Dilaporkan The Kit, studi Kinsey Institute menemukan sebanyak 75 persen pasangan yang tinggal bersama mengalami penurunan hubungan seks selama karantina 2020. Sementara di kalangan lajang, survei pada 2020 oleh Pew Research menemukan 64 persen orang mengaku sulit berkencan.
Sekilas, resesi seks hingga mengancam populasi sepertinya tidak terjadi di Indonesia. Namun Kepala Badan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, mengungkapkan, resesi seks bisa saja terjadi salah satunya disebabkan perceraian.
"Pada 2021 angkanya (perceraian) nambah lagi jadi 580 [ribu]. Dengan tingginya orang bercerai, potensi resesi seks ini bisa terjadi," kata Hasto pada CNNindonesia.com beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya angka perceraian yang tinggi, resesi seks berpotensi terjadi di Indonesia karena beberapa hal berikut.
Lajang bukan berarti 'tidak laku' tetapi memang pilihan. Tidak sedikit anak muda yang memilih untuk melajang karena memprioritaskan karier atau pendidikan. Seks dan pernikahan bukan ide menarik apalagi perlu biaya besar untuk menghidupi anak dan keluarga.
Menikah memang tidak terpancang usia apalagi jika anak tidak masuk dalam agenda. Dulu trennya menikah itu di usia cukup muda yakni 18-23 tahun. Namun kini pernikahan kerap dieksekusi di usia 30-an.
"Kira-kira usia 30-an baru pada nikah. Kan susah hamil," imbuh Hasto.
Gaya hidup kekinian cenderung merupakan gaya hidup tidak sehat misalnya begadang dan konsumsi junk food. Gaya hidup seperti ini jelas mempengaruhi kesuburan.
Kesadaran akan kesehatan mental memang meningkat selama beberapa tahun terakhir. Orang semakin mengenal kondisi dirinya sehingga ada pertimbangan lebih untuk menikah dan memiliki anak.
(els/wiw)