Proses pembuatan batik kerap dikaitkan dengan klenik, ilmu hitam, atau para makhluk astral. Padahal, esensi membatik adalah mengosongkan diri, fokus, dan membiarkan Yang Maha Kuasa turut berkarya.
Desainer batik Era Soekamto mengakui bahwa zaman dulu pembatik melakukan ritual tertentu sebelum 'turun gunung'. Ada yang melakukan puasa, 'mutih' (hanya makan nasi putih), atau melarung ke laut. Semua ini jadi upaya untuk mengosongkan diri atau berserah pada Tuhan.
"Ritual Jawa itu sering dianggap klenik, padahal ini mindful living," kata Era pada CNNIndonesia.com via telepon beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Membatik, lanjut dia, adalah meditasi aktif. Selain mengosongkan diri, pembatik juga mengosongkan segala sesuatu sehingga yang keluar adalah karya yang murni dan indah.
Ini bukan persoalan teknik, lanjut Era, melainkan keterlibatan proses transendental atau hubungan antara manusia dan Tuhan.
Segala ritual, termasuk puasa, melarung atau apapun itu, berguna sebagai proses 'mengosongkan diri'. Di sini, manusia melepaskan ego, pikiran-pikiran negatif, dan distraksi-distraksi yang bisa mengganggu proses berkarya.
Menurut Era, hasil batik akan jauh lebih halus, detail, apalagi pada motif-motif berukuran kecil yang benar-benar menguji kesabaran.
Di era modern seperti sekarang, ada banyak cara yang bisa dipraktikkan untuk mencapai pengosongan diri. Pembatik bisa saja menghindari terpaan berita negatif, wudu, atau salat. Semua ini jadi ikhtiar.
Salah satu ikhtiar yang Era lakukan adalah dengan berdialog dengan para pembatiknya di Pekalongan sebelum mereka berkarya.
"Mindfulness itu kesadaran. Sebelum berkarya, saya ajak bicara membangun mindset dan paradigma, bahwa kita bukan manusia fisik, melainkan rohani yang jadi fisik."
Analogi sederhananya bisa dilihat dari seseorang yang mengendarai mobil. Manusia adalah pengendaranya, bukan mobilnya.
"Dari situ saya bilang, jujur saja sama hatinya. Kosongkan, jangan pakai ego dan nafsu, tapi sebaik-baiknya mengalir," katanya.
(els/asr)