Bangun Sekolah Mode
Kesuksesan Irna La Perle dan keseriusan Irna menekuni busana muslim membuatnya dilirik oleh Kementerian Perindustrian untuk menjadi mentor bagi UMKM daerah pada 2014.
Irna mulai menularkan ilmu dan pengalamannya di industri mode. Dari satu daerah ke daerah lain, ia menjadi mentor bagi pelaku usaha yang mayoritas perempuan. Perjalanan ini membuatnya makin sadar bahwa Indonesia begitu kaya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kekayaan ini tertuang dalam mode mulai dari wastra, detail berupa bordir, sulam, motif dan masih banyak lagi. Namun, tanpa inovasi, Irna tak yakin kekayaan ini bakal terus bisa dinikmati hingga generasi-generasi berikutnya.
"Tipikalnya, perajin daerah itu turun-temurun, kadang takut mengubah pakem misal, Minang itu kan warnanya jreng saja, padahal anak muda sekarang mungkin enggak cocok dengan warna seperti itu. Atau mungkin merasa sudah laku, padahal dari tahun ke tahun [penjualannya] menurun," ungkapnya.
Irna merasa hal tersebut adalah PR besar. Dia menilai perlu ada pergerakan sekaligus pembaharuan agar semua itu lestari. Ilmu memang bisa dibagi tetapi yang jadi persoalan adalah tak memungkinkan jika ia harus tinggal di suatu daerah berbulan-bulan untuk mentoring dan monitoring.
Kemudian ia berpikir untuk mendirikan sekolah. Para perajin memiliki generasi muda sehingga harapannya para muda ini menimba ilmu sebanyak mungkin lalu membawanya ke daerah asal. IFI pun berdiri pada 2015.
"Dengan belajar, mereka bisa berkarya di daerahnya. Saya kalau masuk kelas, saya tanya [mereka] dari daerah mana. Ada yang dari Batam, Riau, lalu [wilayah] Sumatera, Tegal, Semarang. Mereka punya apa di daerah, itu dikreasikan," katanya bersemangat.
Dalam agenda Muffest+ 2023 ini pun Irna mengajak murid-murid IFI, salah satunya murid dari Tegal. Dia menilai agenda mode seperti ini akan memberikan pengalaman lebih luas dan beda dibanding jika ia tetap di Tegal.
Pun ia memberikan kesempatan para murid untuk magang di jenamanya. Selain Irna La Perle, Irna juga memiliki dua jenama mode lain yakni, U2d dan IM Syar'i.
Sementara itu, Irna melihat industri busana muslim layaknya lokomotif yang menarik sejumlah gerbong saat dilihat dari kacamata ekonomi.
Busana muslim, kata dia, terdiri dari beberapa elemen dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dalam satu potong busana saja terdapat bordir, payet atau detail lain. Otomatis, ada banyak tangan yang terlibat.
![]() Model membawakan kostum rancangan Irna Mutiara bersama Siswi SMK NU Banat Kudus dalam peragaan busana bertajuk "Miracle Of The Sun" pada rangkaian acara Indonesia Fashion Week 2015 hari kedua. Jakarta, Jumat, 27 Februari 2015. CNN Indonesia/Adhi Wicaksono. |
"Seorang desainer, ada kemampuan sebagai kreator, dia adalah lokomotif dan gerbongnya banyak. Tidak hanya pabrik tekstil, ada [pelaku mode] tradisional juga, penjahitnya, kalau pakai manik-manik ada pemayetnya, pembordir, akan banyak," imbuhnya.
Kini lulusan IFI ada sekitar 300 orang. Bisa dibayangkan jika mereka semua jadi desainer atau kreator, ada begitu banyak 'gerbong' yang turut dalam perjalanan. Sekolah ini juga jadi langkah menciptakan generasi penerus meski harus disadari hal ini juga berarti menciptakan pesaing baru.
"Saya juga menciptakan pesaing sendiri karena murid-murid saya," katanya disusul tawa.
"Tapi naturalnya seperti itu, kita sudah [selesai] lalu digantikan, terus berputar."
(chs)