Kisah Ida Ayu Puspa Eny, Pembuat Arak Iwak yang Tak Suka Minum Arak
Nama Iwak Arumery tentunya tak asing lagi buat para pecinta arak Bali. Nama brand arak ini makin mencuat usai menjadi souvenir KTT G20 di Bali beberapa waktu lalu.
Di balik kesuksesannya, ada beragam cerita Ida Ayu Puspa Eny, sang pemilik Iwak Arumery untuk mengembalikan kejayaan arak Bali.
Tak pernah terpikirkan dalam benak Ida Ayu Puspa Eny bahwa dia bakal menjadi seorang pengusaha arak Bali. Dia adalah seorang pengusaha olahan daging, khususnya bebek, tentu tak ada sangkut-pautnya dengan arak, apalagi dia juga bukan seorang peminum arak.
"Saya itu nggak suka minum arak, cium baunya saja saya nggak suka," ucap wanita yang disapa Dayu ini kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu di Hotel Jimbaran Puri.
"Saya bukan peminum tapi saya tahu sedikit soal pengobatan, karena saya sering sakit. Dulu kakek sering ramu obat-obatan dicampur arak."
Meski tak menjelaskan apa penyakitnya saat itu, dia bercerita bahwa dulunya rumah sakit hanya ada beberapa dan belum ada fasilitas rawat inap dan opname. Sehingga tiap kali ke rumah sakit, Dayu harus menempuh perjalanan pulang pergi yang jauh.
Lihat Juga : |
Sembari mengenang kembali masa lalunya, dengan mata yang berbinar dan bola mata yang membesar, Dayu menceritakan bagaimana sang kakek membuatkan ramuan obat-obatan tradisional untuk menyembuhkannya. Tentunya di dalam campuran itu ada arak Bali.
"Arak Bali sudah ratusan tahun, orang Bali anggap ini adalah obat tradisional. Kami kenal dari dulu sebagai obat memperlancar darah,untuk penghangat. Bahkan dulu kalau batuk ada ramuan dari umbi-umbian ditambah sedikit arak. Dengan demikian akan lebih cepat sembuh karena parunya agak dingin, dihangatkan sama arak, jadinya lega. Selain itu kalau sariawan juga bisa dikumur pake arak."
"Tapi kalau dulu, arak itu dibuat dengan campuran dulu dipake dari janin binatang atau plasenta. Tapi binatang yang makananya rumput misalnya sapi, kambing. Itu untuk kesehatan. Tapi kalau sekarang ya sudah tidak pakai itu lagi."
Meski demikian, Dayu tak menampik meski arak adalah bagian dari warisan budaya, namun arak juga punya citra yang negatif. Tak dimungkiri, sebagai minuman fermentasi dan beralkohol, arak memang kerap disalahgunakan dan dipakai sebagai minuman untuk mabuk-mabukkan.
Hal itulah yang juga membuat citra arak Bali jadi luntur dan perlahan menghilang seiring semakin ketatnya aturan soal minuman beralkohol. Sayangnya, banyak warga yang menggantungkan hidupnya sebagai petani arak Bali. Keahlian tunggal membuat arak dan alam yang cocok untuk tanaman penghasil arak yaitu kelapa dan lontar membuat petani arak kerap berteriak-teriak saat aturan makin ketat.
Dayu, termasuk salah satu di antara petani arak, namun saat itu dia lebih fokus dengan bisnis daging bekunya. Cara membuat arak yang didapat dari kakeknya dipakai hanya untuk membuat arak di kalangan keluarga dan teman.
Tak terhitung berapa kali dia dan petani arak lainnya disambangi aparat, begitu dia menyebutnya. Ada yang hanya menegur, menyita arak, bahkan ada yang sempat meminta uang padanya.
"Sudah araknya sendiri citranya negatif dan banyak yang enggak suka juga karena dibilang rasanya seperti bensin. Petaninya juga teriak-teriak dan mengeluh dikejar aparat. Jadi dari situ saya berpikir gimana ya caranya membuat arak itu jadi legal. karena ini kan warisan budaya," katanya.
"Karena saya percaya, semua yang ada dari alam ini pasti ada manfaatnya. Seperti racun saja, kan ada manfaatnya, tinggal bagaimana memanfaatkan jadi sesuatu yang tidak beracun. Sama seperti arak, tinggal gimana aturan minumnya biar tidak memabukkan tapi bermanfaat buat kesehatan."
"Minum 1 sloki per hari, tiap hari sebelum tidur itu sehat badan bakal segar saat bangun."