Diplomasi gastronomi Indonesia sebenarnya bukan lagi hal baru. Ari dan Detty mengungkapkan bahwa 'ajakan' itu sudah digaungkan sejak lama. Ari yang sudah tinggal 20 tahun di Praha, dan Detty yang juga sudah tinggal 20 tahun di Belanda mengaku sudah sering mendengar 'lagu' tersebut.
Hanya saja, keduanya juga mengatakan, dalam praktiknya, sampai saat ini diaspora di luar negeri masih berjuang sendiri-sendiri untuk mempromosikan Indonesia.
"Ide-idenya biasanya muncul dari para pegiat gastronomi di luar negeri. Karena saya chef, saya kerja di restoran, ya saya bisa memasukkan menu Indonesia."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kadang bersama diaspora lain, kami juga kolaborasi bikin acara untuk promosi makanan. Dan dari situ nanti kami ajukan ke KBRI untuk disupport. Idenya yang saya tahu, lebih banyak dari individu, tapi sering juga, idenya banyak tapi satu per satu mundur karena budget," jelasnya sambil tertawa.
Namun perlahan, saat ini, ucap dia, promosi makanan Indonesia sudah mengalami sedikit kemajuan. Dia mencontohkan lewat program Indonesia Spice Up the World yang digawangi Kemenparekraf dan melibatkan chef William Wongso.
"Mulai banyak sejak tahun lalu. Chef William Wongso, chef Vindex Tengker itu sering keliling dunia untuk promosi makanan Indonesia. Tapi scope-nya belum besar, masih di kota-kota besar seperti New York, Paris, London. Kalau yang ke Eropa Timur ini setahu saya masih belum terjangkau."
Menanggapi soal pernyataan Anies soal negara akan hadir dan berinisiatif untuk membangun restoran Indonesia di luar negeri, Ari masih mempertanyakan realisasinya jika hal itu bakal dilakukan.
"Proses-nya pasti bakal panjang, seleksinya gimana, itu nanti malah semakin sulit, karena kalau investasi pasti kan ujung-ujungnya ada timbal baliknya, ada keuntungan yang ingin didapatkan," kata pria yang pernah membuka restoran Indonesia di Praha namun tutup karena permasalahan partner.
"Tapi setidaknya, kalau sudah dibawa di debat Capres, ya saya sebagai orang gastro senang ya, karena setidaknya ada titik terang untuk orang-orang di luar negeri, paling tidak diomongkan. Sudah mulai dihargai."
Support lebih realistis untuk mempromosikan makanan Indonesia, ucap dia, adalah dengan mencontoh hal-hal yang dilakukan oleh Thailand.
Thailand disebut memiliki organisasi swasta yang membantu memfasilitasi promosi semua hal tentang Thailand ke luar negeri, dari makanan sampai pijat.
"Itu semua promosinya disupport sama organisasi swasta dan pemerintahnya. Misalnya dengan memfasilitasi chef-chef Indonesia untuk promosi ke luar negeri. Support dengan perbanyak dan fasilitasi chef yang mau ke luar negeri. Karena yang paling mahal kan itu man power."
Hal serupa juga sempat diucapkan oleh William Wongso dalam wawancara dengan CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Dia mengungkapkan bahwa popularitas makanan Indonesia memang kalah jauh dengan makanan Thailand dan Vietnam.
"Tantangan terbesar Indonesia adalah sistem. Kita ga bisa lari dari situ nantinya, itu kita harus ciptakan. Sistem. Thailand itu sudah ada ekosistem."
"Thailand sudah melakukan sejak puluhan tahun yang lalu. Jepang, Korea, China, mereka mengekspor bumbu-bumbu untuk mensupport restoran mereka yang ada di luar negeri."
William Wongso sendiri saat ini tengah mengembangkan dan memperkenalkan makanan Indonesia, khususnya nasi bungkus di Melbourne, Australia.
"Saya lebih konsentrasi sekarang di Australia mengembangkan itu. memperkenalkan kata2 nasi bungkus. menghilangkan kata-kata rijsttafel. Saya ingin Australia itu jadi hub buat indonesia. "
![]() ilustrasi rendang |
Menurut data Kementerian Luar Negeri, William Wongso menyebut setidaknya ada setidaknya 1400 restoran Indonesia di luar negeri.
"Tapi waktu covid katanya banyak yang tutup. target kemarin pak Luhut dengan statement dari presiden di Dubai Expo, tahun 2024 harus ada 4000 restoran. Tapi ya tidak mudah ya."
"Tapi tantangan buat restoran Indonesia itu banyak. Investasi mahal. Tempat yang bagus itu mahal banget. Jadi ya bisa-bisa banyak keluarga yang stuck."
"Kendalanya itu banyak yang sering kita tidak pernah prediksikan, orang dari kita dari indonesia. orang yang bisa ngerti itu kalo dia udah tinggal di sana. nah itu tinggal sekarang mau bagaimana skalanya. semua dikerjain sendiri, atau bagaimana. kirim koki juga ga mungkin. izin kerjanya juga susah."
Untuk membuat restoran Indonesia di luar negeri, William mengatakan bahwa target marketnya haruslah orang lokal di negara itu.
Buatnya juga, persoalan bumbu, hal tersebut harus dibuat seautentik mungkin dan tak perlu mengubah nama agar terkesan lebih aestetik.
"Enggak perlu ubah nama. Bahn Mi di mana pun ya namanya Bahn Mi, enggak pernah mereka ganti jadi vietnamese sandwhich. Enggak ada, mereka tetap pakai nama itu. Itu selalu saya tekankan, jangan budaya kita itu dirusak dengan nama diubah diganti namanya secara lokal. penerjemahannya iya, tapi namanya itu harus paten. Pho ya Pho, Bahnmi ya Bahnmi, Sushi ya Sushi, ga bisa ikan mentah."
(chs)