Istilah 'kaum rebahan' kini tampaknya tengah menjadi fenomena sendiri. Istilah ini ramai digunakan oleh banyak orang.
Istilah ini merujuk pada orang-orang yang malas bergerak untuk melakukan banyak hal. Alih-alih bergerak, rebahan selalu jadi pilihan menarik.
Teranyar, banyak anak muda China dikabarkan memilih menjadi 'kaum rebahan'. Pilihan ini dibuat dalam merespons tuntutan sosial di China yang dinilai terlalu tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka memilih 'menyerah' atau dalam istilah China disebut sebagai 'bailan'. Secara harfiah, bailan berarti membiarkan membusuk.
Bagaimana dengan di Indonesia? Apakah hal yang sama bisa terjadi?
Rebahan memang bisa dimaknai sebagai perilaku malas-malasan, 'gabut', istirahat, atau makna lainnya. Psikolog klinis Nuzulia Rahma Tristinarum menilai fenomena kaum rebahan yang terjadi di China dan Indonesia adalah dua hal berbeda.
Di China, Rahma menilai, pilihan untuk menjadi kaum rebahan dilatarbelakangi oleh emosi tertentu. Di antaranya lelah secara mental, takut, cemas, bosan, dan kering dari rasa kasih sayang.
"Rebahan di China dimaknakan sendiri oleh sebagian dari mereka sebagai 'biarkan membusuk'. Ini adalah bentuk kelelahan emosional," kata Rahma melalui pesan singkat pada CNNIndonesia.com, Rabu (5/10).
Tuntutan-tuntutan, lanjut dia, hadir tanpa disertai rasa kasih sayang dan pemaknaan positif. Kondisi ini tak ayal membuat manusia menjadi seperti robot.
Hal ini tercermin dalam budaya kerja kompetitif, tidak memanusiakan manusia, melihat segala sesuatu dari keberhasilan materi hingga akhirnya membuat orang jadi burnout hingga depresi.
Bailan alias rebahan pun jadi pilihan karena beberapa faktor. Rahma berkata, faktor ini antara lain rendahnya ketahanan mental, kemampuan menyelesaikan masalah (problem solving skill) yang minim, dan ada emosi tertentu yang turut berperan.
![]() |
Berbeda dengan di Indonesia. Menurut Rahma, budaya di Indonesia masih mengedepankan rasa kasih sayang, peduli, dan empati dalam keluarga serta masyarakat.
"Pola asuh orang tua Indonesia juga berbeda dengan di China, sehingga rebahan di Indonesia bukan dilatarbelakangi oleh kelelahan emosional, melainkan karena hal lainnya," katanya.
Alih-alih tuntutan sosial, Rahma menduga pilihan menjadi kaum rebahan di Indonesia muncul akibat pola asuh yang terlalu memanjakan, sistem belajar yang kurang memupuk kemampuan menyelesaikan masalah, dan ketahanan mental. Faktor-faktor inilah yang membuat banyak anak muda Indonesia memilih hidup santai.
Hanya saja dalam kondisi tertentu, rebahan tidak selalu dipandang sebagai sesuatu yang buruk.
"Kalau rebahan dimaknakan sebagai istirahat, yang perlu diperhatikan adalah frekuensi melakukannya. Kalau berlebihan juga tidak baik," imbuhnya.
(els/asr)