Ahli Sebut Orang Flexing di Medsos Cenderung Punya Masalah Kehidupan

CNN Indonesia
Minggu, 26 Feb 2023 10:35 WIB
Ahli menilai orang yang menunjukkan perilaku flexing atau pamer kekayaan di media sosial cenderung memiliki masalah ketidakamanan dan harga diri yang rendah.
Ilustrasi. Perilaku flexing di media sosial. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma)
Jakarta, CNN Indonesia --

Psikologi sosial dari Universitas Indonesia Dicky C. Pelupessy, Ph.D. menilai orang yang menunjukkan perilaku flexing atau pamer kekayaan di media sosial cenderung memiliki masalah in security atau ketidakamanan dan self-esteem atau harga diri yang rendah.

"Sebenarnya kalau kita lihat dari kacamata psikologis, di situ ada problem dengan self-esteem orang tersebut. Ada problem dengan rasa aman, rasa nyamannya, jadi ada in security yang kemudian dia cari kompensasinya," kata Dicky kepada Antara, dikutip Minggu (26/2).

Menurut Dicky, setiap manusia memiliki self atau diri atau dapat diterjemahkan sebagai kesadaran tentang dirinya sendiri yang menjadi penggerak dari perilaku seseorang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketika kesadaran diri dan rasa penghargaan terhadap dirinya sendiri rendah, seseorang ingin mendapatkan pengakuan dan pujian bahwa dirinya lebih baik yang datang dari luar dirinya atau orang lain. Yang menjadi masalah, sebagian orang merasa bahwa flexing bisa dijadikan sebagai cara kompensasi untuk mendapatkan pengakuan tersebut.

"Dia berusaha mengompensasi dengan cara flexing. Dia pikir kalau, 'Saya punya harta benda yang mahal, yang mungkin tidak semua orang bisa miliki, terbatas', dia pikir itu akan membuat dia akan dinilai orang lebih baik dan lebih hebat. Kemudian nanti, 'Saya akan mendapat sehingga saya merasa aman dan nyaman'," jelas Dicky.

Apabila seseorang tidak bisa berdamai dengan dirinya, maka orang tersebut akan merasa cemas terus-menerus, termasuk merasa tidak aman dan rendah diri terus-menerus. Jika hal ini terus ditumpuk, maka akan menimbulkan masalah secara psikologis.

Dijelaskan Dicky, agar tidak terjebak pada perilaku flexing, setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan dengan menerapkan counter thinking dan berpikir sejenak sebelum mengambil tindakan.

Pertama, posisikan-lah diri sendiri sebagai audiens atau orang lain yang akan melihat dan merespons unggahan flexing di media sosial.

Kedua, carilah cara kompensasi lain yang mungkin dapat dilakukan untuk meningkatkan harga diri selain flexing.

"Memikirkan kira-kira apa, sih, reaksi orang ketika melihat saya flexing. Apakah kemudian beneran mereka akan memuji-muji saya, membuat saya terasa lebih hebat. Ataukah kemudian sebetulnya orang biasa saja (tidak memuji)," ucap Dicky.

Dicky menambahkan, orang-orang terdekat juga bisa turut andil untuk menegur atau mengingatkan bahwa perilaku flexing tidak selalu berujung mendapatkan pujian dan justru akan mendapat cibiran dan publik menganggapnya biasa saja.

"Kalau kita jadi orang yang kenal dekat, tidak apa-apa mengingatkan. Bahwa 'Kalau kamu memamerkan kekayaan, itu tidak lantas membuat orang terkesan, bahkan mungkin bisa jadi yang kamu dapatkan adalah cibiran. Dan mungkin orang akan menganggap itu sesuatu yang biasa saja'," tutur Dicky.

Perilaku flexing terbaru yaitu Mario Dandy Satrio yang merupakan anak pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo. Mario terbukti bersalah karena telah menganiaya putra pengurus GP Ansor bernama David.

Mario kedapatan melakukan flexing dengan kendaraan-kendaraan mewah di media sosial yang kemudian menjadi sorotan netizen.

Akibat kasusnya tersebut, ayah Mario, Rafael membuat surat terbuka dan menyatakan berhenti dari status ASN DJP Kemenkeu. Namun surat tersebut belum diterima pihak DJP.

(antara/mik)


[Gambas:Video CNN]
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER