Hening menyambut setiap langkah yang menapaki mulut Gua Batu Hapu. Dari celah-celah alami di dinding dan atapnya, sinar Matahari menyusup perlahan, memantul lembut di permukaan batu kapur berwarna pucat.
Cahaya itu terasa seperti menyaring waktu, membawa siapa pun masuk ke ruang alam yang tenang, sejuk, dan nyaris sakral.
Gua Batu Hapu berada di Desa Batu Hapu, Kecamatan Hatungun, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Lokasinya dapat ditempuh sekitar 31 kilometer dari Kota Rantau atau sekitar 37 kilometer dari situs bersejarah Tambang Oranje Nassau.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Akses menuju gua relatif mudah, bisa dilalui kendaraan roda dua maupun roda empat.
Nama 'Hapu' berasal dari bahasa masyarakat setempat yang berarti putih, merujuk pada warna dominan dinding gua. Putih itu bukan sekadar visual, melainkan penanda perjalanan geologi yang sangat panjang.
Secara ilmiah, Gua Batu Hapu terbentuk dari batu gamping Formasi Berai yang berumur sekitar 16-36,5 juta tahun, pada periode Oligosen hingga Miosen awal, ketika kawasan ini masih berada di laut dangkal dengan kedalaman kurang dari 30 meter.
Dengan puncak gua berada di ketinggian sekitar 120 meter di atas permukaan laut, Gua Batu Hapu memiliki mulut yang besar dan ruang dalam yang lapang. Di bagian interior, stalaktit, stalagmit, tirai gua, serta ornamen karst lainnya menghiasi ruang, terbentuk perlahan selama jutaan tahun oleh tetesan air dan waktu.
"Kalau masuk ke dalam, suasananya berbeda. Tenang dan sejuk, cocok untuk wisata alam, sekaligus edukasi," ujar Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Gua Batu Hapu, Pardiyana, mengutip Antara, Sabtu (20/12).
Jauh sebelum dikenal sebagai destinasi wisata, Gua Batu Hapu telah lama dimanfaatkan warga sekitar. Para petani mengambil kotoran kelelawar di dasar gua sebagai pupuk alami.
Di langit-langit gua, ribuan kelelawar bergelantungan, membentuk ekosistem khas yang hingga kini masih terjaga.
Gua ini menjadi habitat berbagai jenis kelelawar yang belum sepenuhnya teridentifikasi. Warga setempat mengenali setidaknya tiga warna kelelawar, putih, cokelat kemerahan, dan hitam yang hidup berdampingan di ruang gelap gua.
Perubahan fungsi gua mulai terasa sejak kedatangan warga transmigran pada era 1980-an. Seiring waktu, kawasan ini perlahan dilirik sebagai tempat rekreasi. Gua Batu Hapu bahkan sempat menjadi lokasi hiburan rakyat, salah satunya pertunjukan orkes melayu.
Pardiyana bersama sejumlah warga lain telah terlibat merintis dan menjaga gua ini sejak 1987. Jika dahulu kawasan ini belum tertata, kini upaya pelestarian dilakukan lebih serius agar gua tetap lestari dan memberi manfaat bagi masyarakat.
Sejak 2022, pengelolaan wisata dilakukan secara lebih terorganisir. Pokdarwis Gua Batu Hapu yang beranggotakan 16 orang aktif merawat kawasan, menjaga kebersihan, serta mendampingi wisatawan. Pembangunan taman dan fasilitas pendukung oleh aparat desa juga turut mendongkrak jumlah kunjungan.
Gua Batu Hapu di Kalimantan Selatan. (ANTARA/Bayu Pratama S) |
Wisatawan yang datang tidak hanya dari dalam negeri, tetapi juga dari berbagai negara seperti Australia, Italia, Portugal, hingga India. Dengan tiket masuk Rp5.000 per orang, Gua Batu Hapu menjadi destinasi wisata alam yang ramah di kantong.
Potensi Gua Batu Hapu kian menguat setelah ditetapkan sebagai bagian dari Geopark Meratus. Pada 2018, kawasan ini bersama 53 situs lainnya resmi menjadi Geopark Nasional.
Gua Batu Hapu tercatat sebagai situs ke-44 dan berada di jalur utara, yang merepresentasikan proses pembentukan Pegunungan Meratus.
Pengakuan internasional datang ketika UNESCO menetapkan Geopark Meratus sebagai anggota UNESCO Global Geopark (UGGp). Sertifikat tersebut diterima Gubernur Kalimantan Selatan Muhidin, didampingi Duta Besar Indonesia untuk Prancis Mohamad Oemar, di Paris pada 3 Juni 2025.
Kepala Desa Batu Hapu, Mardiono, menyebut status geopark membawa dampak besar bagi desa.
"Keberadaan Geopark Meratus memberi banyak manfaat. Gua Batu Hapu semakin dikenal, bukan hanya di tingkat nasional, tetapi juga internasional," katanya.
Meski demikian, ia mengakui masih ada tantangan, terutama soal permodalan untuk pengembangan kawasan wisata. Ia berharap status geopark dapat menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat untuk menjaga kawasan ini sebagai warisan bersama.
Di balik fakta geologi, Gua Batu Hapu juga menyimpan legenda lokal. Masyarakat setempat meyakini gua ini terbentuk dari pecahan kapal seorang anak durhaka yang dikutuk ibunya, Nini Kudampi, seorang janda miskin. Kisah tutur itu hidup berdampingan dengan penjelasan ilmiah tentang proses alam jutaan tahun silam.
Di perut Pegunungan Meratus, Gua Batu Hapu berdiri sebagai saksi perjalanan Bumi, menyatukan alam, sejarah, dan budaya. Cahaya putih yang menembus celah-celah batu bukan sekadar keindahan visual, melainkan simbol harapan, bahwa warisan geologi ini akan terus terjaga dan memberi makna bagi generasi mendatang.
(tis/tis)