lebih menegangkan, menara ini juga jadi tempat eksekusi orang-orang yang melawan pemerintahan dan pelaku kriminalitas. Mereka dilemparkan dari atas ke halaman batu di bawah.
Terakhir kalinya metode eksekusi seperti itu dilakukan adalah pada 1920 atau ketika Revolusi Rusia masih berkecamuk.
Angin berhembus kencang sore itu dan saya pun mengakhiri perjalanan di Menara Kalyan. Nemat melanjutkan perjalanan rutinitas dengan segala cerita hidupnya, Azizbek kembali ke “dunia” pemandu miliknya. Dalam dekapan udara dingin, saya melintasi lorong-lorong labirin sunyi menuju penginapan.
Mengumpulkan kisah mata dan catatan sejarah yang melampaui waktu, bertemu dengan orang-orang baru yang ramah dengan segala kebaikan-kebaikan. Bukhara, sebuah panggung megah sejarah lawas bagi para pejalan; pedagang pencari ilmu dan musafir pada era jalur sutra yang gemilang. Sebuah destinasi yang tak hanya menyerap energi baru namun meninggalkan pesan yang bermakna tentang Bukhara, sebuah ketenangan dan kebersahajaan.
Bukhara, ko’rishguncha!
-
Editor: Vetriciawizach Simbolon
-
Tata letak: Fajrian, Muhammad Ali
-
Video editor: Artho Viando
-
Tim Redaksi: Ardita Mustafa