Kecerdasan emosional (emotional intelligence) sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual (intelligence quotients). Orang tua sebaiknya menghindari ucapan-ucapan ini agar anak memiliki kecerdasan emosional tinggi.
Kecerdasan emosional mengacu pada kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengelola emosi diri sendiri dan emosi orang lain.
Melansir dari laman UNICEF, penting untuk menumbuhkan kecerdasan emosional anak karena dengan cara ini mereka lebih siap menghadapi tantangan hidup.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anak-anak yang cerdas secara emosional tahu cara mengelola perasaan negatif, berperilaku wajar meski keadaan berjalan tidak sesuai keinginan, dan tidak meninggalkan aktivitas saat keadaan sulit.
![]() |
Julia DiGangi, neuropsikolog dan penulis "Energy Rising: The Neuroscience of Leading with Emotional Power" membagikan tips sederhana membesarkan anak agar cerdas secara emosional.
Ada tiga kalimat yang sebaiknya dihindari agar kecerdasan emosional anak tinggi.
DiGangi menjelaskan otak diatur untuk unggul kapan pun dan di mana pun ia bisa. Kalau anak mengalami kesulitan, itu bukan karena mereka tidak ingin melakukannya dengan baik, melainkan mereka tidak mampu.
"Dengan kata lain, masalahnya bukanlah motivasi mereka. Hal ini terjadi karena adanya keputusan antara ekspektasi Anda sebagai orang tua dan kemampuan mereka," kata DiGangi dalam tulisannya di CNBC.
Dia menyarankan agar orang tua tidak buru-buru memberi anak cap kurang motivasi atau kurang niat. Orang tua melihat, misal, anak lebih banyak main gim ketimbang membaca buku.
Daripada 'Kenapa enggak suka baca buku?' lebih baik lontarkan pertanyaan terbuka misal 'Ibu lihat kamu suka main gim, memangnya apa yang kamu suka di permainan itu?'.
![]() |
Orang tua kadang merasa anak tidak mau mendengarkan mereka. Namun saat ditanya atau diselidiki lagi, ternyata bukan anak tidak mau mendengarkan tapi ia terdistraksi atau terganggu hal lain sehingga susah fokus.
DiGangi berkata otak anak terikat pada otonomi dan kebutuhan untuk menjelajahi dunia berdasar identitas mereka sendiri, bukan keyakinan orang tua tentang siapa mereka seharusnya.
Saat terjebak perselisihan dan anak tampak keras kepala, coba tanya pada anak; 'Apa ayah sudah dengerin kamu?'
"Orang tua yang cerdas secara emosional tidak berusaha untuk mendapatkan kepatuhan dari anak-anak mereka, tetapi untuk mendapatkan koneksi. Mereka perlu tahu bahwa Anda bersedia mendengarkan kebenaran pengalaman mereka," jelasnya.
Stok kesabaran yang mulai menipis kadang membuat orang tua mengambil kesimpulan terlalu luas terhadap perilaku anak.
Anak, misal, diberi cap tidak menghormati orang tua karena tidak mendengarkan ketika diminta mengerjakan PR. Cap 'tidak menghormati orang tua' padahal datang dari rasa 'insecure' orang tua.
Sebaiknya orang tua mengajukan pertanyaan terbuka, bukan menghakimi anak. Anak mendapat nilai buruk dalam ujian dan hal ini ditengarai akibat PR yang jarang dikerjakan.
'Ibu perhatikan nilaimu turun. Mau ngobrol sebentar? Ibu ingin tahu ada apa.'
DiGangi berkata perasaan anak menular pada orang tua. Saat anak terguncang, orang tua pun demikian. Saat emosi besar muncul, wajar jika ingin mengontrol emosi anak dengan menyuruhnya diam dan tenang.
"Namun sebagai orang tua, tugas Anda bukanlah mengendalikan emosi anak Anda, melainkan mengendalikan emosi Anda sendiri," imbuhnya.
(els/pua)