Khitan atau sunat sendiri berarti 'memotong'. Dalam Islam, sunat berarti memotong kulit kulup kepala penis pada laki-laki dan memotong daging bagian ujung klitoris perempuan.
Buya Husein menyebut bahwa sunat pada perempuan memiliki istilahnya sendiri, yakni dikenal dengan sebutan khafdh atau khifadh. Khifadh merupakan kata asli untuk sunat perempuan dalam Islam.
Menurut Buya Husein, penamaan ini menjadi hal yang perlu disorot. Sebab, khifadh justru memperlihatkan makna yang berbeda dari apa yang sering dikesankan atau dibayangkan banyak orang tentang sunat (pemotongan).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam hal sunat, secara harfiah 'khifadh' berarti mengurangi, menyederhanakan, atau mengambil sedikit.
"Dalam hal ini, mungkin lebih tepat diterjemahkan menggoreskan atau menorehkan. Pemaknaan ini tentu jauh dari apa yang disebut memotong atau menggunting," kata dia.
Bukan cuma itu, menurut Buya Husein, ahli fikih, Syeikh Al Qardhawi mengatakan bahwa sunat perempuan tidak wajib dilakukan.
فأما الختان فواجب على الرجال و مكرمة في حق النساء ، و ليس بواجب عليهن ، هذا قول كثير من أهل العلم .
Artinya:
"Khitan adalah wajib bagi laki-laki dan kehormatan bagi perempuan, tidak wajib. Ini pendapat mayoritas ulama,".
"Pandangan Syeikh al Qardhawi ini semakin menjelaskan, khitan perempuan bukanlah bagian dari keputusan agama, melainkan keputusan tradisi, adat istiadat, atau budaya," kata Buya Husein.
![]() |
Akademisi sekaligus anggota Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Nur Rofiah juga menyebut sunat pada perempuan tidak bisa serta merta disandingkan dengan agama Islam.
"Saya rasa tidak benar kalau terus dipaksakan dengan dalih agama Islam," kata Nur saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Nur memastikan, Al-Qur'an, sebagai sumber utama Islam, juga sama sekali tidak menyebutkan isu sunat, terutama yang harus dilakukan perempuan.
"Tidak ada hadis masyhur tentang khitan perempuan yang menunjukkan bahwa praktik ini [sunat perempuan] syariat. Seandainya khitan perempuan itu syariat, pasti akan dipraktikkan oleh seluruh keluarga Muslim di masa Nabi Muhammad," jelas Nur.
Tradisi khitan memang dilakukan di masa Nabi Ibrahim. Tapi, tak ada anjuran secara eksplisit bahwa itu juga dilakukan oleh perempuan.
Staf pengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah ini juga berpendapat, anggapan soal sunat perempuan yang dilakukan untuk menekan hawa nafsu terlalu memberikan kesan negatif.
Jika sunat hanya dilakukan dengan alasan di atas, maka menurut Nur sama saja dengan menganggap perempuan sebagai makhluk yang berpotensi mengumbar nafsu seksual. Pandangan ini, lanjutnya, jelas-jelas telah merendahkan martabat dan kehormatan perempuan.
"Sesungguhnya tidak ada bukti bahwa perempuan tanpa khitan selalu memperlihatkan keliaran dan kebinalan. Sebagaimana juga perempuan yang dikhitan, tidak liar atau binal. Tidak ada relevansi moral antara sunat dengan keliaran perempuan," kata dia.