Kemunculan istilah hidung belang berkaitan dengan kisah cinta terlarang eks Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen dan anak tirinya. Seperti apa kisahnya?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hidung belang artinya laki-laki yang gemar mempermainkan perempuan. Oleh karenanya, hidung belang kerap digunakan untuk sebutan laki-laki yang melakukan tindakan kurang bertanggung jawab dan bernuansa seksual.
Akan tetapi, istilah ini tidak muncul begitu saja. Hidung belang secara harfiah memang berarti hidung dengan warna berbeda. Namun di balik itu, ada cerita tentang cinta terlarang di masa kolonial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menghimpun informasi dari berbagai sumber, ada seorang tentara Belanda yang bertugas di Batavia bernama Pieter Cortenhoeff. Usianya baru 17 tahun, tubuhnya tinggi, gagah, dan rupawan.
Wajahnya kerap mengalihkan dunia kaum hawa, termasuk Sara Specx. Specx merupakan anak putri pejabat Belanda Jacques Specx dengan perempuan Jepang. Putri hasil perkawinan tidak sah ini pun dititipkan pada J.P. Coen.
Rupanya, Coen tidak melihat Specx sebagai anak angkat. Tapi, lebih dari itu, Coen mencintainya.
Tak cuma Coen yang dibuatnya terpikat, tapi juga Cortenhoeff. Hanya saja, mendekati dan berpacaran dengan anak pejabat di lingkungan istana rasanya sulit kala itu.
Coen mencanangkan larangan perkawinan dan praktik pergundikan. Kalau nekat, ada ancaman hukuman bui dan hukum penggal. Kendati demikian, Cortenhoeff tak kehilangan akal.
Dia menyogok penjaga benteng agar dirinya bisa bertemu Specx. Sekali, dua kali, hingga berkali-kali upayanya mulus.
Akan tetapi, suatu ketika percintaan mereka terbongkar. Coen mendapati Specx berduaan di kamar dengan Cortenhoeff. Dia berang kemudian menjatuhi Specx hukuman cambuk, sedang Cortenhoeff dihukum mati.
![]() |
Sebenarnya, banyak pendeta tidak setuju akan putusan Coen, apalagi keduanya masih muda. Namun, Coen yang berpegang pada ajaran agama, menolak usulan grasi sebagai pengganti eksekusi mati. Terlebih, Specx lebih memilih Cortenhoeff ketimbang dirinya.
Hukuman diinisiasi di halaman Balai Kota yang kini disebut Kota Tua. Keduanya dipecut sembari digiring ke lokasi eksekusi. Hidung putih Conterhoeff dicoreng dengan arang hingga belang sebagai tanda ia melakukan tindak asusila.
Dia menjerit minta ampun hingga jelang eksekusi. Saat kepala Cortenhoeff terguling di tanah, sontak warga menyoraki 'hidung belang!'.
Dari sana, istilah hidung belang pun dilekatkan dengan tindak asusila hingga sekarang.
(els/asr)