Belum lama ini viral sebuah video yang menunjukkan turis perempuan yang mendapatkan catcalling pada malam hari saat berjalan kaki di trotoar kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Dalam video itu, pelaku catcalling, yang merupakan seorang sopir taksi, seolah menggoda dan meneriaki beberapa kalimat tidak senonoh kepada turis tersebut.
"Very nice babe," kata sopir taksi itu sambil tertawa berulang kali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski pelaku sudah diberi teguran dan sanksi tegas, perlakuan catcalling tidak lagi semestinya dibiarkan. Catcalling juga tak bisa dianggap sekadar candaan wajar.
Menukil berbagai sumber, catcalling adalah bentuk pelecehan verbal yang diberikan pada korban. Catcalling mencakup berbagai komentar merendahkan berbau menggoda dan bersifat seksual pada seseorang di tempat umum.
Perilaku ini juga dapat berbentuk siulan, membunyikan klakson mobil, gerakan dan pernyataan vulgar, menguntit, dan masih banyak lagi.
"Mau kemana, cantik?"
"Senyum dong!"
"Abang antarkan yuk, neng!"
Ucapan-ucapan seperti ini masih dianggap 'lumrah' oleh banyak orang. Pasalnya, catcalling dianggap hanya sebentuk kalimat. Beberapa orang bahkan menganggapnya sebagai pujian.
Catcalling bukanlah sebuah pujian. Justru, kata-kata yang dilontarkan pelaku merupakan kata-kata yang lebih ke arah intimidasi dan terkadang memiliki maksud serta tujuan tertentu.
![]() |
Catcalling dapat berdampak pada setiap aspek kesehatan seseorang. Dari mental, seksual, fisik, sosial, hingga pekerjaan. Jenis pelecehan seksual ini dapat sangat merugikan kesehatan mental korban dalam jangka pendek dan juga panjang.
Dalam jangka pendek, korban mungkin merasa marah, kesal, malu, terancam, dan takut bahwa situasi yang dialaminya akan terjadi kembali.
Catcalling juga dikaitkan dengan peningkatan ketakutan dan persepsi risiko pemerkosaan. Efeknya bisa sangat berbahaya ketika sekelompok pria memanggil seorang wanita yang sedang sendirian.
Selain itu, mengalami pelecehan catcalling berhubungan dengan objektifikasi diri bagi perempuan. Objektifikasi diri dapat membuat wanita merasa malu dan cemas akan penampilannya.
Selain itu, objektifikasi diri terkait dengan hasil kesehatan mental yang buruk termasuk gejala depresi dan gangguan makan. Bahkan, catcalling dikaitkan dengan penurunan produktivitas, terutama jika pelecehan terjadi di tempat kerja.
Memiliki tingkat objektifikasi diri yang tinggi dapat berdampak serius pada rasa percaya diri seseorang terhadap seksualitas mereka yang dapat menyebabkan kesehatan seksual yang buruk.
Di Indonesia, catcalling dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Komnas Perempuan menyebut catcalling dilarang oleh Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
(del/asr)