Belakangan ini, dunia maya sering dihebohkan oleh istilah fetish. Teranyar, media sosial Twitter kini diramaikan fetish foto KTP.
Hal itu terkuak melalui tangkapan layar yang tersebar di Twitter. Tak ayal, warganet pun beramai-ramai meresponsnya.
Beberapa orang menduga bahwa fetish tersebut adalah bentuk penipuan yang meminta seseorang menunjukkan gambar KTP, yang secara tidak langsung memperlihatkan informasi pribadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, apa pun niat yang ada di baliknya, fetish tetaplah fetish. Istilah ini merujuk pada kondisi seseorang untuk mendapatkan gairah seksual dari suatu objek. Sering kali objek fetish terlihat aneh, mulai dari ketiak, kaki, dan masih banyak lagi.
Mengutip Global News, faktanya, dalam fetisisme, subjek yang disenangi tak selalu terkait dengan hubungan seksual. Hal ini juga yang bisa jadi salah satu alasan mengapa subjek fetish selalu terasa aneh.
Fetish foto KTP bisa jadi salah satu contoh nyatanya. Jika dipikir-pikir, tak ada hubungan antara foto KTP dengan gairah seksual.
Para ahli kini memahami bagaimana fetish berkembang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pembentukan fetish terpengaruh oleh imprinting behaviour dan pengkondisian Teori Pavlov. Keduanya kira-kira mengatakan bahwa proses pembelajaran terbentuk melalui stimulus dari lingkungan dan bersifat alamiah.
Dari perspektif itu, fetish dilihat sebagai hasil dari mengasosiasikan pengalaman seksual dan penghargaan dengan objek, tindakan, atau bagian tubuh yang belum tentu bersifat seksual. Hal ini mungkin menjadi alasan mengapa masing-masing orang memiliki fetish yang berbeda dan cenderung aneh.
![]() |
Dulu, banyak peneliti mengklaim fetish sebagai kelainan atau penyimpangan seksual. Namun di zaman kiwari, ahli justru memiliki pandangan yang berlawanan.
Banyak peneliti saat ini yang menganggap fetish menjadi berbahaya hanya jika menyebabkan penderitaan, kerusakan fisik, atau melanggar consent.
Psikiater Kenneth Rosenberg mengatakan bahwa fetish bukan termasuk gangguan seksual. Namun, fetish bisa mencapai level gangguan seksual jika menyebabkan penderitaan yang intens dan bertahan lama bagi seseorang.
"Perilaku mereka tidak menarik, menyenangkan, atau bahkan seksi. Mereka tidak hanya bereksperimen dengan cara baru untuk ekspresi seksual. Mereka putus asa, kompulsif, dan terkadang sangat tertekan oleh perilaku mereka sehingga mempertimbangkan untuk bunuh diri," kata Rosenberg, mengutip WebMD.
Jika kondisi ini terjadi, lanjutnya, maka bisa memicu gangguan hubungan sosial hingga kemampuan beraktivitas sehari-hari.
(del/asr)