Puspa disebut-sebut menjadi srikandi PLBN Sota setelah Presiden Joko Widodo meresmikan tapal batas negara itu pada Oktober 2021. Awalnya, ia bertugas di PLBN Skouw.
Menyeka keringat, Puspa selanjutnya menjelaskan, PLBN Sota merupakan perbatasan dengan tipe C alias banyak dilewati pelintas tradisional.
Ia membeberkan, tapal batas antara Indonesia dan Papua Nugini ada tiga. Terlebih awal ada PLBN Skouw di Jayapura dengan tipe A. Mereka tergolong besar lantaran menjadi tempat aktivitas ekspor dan impor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara PLBN yang lain masih menunggu peresmian yang ditargetkan mampu dilakukan tahun ini, yakni PLBN Yetetkun di Boven Digoel juga bertipe C.
"Kalau di Skouw itu tipenya memang beda, tipe A, di mana jumlah pelintas itu 7.500 per bulan. Kalau tipe B itu antara 5.000-7.500, kalau yang di bawah itu tipe C seperti Sota dan Yetetkun, karena pelintasnya masih di bawah 5.000. Itulah tipologi PLBN yang ada di Indonesia ini," beber Puspa.
"Kalau rata-rata 20-30 orang per hari melintas di PLBN Sota. namun ada hari-hari tertentu yang semisal ada acara, karena masyarakat di sini dan masyarakat di sana itu ada yang masih satu keluarga. Jadi kalau ada acara adat, atau pernikahan, dari sana rombongan sini bisa hari itu 100-200 orang," imbuhnya.
Puspa mengatakan PLBN Sota hanya dilintasi para pejalan atau warga yang bersepeda motor. Aktivitas mereka memang hanya berkutat pada konsumsi sehari-hari. Namun tetap, setiap pelintas akan diperiksa.
Misalnya, para pelintas dari Papua Nugini harus membawa border pass travel. Tidak perlu paspor, mereka hanya wajib membawa kartu tersebut setiap ingin melintas ke Indonesia. Kartu tersebut berlogokan distrik mereka dan maksimal satu kartu untuk 10 orang.
"Jadi masuk 10, keluar juga harus 10. Mereka biasanya datang belanja pagi, sore pulang lagi, tidak untuk menginap. Kalau menginap nanti ada catatan khusus dari imigrasi," jelasnya.
Sementara bagi warga Sota yang melintas ke Papua Nugini, mereka diwajibkan memiliki pas lintas batas berwarna merah. Puspa menyebut WNI dapat mendapatkan kartu itu dengan modal KTP dan KK ke kantor Imigrasi.
Namun, tidak ada pos pemeriksaan dari Papua Nugini di dekat PLBN Sota. Menurutnya, hanya ada tentara Papua Nugini yang kadang berkeliling, sehingga ia mewanti-wanti agar WNI tetap membawa pas lintas batas apabila berkunjung ke Papua Nugini. "Mereka tidak ada pos berseberangan," kata dia.
Puspa melanjutkan, PLBN Sota berdiri di atas lahan seluas 5,6 hektare. Desain seluruh PLBN di bumi cendrawasih menurutnya sama. Di Sota, terlihat ornamen tifa, monumen 0 kilometer Merauke-Sabang, gerbang tasbara, patung garuda, hingga patung Presiden ke-1 RI Soekarno.
Jarak PLBN Sota dari Kabupaten Merauke berjarak sekitar 80 kilometer yang bisa ditempuh dalam waktu 90-120 menit via darat. PLBN di Indonesia yang kini berjumlah delapan itu dikelola oleh Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).
BNPP, kata dia, dalam praktiknya berupaya meminimalisir kelemahan dan keterbatasan di area perbatasan selama ini. Lembaga yang dibentuk era Presiden SBY ini menurutnya bertugas menjaga kedaulatan negara di kawasan perbatasan agar terjaga dengan baik, dan kesejahteraan masyarakat di kawasan perbatasan dapat terpenuhi demi kepentingan nasional.
"PLBN tidak hanya bertujuan sebagai pos lintas batas negara, namun juga didorong menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru, salah satunya dengan adanya pasar. Jadi diharapkan bakal meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan perbatasan," kata dia.
![]() |
Lebih lanjut, Puspa juga tidak menampik, masih ada sejumlah halangan bagi mereka di perbatasan, terutama memberantas sejumlah WNA yang masih memilih untuk lewat jalan tikus. Pun masih ada gosip, apabila mereka lewat PLBN Sota, mereka bakal dikenakan pajak alias diminta membayar.
Padahal, kata Puspa, pelintas batas alias WNA baru akan dipungut biaya atau terkena pajak apabila barang bawaannya bernilai di atas USD 300 atau sekitar Rp4,5 juta.
"Sementara mereka itu jual ikan, biasa ikan gede per ekornya Rp20 ribu. Jadi tidak sampai batas maksimal kan," ujarnya.
Tak bisa dikompromi, WNA yang memilih memasuki Indonesia lewat jalur tikus, mereka akan dipulangkan dan diberikan sanksi tidak boleh melintas ke Indonesia minimal sebulan. Sementara sisanya, mau tidak mau meninggalkan PR bagi para petugas BNPP di PLBN Sota untuk semakin masif memberikan edukasi kepada WNA di lintas batas.
Beberapa WNA yang bandel itu selain karena termakan rumor, ada pula pelintas yang membawa barang terlarang untuk dijual Indonesia melalui jalur tikus. Paling banyak, kata Puspa, adalah transaksi ganja. Sebab sebagaimana diketahui, konsumsi ganja dilegalkan di Papua Nugini.
"Jadi semoga tidak ada lagi yang lewat-lewat jalur tikus, karena di sebelah itu, ganja sudah seperti sayur saja ditanam di depan rumah," kata dia.
Mengakhiri obrolan, Puspa menuturkan suka duka bertugas di tapal batas Indonesia. Ia yang menyukai suasana asri dan damai tentu mengaku betah tinggal di Sota. Namun tetap saja, tinggal di perbatasan negara menurutnya juga bukan hal yang mudah.
Apabila ada hal-hal mendesak atau darurat, dirinya harus menembus perjalanan beberapa jam untuk ke kota. Fasilitas hiburan untuk healing non alam pun masih susah dijumpai.
"Duka bisa dilihat sendiri ya, masing-masing beda ya. Jauh dari keluarga, perbatasan jauh, serba terbatas. Kalau sukanya ya masing-masing orang, kalau saya kan senang tidur tidak hingar bingar, jadi pagi-pagi masih dengar suara kodok, suara burung, masih alami," ujar Puspa.
"Kesulitannya salah satunya ya itu, mendatangkan pegawai untuk penempatan di wilayah-wilayah di sekitar perbatasan kan agak susah sekali ya selain yang kemudian putra daerah," imbuhnya.
(wiw)