Jakarta, CNN Indonesia --
Pembatasan perjalanan ke luar negeri kini mulai dilonggarkan untuk kedatangan turis asing. Namun, beberapa negara juga menjadi lebih selektif siapa saja yang boleh masuk pasca pandemi.
Seperti yang dilansir dari Euronews, sepanjang pandemi Covid-19, dewan pariwisata di seluruh dunia telah bereksperimen dengan kebijakan masuk selektif. Sekarang mereka mulai menerapkan rencana pemulihan dengan menggemakan 'kualitas daripada kuantitas'.
Dengan dalih mengurangi overtourism dapat memberikan dampak positif pada lingkungan dan komunitas lokal di destinasi populer. Tapi apakah ini berarti perjalanan akan disediakan untuk orang kaya saja?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Inilah negara-negara yang menargetkan kunjungan turis yang berkantong tebal untuk membangkitkan pariwisata.
1. Indonesia
Pada September 2021, Indonesia masuk ke dalam daftar negara pencari pengunjung 'berkualitas' pasca pandemi.
"Kami akan membidik pariwisata berkualitas di Bali, jadi kami tidak akan mengizinkan backpacker masuk begitu rencana pembukaan kemali untuk pelancong internasional secara resmi diberlakukan dalam waktu dekat," kata Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan saat berkunjung ke Bali pada September 2021.
Menurut Luhut kebijakan ini diambil untuk menyaring turis yang mungkin melanggar protokol kesehatan atau aturan imigrasi negara.
Hal ini juga dibuktikan dengan mulai dibangunnya hotel-hotel mewah seperti Banyan Tree dan Jumeirah di Bali yang menunjukkan bahwa pulau ini semakin menjauh dari liburan ala backpacker.
2.Fiji
Selama pandemi, Fiji memposisikan dirinya sebagai tempat peristirahatan bagi para miliarder. Pada Juni 2020, negara itu meluncurkan 'Jalur Biru' bagi para 'yatcher' yang ingin melarikan diri dari pandemi di surga.
Dalam sebuah tweet, Perdana Menteri Fiji Frank Bainimarama mengundang para miliarder dengan jet pribadi untuk menyewa pulau mereka sendiri.
Sebelum pandemi, industri pariwisata di negara ini telah menyumbang 38 persen dari ekonomi. Untuk memulai kebangkitan, negara ini terus fokus pada perjalanan mewah.
Badan Perencanaan Tourism Fiji berjanji untuk menarik dan memperluas segmen pelancong bernilai tinggi dan mendorong pertumbuhan pengeluaran pengunjung untuk mempromosikan pariwisata berkelanjutan untuk 2022 hingga 2024.
3. Hawai'i
 pemandangan pelangi di Hawaii (Foto: iStockphoto/tobkatrina) |
Tahun lalu, Hawai'i memerangi masuknya turis dari Amerika Serikat yang berbondong-bondong ke pulau itu sebagai pelarian bebas karantina. Kekurangan pekerja perhotelan, jalanan macet dan waktu tunggu restoran 90 menit hanyalah beberapa masalah yang dihadapi.
Overtourism yang tidak berkelanjutan tidak hanya membebani infrastruktur lokal tetapi juga ekosistem pulau yang beragam. Hawai'i sekarang berharap untuk menghalangi wisatawan dan mendukung penduduk setempat dengan menaikkan harga.
Biaya telah digandakan untuk kegiatan populer bagi turis luar negeri. Banyak dewan lokal yang menggembar-gemborkan gagasan biaya dampak berkunjung untuk atraksi wisata lain.
4. Kepulauan Cayman
Kepulauan yang terletak di seberang laut Britania Laut ini sudah lama menjadi surga bagi para pelancong mewah. Kini mereka berusaha untuk mengamankan citra kelas atas bahkan selama pandemi.
Pada tahun 2020, Global Citizen Concierge Program (GCCP) memberikan kesempatan bagi pekerja jarak jauh untuk menjadikan kepulauan ini sebagai rumah bagi mereka yang berpenghasilan lebih dari U$100.000 atau sekitar Rp1,5 Miliar per tahun.
Mereka dapat mengajukan permohonan visa dua tahun dengan biaya tahunan sebesar US$1,469 atau sekitar Rp21,5 juta.
Dari situs web pariwisata resmi negara itu juga mengundang para profesional dan nomaden digital untuk bisa menikmati kehidupan di tempat terpencil dengan segala kemewahan, petualangan, budaya dan keindahan Kepulauan Cayman.
5. Monstserrat
Jika ingin tinggal di pulau pegunungan Karibia Monstserrat ini, Anda harus memiliki penghasilan di atas US$70.000 atau Rp1 Miliyar pertahun.
Program Remote Work Stamp yang diluncurkan Februari 2021 silam mengundang nomaden digital berpenghasilan tinggi untuk bekerja dari jarak jauh dan aman di lokasi yang eksotis.
6. Selandia Baru
 Pemandangan Jembatan Auckland di Selandia Baru. (Foto: iStockphoto/kokkai) |
Skeman pemulihan pariwisata pasca pandemi Selandia Baru menargetkan orang-orang dengan kekayaan bersih tinggi.
"Ini bukan orang-orang yang akan tidur di dalam van kemping dan berkeliling negara kita dengan US$10 (sekitar Rp150 ribu) sehari dengan memakan mie," kata Menteri Pariwisata Stuart Nash saat menghadiri konferensi Dewan Ekspor Pariwisata Selandia Baru pada Agustus kemarin.
Sebaliknya, ia ingin menarik pengunjung yang menghabiskan lebih banyak uang dan mau tinggal sedikit lebih lama.
Selandia Baru akhirnya membuka kembali pembatasannya pada Agustus kemarin. Dengan rencana untuk mengelola industri pariwisata dengan lebih baik dengan menghindari kepadatan penduduk dan meningkatkan keberlanjutan.
7. Thailand
Industri pariwisata Thailand berangsur-angsur pulih setelah dihantam pandemi Covid-19. Pembatasan ini menguji kesediaan pengunjung untuk membayar skema karantina yang mahal.
Citranya yang dikenal sebagai negara yang ramah backpacker ini mulai beralih, pemerintah telah meminta pihak hotel dan bisnis untuk menahan diri dari memikat wisatawan dengan diskon yang besar.
"Kami tidak bisa membiarkan orang datang ke Thailand dan mengatakan karena murah," kata Wakil Perdana Menteri Anutin Charnvirakul di sebuah acara pariwisata pada Juli 2022.
Sebaliknya, ia menyarankan negara itu harus fokus untuk meingkatkan nilanya sebagai tempat wisata premium.
Negara Gajah Putih berharap dapat memikat nomaden digital berpenghasilan tinggi dengan visa 'bekerja dari Thailand'. Kesempatan ini hanya terbuka bagi mereka yang berpenghasilan lebih dari US80.000 atau sekitar Rp1,2 miliyar per tahun.