Heboh Tiktoker asal Lampung Bima Yudho Saputro disebut menyinggung Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarno putri dengan kata 'Janda'.
Dia pun menyampaikan permintaan maafnya dan menyebut ucapannya itu hanya sekadar mengungkapkan isi hatinya mengenai gagalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20.
"Di situ tuh, gue tidak bermaksud untuk menggunakan konotasi janda itu kayak buruk ya. Gue bilang karena mengungkap kekesalan gue ketika itu Piala Dunia dibatalkan. Gue cuma menyuarakan isi hati gue sendiri," ujar Bima mengutip dari akun media sosialnya tersebut, Senin (24/4) pagi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Gue minta maaf guys, emang gue anak muda yang masih berapi-api gitu kan. Gue minta maaf banget. Tapi jangan sampai lupa dengan kritik-kritik yang sudah gue sampaikan," kata Bima.
Tak dimungkiri kalau kata janda memang punya stigma yang terkesan negatif di masyarakat. Janda seringkali dianggap sebagai perempuan yang tidak benar, bukan perempuan baik-baik, perempuan yang tidak patuh, serta perempuan nakal dan penggoda sampai pelakor.
Mengutip KBBI, janda berarti wanita yang tidak bersuami lagi karena bercerai ataupun karena ditinggal mati suaminya. Pengertian tersebut tepat adanya dan sesungguhnya tidaklah bernada negatif. Namun mengapa saat ini janda dianggap punya konotasi negatif?
Berdasarkan pandangan pengamat sosial budaya, Devie Rahmawati, stigma negatif soal janda di Indonesia muncul karena sejumlah alasan. Hanya saja faktor utamanya adalah relasi yang tumpang tindih di masyarakat patriarki seperti di Indonesia.
"Perempuan di Indonesia yang sendirian, tanpa pendampingan dari laki-laki itu rentan dengan label-label apapun," ujar Devie.
Saat ada pendampingan suami, pandangan terhadap perempuan menjadi lebih kuat karena ada yang melindunginya. Ini pula yang berhubungan dengan stigma perempuan penggoda.
"Ketika tidak ada suami, maka perempuan lebih rentan digoda. Memperkuat stigma bandel. Jika ada suami, maka akan ada yang marah dan melindungi," ujar Devie.
Hal ini disebut menempatkan laki-laki sebagai pemimpin yang dihormati dan perempuan sebagai sosok yang lemah.
Saat ada pendampingan suami, pandangan terhadap perempuan menjadi lebih kuat karena ada yang melindunginya. Ini pula yang berhubungan dengan stigma perempuan penggoda.
Di Indonesia, Devie melihat terdapat dua jenis janda yang dipandang dengan berbeda yakni janda cerai dan janda yang ditinggal mati.
Jandi cerai lebih lekat dengan stima dibandingkan dengan janda yang ditinggal mati oleh suaminya. Janda mati lebih dihormati, apalagi jika ia memutuskan untuk tidak menikah karena dianggap masih menjaga kehormatannya. Sesuatu yang sangat dinilai oleh masyarakat Indonesia.
Pelabelan tersebut pada akhirnya menyebabkan perempuan lebih memilih untuk bertahan dalam pernikahan yang buruk.
Lyn Parker, profesor dan salah satu dosen di University Of Western Australia Stigmatisasi dalam makalahnya yang berjudul The Stigmatization of Widows and Divorcées (Janda) in Indonesian Society", menyebut bahwa stigmatisasi janda bisa dianalisis dari institusi perkawinan.
Insitusi tersebut menstigmakan bahwa idealnya seorang perempuan itu harus menikah, di luar itu adalah salah.
Hal ini juga digunakan untuk mengukuhkan UU perkawinan. Dengan adanya berbagai institusi tersebut kemudian menstigmakan bahwa seolah perceraian tidak patut terjadi.
Stigma yang melekat pada perempuan yang diceraikan atau janda tidak hanya dikaitkan dengan status sosial dan ekonominya tetapi juga dengan seksualitasnya. Penelitian etnografi tentang pengalaman pernikahan pria dan wanita menunjukkan hal itu perempuan dan janda yang bercerai menanggung beban stigma yang jauh lebih berat daripada laki-laki.
(chs)