Perselingkuhan ibarat malapetaka dalam rumah tangga. Tak jarang perselingkuhan menimbulkan trauma pada korban.
Misalnya saja rasa trauma yang dialami oleh perempuan korban perselingkuhan (31) yang mengaku depresi bahkan hingga sempat terpikir untuk mengakhiri hidup.
"Kejadian ini [perselingkuhan] benar-benar bikin saya depresi. Rasanya ingin mengakhiri hidup pada waktu itu. Sampai saat ini belum bisa saya lupakan," ujarnya dalam siaran diskusi Secret at Newsroom CNNIndonesia.com, Jumat (21/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perselingkuhan juga membuatnya bertanya-tanya jika dirinya kelak kembali mendapatkan pasangan, apakah pasangannya yang baru akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan mantan suaminya.
"Rasanya masih sulit untuk membuka hati," ujarnya.
Perselingkuhan memang bisa memicu trauma pada korban, bukan sekadar rasa sakit hati.
"Saya ingin meluruskan ya. Orang-orang berpikir kalau diselingkuhi itu, ya, sakit hati. Padahal, yang terjadi adalah trauma, bukan sekadar sakit hati," ujar konselor pernikahan Deny Hen dalam siaran yang sama.
Deny bahkan mengibaratkan trauma yang dialami korban perselingkuhan dengan tentara yang baru pulang dari medan perang. Rasa waspada dan takut akan kejadian yang sama bisa terus menghantui korban.
"Itu [alam] bawah sadarnya yang membuat dia [korban perselingkuhan] harus alert terus, harus waspada," ujar Deny.
Untuk itu, Deny menyarankan agar setiap pasangan yang pernah berurusan dengan perselingkuhan untuk mencari bantuan profesional demi memulihkan masalah.
Couple therapy jadi salah satu metode yang bisa dijalankan oleh pasangan. Psikolog Veronica Adesla mengatakan, terapi ini membuat pasangan untuk mendengarkan duduk perkara dari dua sisi.
"Dengan mendengarkan dari dua sisi, bisa terkonfirmasi mana yang benar dan tidak," ujar Veronica dalam siaran yang sama.
Pasalnya, sering kali permasalahan dalam rumah tangga, termasuk perselingkuhan, membuat masing-masing pihak membuat hipotesa sendiri tentang apa yang menjadi sumber masalah.
Setelah diketahui sumber masalahnya, pasangan bisa bersama-sama kembali bangkit untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Tujuannya, agar kesalahan dan trauma di masa lalu bisa meredam dan tak terulang.
"Keduanya jadi bisa lebih aware dengan apa yang jadi 'red note' untuk mereka. Misalnya, oh ternyata aku ada pengaruh dari masa lalu [contoh perselingkuhan], kemudian terbawa, lalu aku ingin mutusin [menyetop trauma] itu," ujar Veronica.