Esok harinya, saya melanjutkan perjalanan wisata di Kota Medan. Saat itu saya meminta waktu berjalan-jalan sendirian tanpa tim, tujuan pertama saya ke Kesawan, sebuah kawasan Kota Tua. Di sana, berderet bangunan-bangunan khas peninggalan Belanda, sehingga saya hanya perlu berjalan kaki dari satu tempat ke tempat yang lain.
Tujuan pertama saya hari itu mengunjungi Mansion Tjong A Fie atau Rumah Tjong A Fie yang terletak di Jalan Ahmad Yani Nomor 105, Kesawan.
Mansion Tjong A Fie merupakan salah satu cagar budaya di Kota Medan. Bangunan ini dulunya milik Tjong A Fie, seorang saudagar asal Guangdong, Cina yang hijrah ke Medan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari luar sudah terlihat bangunan ini merupakan kombinasi arsitektur Cina, Eropa, dan Melayu. Patung dua singa di depan gerbang seakan menyambut saya sebelum masuk ke pekarangan rumah yang sudah berdiri sejak tahun 1895 tersebut.
Untuk bisa masuk ke dalam rumah, saya membeli tiket masuk dengan harga Rp35 ribu. Dengan ditemani pemandu, perjalanan saya menapaki rumah bersejarah itu resmi dimulai.
![]() |
Saat memasuki rumah tersebut, kesan megah sudah terasa. Di ruang tamu, dinding-dinding bagian kanan dipenuhi foto sosok Tjong A Fie di masa lalu. Sementara, di sisi lain terdapat foto Tjong A Fie bersama istri dan anak-anaknya.
Menurut penuturan pemandu, barang-barang seperti kursi kayu hingga perabotan yang ada di rumah ini semuanya merupakan peninggalan masa lalu.
Saya kemudian diajak berkeliling dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Mulai dari tempat kerja, hingga tempat tidur Tjong A Fie dan istrinya. Setidaknya, ada 35 ruangan dari bangunan dua lantai tersebut.
Beranjak dari lantai satu, saya melanjutkan naik ke lantai dua. Setelah menaiki tangga, saya diarahkan pemandu ke sebuah ruangan luas.
"Di sini ruangan ballroom. Biasanya tamu-tamu Tjong A Fie diajak berdansa setelah makan malam di rumahnya," kata pemandu itu kepada saya.
Sepanjang mengitari rumah tersebut, pemandu juga menceritakan sosok Tjong A Fie. Ternyata, dia bukan sekadar saudagar kaya asal Cina.
Tjong A Fie merupakan salah satu tokoh penting bagi Kota Medan.
Menurut cerita, Tjong A Fie sering berderma ke orang-orang yang membutuhkan. Bahkan, ia bisa dibilang sebagai tokoh toleransi beragama di Medan.
Semasa hidup, Tjong A Fie ikut membangun sejumlah rumah ibadah di Medan, seperti Masjid Lama Gang Bengkok, Vihara Bodhi, hingga Gereja Katolik Santo Yoseph.Tidak hanya itu, Tjong A Fie juga ikut menyumbangkan hartanya untuk pembangunan Masjid Raya Medan, salah satu bangunan ikonik dan bersejarah di Kota Melayu Deli itu.
Di akhir perjalanan pemandu kemudian menunjukkan surat wasiat dari Tjong A Fie untuk keturunannya yang dituliskan dalam bahasa Belanda.
Ada lima poin isi surat wasiat tersebut, namun poin terakhir menunjukkan betapa dermawannya sosok yang wafat pada tahun 1921 tersebut.
![]() |
"Meringankan beban kerugian yang diderita oleh orang-orang tanpa membedakan golongan bangsa sebagai akibat dari bencana-bencana alam yang dalam tiap-tiap keadaan harus dimusyawarahkan/rapat bersama dengan keluarga," tulis surat wasiat tersebut.
Setelah berkeliling Mansion Tjong A Fie, saya menuju Museum Perkebunan Indonesia-2 yang lokasinya tak jauh dari sana. Museum ini berada di persimpangan antara Jalan Palang Merah dan Jalan Pemuda.
Museum itu berada di Gedung AVROS, sebuah bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang berdiri tahun 1919. Gaya arsitektur Gedung AVROS kental dengan arsitektur bangunan khas Belanda pada masa itu.
Gedung tersebut mudah dikenali, karena memiliki ciri khas yakni kubah hijau di bagian atap gedung. Di bawah kubah hijau tersebut terdapat tulisan tahun 1918-1919 sebagai penanda tahun pembangunan gedung empat lantai tersebut.
Menariknya, tak seluruh bangunan merupakan museum. Di lantai 2 dan 3 masih digunakan sebagai kantor Badan Kerja Sama Perusahaan Perkebunan Sumatera atau BKSPPS.
Museum ini memiliki pelbagai koleksi sejarah perkebunan di Sumatera Utara. Salah satunya yakni bukti penggunaan sidik jari yang menjadi data ratusan ribu karyawan perusahaan perkebunan pada masa kolonial.
Saya tak lama berada di museum tersebut, pasalnya waktu sudah menunjukkan pukul 12.10 WIB. Kebetulan, saat itu hari Jumat, saya pun meninggalkan museum itu dan bergegas ke Masjid Lama Gang Bengkok untuk menunaikan Salat Jumat.
Ya, Masjid Lama Gang Bengkok memang masuk dalam daftar tempat bersejarah yang harus saya kunjungi, sehingga momen Salat Jumat saya jadikan sekalian sebagai wisata siang itu.
Dari Gedung Avros ke Masjid Lama Gang Bengkok bisa ditempuh dengan jalan kaki sekitar 10 menit.
Masjid ini memang memiliki nama cukup unik. Awal mula dinamakan Masjid Lama Gang Bengkok, karena dulunya di depan masjid ini ada sebuah gang yang memang bengkok bentuknya.
Bangunan masjid ini didominasi warna kuning dan hijau khas Budaya Melayu. Namun, sejatinya arsitektur masjid juga menunjukkan perpaduan budaya Cina dan Timur Tengah
Gaya arsitektur Cina terlihat dari atap masjid yang semakin melebar ke bawah dan melengkung di setiap sisi. Sementara, budaya Timur Tengah terlihat dari gaya gapura dan mimbar di dalam masjid.
Setelah menunaikan Salat Jumat, saya kembali melanjutkan petualangan siang itu menuju Gedung Warenhuis yang terletak di Jalan Hindu. Bangunan ini dulunya merupakan supermarket pertama di Medan pada era kolonial.
Sayangnya, gedung yang dibangun pada tahun 1916 itu terlihat kusam dan tak terawat, berbeda dari gedung-gedung bersejarah lainnya. Saat saya datang ke sana, tidak ada penjaga ataupun keramaian orang.
![]() |
Setelah kecewa tak bisa menelusuri lebih lanjut Warenhuis, saya akhirnya memutuskan untuk bergabung kembali dengan tim Jelajah #SerunyaIndonesia. Kebetulan, saat itu tim sedang menghabiskan waktu sore hari dengan ngopi-ngopi cantik di Restoran Tip Top.
Restoran Tip Top juga jadi salah satu tempat legendaris di Kota Medan. Mulanya, restoran ini pertama berdiri pada tahun 1929 di Jalan Pandu, Medan dengan nama Jangkie sesuai nama pemiliknya. Ketika itu, Restoran Jangkie menjual pelbagai macam roti dan kue hasil olahan sendiri.
Kemudian, baru pada tahun 1934 restoran Jangkie pindah ke Jalan Ahmad Yani dan berubah nama menjadi Tip Top yang bermakna 'prima' atau 'sempurna'.
Setelah pindah, Tip Top tak sekadar menjajakan kue dan roti, tapi juga menyediakan makanan berat seperti steak, salad, hingga es krim.
Meski Tip Top sudah berumur lebih dari 88 tahun, namun bangunannya tampak tak berubah. Dari luar, bangunan tersebut dilapisi cat berwarna peach dengan kelir kayu di lantai duanya.
Berada di pinggir Jalan Jenderal Ahmad Yani, Kesawan, bangunan ini langsung menarik perhatian.
Dari luar langsung terlihat area veranda yang sudah dipenuhi orang, baik untuk sekadar ngopi-ngopi, maupun mencicipi kuliner khas Tip Top.
Usai mencicipi kue-kue jadul khas Tip Top dan secangkir kopi Sidikalang, saya dan tim melanjutkan agenda berikutnya, yakni mengunjungi Istana Maimun. Hanya butuh waktu sekitar enam menit dari Tip Top menuju Istana Maimun yang terletak di Jalan Brigjend Katamso.
Saat itu saya tiba di Istana Maimun sekitar pukul 16.15 WIB, sementara istana tersebut hanya buka sampai pukul 17.00 WIB. Akhirnya wisata kami di salah satu bangunan bersejarah itu hanya sebentar.
Istana Maimun merupakan Istana Kesultanan Deli yang jadi salah satu ikon Kota Medan. Istana ini didesain oleh seorang arsitek kebangsaan Belanda, Capt. Theodoor Van Erp atas titah Sultan Deli, Sultan Ma'moen Al Rasyid.
![]() |
Dari luar, istana ini lebih terlihat seperti sebuah alun-alun. Pasalnya, halaman istana yang luas itu pada sore hari dijadikan tempat wisata masyarakat sekitar. Belum lagi di sisi kiri dan kanan halaman juga berjejer pedagang kaki lima (PKL), sehingga membuat halaman istana jadih lebih hiruk pikuk.
Perjalanan saya hari itu kian mendekati usai. Lantunan azan petang itu membawa saya dan tim beranjak dari Istana Maimun ke Masjid Raya Al Mashun Medan, yang jaraknya tak begitu jauh.
Lampu-lampu di sekeliling bangunan mempercantik masjid yang dibangun pada tahun 1906 tersebut. Mulanya, masjid ini menyatu dengan kompleks Istana Maimun.
Selain untuk ibadah, pengunjung juga diizinkan untuk sekadar berswafoto dengan latar belakang masjid itu. Tidak sedikit pengunjung yang sekadar datang hanya untuk berfoto, bahkan pengunjung yang tidak beragama Islam juga kedapatan ikut mengabadikan momen dia mendatangi halaman Masjid Raya.
Selepas melaksanakan Salat Maghrib, saya menyempatkan diri mengobrol dengan salah satu marbot masjid. Ia sempat mengeluh karena dalam dua bulan terakhir selalu kedapatan sif jaga malam yang membuat dirinya jadi mudah sakit-sakitan.
Dalam perbincangan itu saya juga sempat bercerita pengalaman saya siang tadi menelusuri berbagai bangunan-bangunan tua dan mengaku kagum dengan sejarah yang ada di Kota Medan. Namun, kata dia, masih banyak cerita-cerita lain yang belum saya dapatkan.
"Ah, berarti kapan-kapan saya harus kembali ke Medan," gumam saya dalam hati.
(dmi/wiw)